Aku menggeleng,"sudah terlanjur basah'.Â
Maka kami pun berjalan dalam hujan. Wajahnya tampak gembira, entah kenapa. Sedangkan pikiran masih berkecamuk di kepalaku.
Kami memasuki sebuah bangunan apartemen. Ya, di Istanbul kebanyakan rumah penduduk adalah di apartemen. Hanya orang-orang kaya dan pejabat yang memiliki rumah. Maklum harga rumah sangat mahal.
Seorang ibu yang ramah menyambut. Dia, sebagaimana wanita Turki lainnya, Â bertubuh gemuk dan gesit mengurus pekerjaan rumah. Sayangnya dia tak bisa berbahasa Inggris, Fatih menjadi perantara komunikasi di antara kami.Â
Lalu aku menjadi bagian dari keluarga Fatih. Makan bersama, nonton TV bersama, dan bercanda. Segalanya berlangsung alami seperti sudah biasa terjadi.
Fatih memang lelaki yang baik. Ia rajin membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Dia pun pandai memasak, yang membuat aku bertambah salut. Jujur aku suka masakan dia.
Namun pertarungan di kepalaku tidak pernah berhenti. Apakah aku akan berhenti di sini? Padahal aku belum bisa memastikan perasaan ini. Sementara tugas-tugas masih menunggu di tanah air.Â
Pada suatu malam, aku mengatakan akan kembali ke Indonesia. Ia terkejut.
"Kenapa? Kau tak suka di sini?"
"Bukan begitu, aku harus menyelesaikan tugas," aku berusaha menjelaskan.
Fatih tampak muram. Ia telah membayangkan untuk membangun masa depan bersamaku. Apalagi seluruh keluarga merestui.