Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan yang Terbuang

5 Februari 2020   22:38 Diperbarui: 5 Februari 2020   22:45 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (dok.pri)

Sudah lama aku mencari Tini (nama samaran), sahabat di masa kuliah. Tadinya kami sempat bertemu di Facebook beberapa tahun yang lalu, tetapi tiba-tiba ia menghilang. Akun facebooknya tidak aktif lagi. 

Akhirnya kutemukan jejaknya ketika bertanya pada salah seorang teman kuliah yang juga mengenal dia. Kebetulan teman tersebut berhasil memiliki no hape sahabatku. Dengan gembira aku menghubungi Tini melalui WhatsApp.

Tini, sahabatku ini dahulu sering menjadi sandaranku. Ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya menjadi direktur sebuah pabrik di Bandung. Sedangkan aku, justru dari keluarga pas-pasan, karena itu aku kuliah sambil bekerja menjadi wartawan magang untuk mencari biaya kuliah.

Sayangnya, untuk menyelesaikan skripsi aku harus berhenti bekerja, sebab menjadi wartawan sangat menyita waktu. Padahal skripsi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kebetulan Tini juga sedang mengerjakan skripsi. Aku sering menginap di tempat kostnya dekat kampus. Selama itu pula aku numpang makan bersama dia.  Tini juga kerap mengajak ke Bandung, ke rumah orang tuanya. Aku tak pernah melupakan kebaikan Tini.

Berkat nomor telepon yang diberikan teman tersebut, alhamdulillah kamipun dapat menyambung komunikasi. Hingga akhirnya aku membuat janji pertemuan dengan dia beberapa bulan lalu di sebuah restoran Jepang.

Dengan tak sabar aku menanti kedatangannya. Berkali-kali aku mengirimkan petunjuk menuju restoran tersebut. Aku sengaja duduk dekat pintu agar bisa melihat dia tiba. 

Beberapa lama kemudian, aku melihat seorang wanita berkerudung yang berjalan terpincang-pincang menuju pintu restoran. Aku terkesiap, dia adalah Tini. Raut wajahnya tidak berubah meski sudah dihiasi kerutan sebagaimana mataku. Aku menyambut dan memeluk dia dengan terharu.

Aku memesan makanan dengan porsi lengkap untuk menyenangkan sahabatku. Kami memilih meja di lantai dua yang lebih sepi, dekat jendela agar bisa melihat pemandangan di luar.

Aku tidak terburu-buru menanyakan apa yang terjadi. Kami makan dahulu sambil membicarakan hal-hal umum. Kami bernostalgia tentang saat kuliah dulu.

Setelah makan, dengan hati-hati aku menanyakan apa yang terjadi dengan dia selama ini. Ternyata ia mengalami perlakuan kejam dari kakak-kakaknya sendiri.

Tini anak bungsu dalam keluarganya. Ini adalah salah satu persamaan dengan aku yang juga anak bungsu. Kami pun mempunyai sifat-sifat yang mirip.

Kedua orang tua Tini telah meninggal dunia. Nah, kakak-kakak Tini kemudian memperebutkan warisan. Tini sebagai yang paling muda, justru tidak mendapatkan apa-apa, ia malah terusir dari rumah orangtuanya.

Padahal Tini tidak mempunyai suami. Tetapi ia memiliki anak angkat yang tadinya dibiayai oleh kedua orang tuanya. Kemudian ia harus pergi bersama anak angkat tersebut karena rumah sudah dijual kakak-kakaknya.

Tini sempat tinggal di Tangerang, menumpang di rumah seorang kakak. Tetapi dia diperlakukan seperti pembantu, harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara makanan diberikan sangat terbatas.

Bahkan semakin lama, kakaknya suami istri semakin kejam. Tini tidak boleh menggunakan kamar mandi di rumah. Sehingga untuk keperluan MCK, Tini dan anaknya terpaksa menumpang di sebuah mini market.

Hingga pada suatu hari, ketika Tini hendak ke pasar, ia mengalami kecelakaan yang fatal. Tini nyaris kehilangan nyawa, kecelakaan tersebut yang membuat kakinya menjadi pincang seperti sekarang.

Ironinya, sang kakak bukan prihatin dan mengasihi adiknya yang mengalami kecelakaan. Ia malah menyebarkan berita bahwa Tini meninggal dalam kecelakaan tersebut. 

Karena kondisinya, Tini tidak lagi sekuat dulu dalam melakukan pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Pada suatu hari, kakak Tini mengusir dia dari rumah itu. Mau tak mau Tini harus hengkang dari tempat tersebut.

Tini sempat kembali ke Bandung, mengontrak rumah kecil bersama anak angkatnya. Dia terpaksa menjadi buruh cuci untuk membiayai kehidupan mereka. Apalagi biaya sekolah yang semakin tinggi. Tini, yang seorang sarjana membanting tulang dengan menjadi buruh cuci.

Namun pada akhirnya Allah menolong dia. Seorang sepupu jauh menemukan Tini. Ia kemudian mengajak Tini tinggal di rumahnya di kawasan Cibubur dan membantu membiayai sekolah anaknya.

Meskipun Tini tetap berusaha membantu pekerjaan rumah tangga, tapi tidak seperti dulu ketika bersama kakaknya. Sang sepupu yang baik, tidak memaksakan atau memerintah dia untuk mengerjakan sesuatu. Hal itu dilakukan Tini dengan ikhlas untuk membalas budi. 

Aku menangis dalam hati mendengar kisah Tini. Ah seandainya aku bisa menolong dia, tentu nasibnya tidak setragis itu. Aku berjanji dalam hati, kelak jika Allah mengijinkan, aku ingin mengajak Tini tinggal bersamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun