Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan yang Terbuang

5 Februari 2020   22:38 Diperbarui: 5 Februari 2020   22:45 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (dok.pri)

Tini anak bungsu dalam keluarganya. Ini adalah salah satu persamaan dengan aku yang juga anak bungsu. Kami pun mempunyai sifat-sifat yang mirip.

Kedua orang tua Tini telah meninggal dunia. Nah, kakak-kakak Tini kemudian memperebutkan warisan. Tini sebagai yang paling muda, justru tidak mendapatkan apa-apa, ia malah terusir dari rumah orangtuanya.

Padahal Tini tidak mempunyai suami. Tetapi ia memiliki anak angkat yang tadinya dibiayai oleh kedua orang tuanya. Kemudian ia harus pergi bersama anak angkat tersebut karena rumah sudah dijual kakak-kakaknya.

Tini sempat tinggal di Tangerang, menumpang di rumah seorang kakak. Tetapi dia diperlakukan seperti pembantu, harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara makanan diberikan sangat terbatas.

Bahkan semakin lama, kakaknya suami istri semakin kejam. Tini tidak boleh menggunakan kamar mandi di rumah. Sehingga untuk keperluan MCK, Tini dan anaknya terpaksa menumpang di sebuah mini market.

Hingga pada suatu hari, ketika Tini hendak ke pasar, ia mengalami kecelakaan yang fatal. Tini nyaris kehilangan nyawa, kecelakaan tersebut yang membuat kakinya menjadi pincang seperti sekarang.

Ironinya, sang kakak bukan prihatin dan mengasihi adiknya yang mengalami kecelakaan. Ia malah menyebarkan berita bahwa Tini meninggal dalam kecelakaan tersebut. 

Karena kondisinya, Tini tidak lagi sekuat dulu dalam melakukan pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Pada suatu hari, kakak Tini mengusir dia dari rumah itu. Mau tak mau Tini harus hengkang dari tempat tersebut.

Tini sempat kembali ke Bandung, mengontrak rumah kecil bersama anak angkatnya. Dia terpaksa menjadi buruh cuci untuk membiayai kehidupan mereka. Apalagi biaya sekolah yang semakin tinggi. Tini, yang seorang sarjana membanting tulang dengan menjadi buruh cuci.

Namun pada akhirnya Allah menolong dia. Seorang sepupu jauh menemukan Tini. Ia kemudian mengajak Tini tinggal di rumahnya di kawasan Cibubur dan membantu membiayai sekolah anaknya.

Meskipun Tini tetap berusaha membantu pekerjaan rumah tangga, tapi tidak seperti dulu ketika bersama kakaknya. Sang sepupu yang baik, tidak memaksakan atau memerintah dia untuk mengerjakan sesuatu. Hal itu dilakukan Tini dengan ikhlas untuk membalas budi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun