Kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau bukan hal baru, sudah berlangsung puluhan tahun. Tetapi anehnya tidak pernah terselesaikan sampai sekarang. Dimana salahnya?
Saya pernah berkeliling Riau pada tahun 2004 untuk urusan politik. Sebagian dari kawan atau rekanan saya adalah pengusaha yang juga mencoba peruntungannya di bidang politik.Â
Pada saat itu pengusaha kelapa sawit menjadi booming, ekspor semakin meningkat dan menjanjikan keuntungan luar biasa. Banyak orang yang mengubah profesi menjadi pengusaha perkebunan kelapa sawit.
Begitu pula dengan teman saya, tidak mau kalah. Ia memang merupakan pengusaha yang cukup berhasil. Selama berada di sana, dia yang 'melayani' saya selama memantau perkembangan di Riau.
Dalam suatu perjalanan ke kabupaten Rohil (Rokan Hilir) teman saya ini menunjukkan lahan yang telah dikuasai dan ditanaminya dengan kelapa sawit. Tapi dia belum puas, ia berniat untuk membuka hutan di wilayah lain.
Lantas kami juga melewati hutan yang tengah dibakar oleh sekelompok orang. Saya menanyakan hal itu kepadanya. Apakah hutan harus dikorbankan, apalagi untuk itu, gajah dan harimau mati diracun mereka.
"Rata-rata pengusaha kelapa sawit memang membakar hutan untuk membuka lahan. Kalau saya tidak begitu, orang lain juga melakukannya," kata teman saya.
Para pengusaha itu berlomba membuka lahan. Kenapa dibiarkan? Ternyata mereka telah mengantongi izin dari Pemda setempat. Tentu saja dengan setoran yang tidak kecil.
Upeti yang diberikan kepada Pemda paling besar, dibandingkan kepada aparat yang berwenang. Supaya usaha mereka tidak terganggu, mereka juga membayar uang keamanan kepada aparat yang berwajib. Besarnya variatif, tergantung luas dan lokasi.
Oh pantas saja saya melihat perbedaan yang menyolok antara rakyat dengan bupati. Kebetulan dalam urusan saya, kami bertemu dengan bupati dan istrinya. Saya terpana melihat istri Bupati yang lebih mirip toko mas berjalan.
"Bupati ini baru saja menerima upeti dari saingan saya," bisik teman saya.