Mohon tunggu...
Emosi Pelajar
Emosi Pelajar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pahit Asam Bersekolah di Santa Ursula BSD

21 Maret 2016   12:21 Diperbarui: 5 September 2017   13:55 7780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anda semua tentu pernah mendengar sekolah terkenal di daerah BSD yang satu ini, kan? Sekolah dengan ciri khas seragam berkotak-kotak hijau dan logo Serviam yang dengan bangga ditontonkan di muka gerbang sekolah ini terkenal dengan moto spektakulernya, yaitu "The School of Choice." Berbekal kemakmuran hasil dari nama pendiri dan ketenaran sekolah pendahulunya, Santa Ursula di Jalan Pos, sekolah ini berhasil menangkap banyak hati para orangtua yang ingin anaknya mempunyai status, "lulusan Sanur." Tentu saja, status yang membanggakan bagi orangtua ini tidak hanya nama. Memang benar bahwa anak-anak lulusan Santa Ursula BSD mempunyai tingkat prestasi yang terbilang tinggi dibandingkan dengan sekolah setingkat lainnya di daerah BSD. Namun, apakah benar Santa Ursula BSD sebaik yang dibayangkan para orangtua yang rela memaksa anaknya untuk bersekolah di sekolah ini dan membayar biaya sekolah yang juga termasuk mahal untuk kalangan penduduk BSD?

Berikut inilah beberapa peraturan/kebiasaan di SMP dan SMA Santa Ursula BSD yang akan dibahas tingkat masuk akal atau tidaknya.

  1. "Apabila murid mengikuti lomba dan memenangkan lomba tersebut, maka: a. apabila uang hadiah bernilai dua kali lipat atau lebih dari dua kali lipat biaya pendaftaran, maka OSIS SMA Santa Ursula BSD akan mengambil 20% dari uang tersebut. b. apabila uang hadiah bernilai kurang dari satu kali uang pendaftaran, maka OSIS SMA Santa Ursula BSD akan mengambil 50% dari uang tersebut." Mungkin ada saja yang berpikir bahwa aturan ini masuk akal, berdasarkan pikiran bahwa uang pendaftaran, uang transportasi, uang konsumsi, dan uang kebutuhan lomba lainnya sudah ditanggung sekolah. Memang sudah seharusnya sekolah paling tidak memberikan biaya pendaftaran karena murid yang berlomba akan berlomba atas nama sekolah. Logikanya, sekolah membayarkan biaya pendaftaran itu karena sekolah berharap murid dapat berprestasi dalam lomba dan membantu mengharumkan nama sekolah dengan membawa nama sekolah tersebut, betul? Sayangnya, tidak bagi sekolah yang satu ini. SMA Santa Ursula BSD sangat jarang sampai tidak pernah membayarkan biaya pendaftaran lomba bagi murid-murid yang ingin mengikuti lomba meskipun DENGAN membawa nama Santa Ursula BSD. Tentunya, berkat cinta pendiri sekolah terhadap musik, kejadian yang satu ini tidak berlaku untuk semua jenis lomba musikal, karena lomba-lomba tersebut sangat dinaungi sekolah dan kas sekolah. Tetapi, bagaimana dengan lomba-lomba lain? Biasanya, murid-murid dan guru yang bersangkutan lah yang akhirnya membayarkan semua biaya yang bersangkutan dengan lomba tersebut menggunakan uang pribadi. Setelahnya? Uang hadiah/hadiah berupa benda akan diambil oleh sekolah dengan alasan, "kamu kan lomba dengan membawa nama sekolah." Belum lagi, piala yang didapatkan murid-murid akan diambil sekolah. Tidak, sekolah tidak membuat duplikat. Sekolah malah menyuruh murid yang menduplikat dengan uang pribadi apabila ingin menyimpan pialanya. Masuk akalkah aturan ini? Mungkin, JIKA dan HANYA JIKA sekolah menanggung biaya lomba tersebut.
  2. Setiap acara orkestra yang dikelola sekolah, murid-murid wajib menjualkan tiket dengan jatah per kelas yang sudah ditentukan. Apabila tiket tidak terjual, maka tanggung jawab siswa untuk membeli tiket tersebut dengan uang pribadi. Nah, kebiasaan yang satu ini dari awal saja sudah terdengar tidak masuk akal, benar? Memang, ini tidak dimasukkan dalam peraturan baku sekolah, tetapi pada kenyataannya, memang seperti ini kejadiannya. Kasus yang paling sering terjadi adalah, tiket dengan harga yang berkisar antara Rp 250.000,00 - Rp 1.500.000,00 ini nantinya akan dibagikan kepada murid-murid (acak ataupun sukarela, tergantung wali kelas yang bersangkutan, selama jatah tiket per kelas tetap habis terbagi), lalu jenis tiket, jumlah tiket, dan nama murid yang "bertanggung jawab" menjual tiket tersebut akan dicatat oleh pengelola tiket acara (biasanya guru), dan akan ditagih setiap minggunya sampai kepada hari acara. Lalu dengan harga yang mahal tersebut dan acara yang belum jelas hasilnya akan bagus atau tidak, tentu proses penjualan akan sangat sulit dilakukan. Sayangnya, guru tidak mau tahu akan terjual tidaknya tiket, terlebih lagi kepada siapa tiket itu terjual. Guru yang bersangkutan hanya mau tahu kapan uangnya akan dipegang guru tersebut. Tidak peduli bila murid harus memecah celengan demi membayar tiket tersebut. "Tetapi, bukankah murid bisa saja melaporkan bahwa tiket tidak terjual kepada guru yang bersangkutan tersebut?" Tidak. Karena data guru menunjukkan bahwa tiket tersebut merupakan tanggung jawab murid A, misalnya, dan ketika tiket diberikan tersebut, aturannya adalah, "Tiket harus terjual", maka mau tidak mau murid harus membayarkan tiket tersebut pada deadline yang ditentukan. Lebih parahnya lagi, jatah tiket per kelas biasanya sangat dekat dengan jumlah murid, malah bisa juga lebih dari jumlah murid. Hal ini mendorong siswa untuk akhirnya harus patungan sekelas dan membeli tiket tersebut, apabila ada sisa tiket. Apakah "aturan" seperti ini masuk akal?

Selain kedua hal di atas, masih ada berbagai aturan dan kebiasaan di Santa Ursula BSD, terutama di SMP dan SMA, yang cukup tidak masuk akal. Untungnya, ada beberapa aturan-aturan tersebut yang. berkat kerja keras protes siswa dan orangtua murid bahkan alumni, sudah diperbaiki dan sudah lebih "student-friendly." Contohnya, aturan bahwa "murid wajib menulis surat izin dari orangtua setiap kali mau membawa HP ke sekolah," yang berarti jika murid tersebut butuh membawa HP-nya setiap hari untuk minta dijemput, maka dia harus menulis surat setiap hari dan membawanya ke sekolah. Peraturan ini kemudian diperbaiki menjadi "murid diperbolehkan untuk menulis surat izin dari orang tua untuk membawa HP sekian hari per minggu ke sekolah dengan alasan ... selama 1 semester/6 bulan." Peraturan tersebut akhirnya mempermudah murid dan orangtua, tentunya. Sayangnya, ada saja wali kelas-wali kelas yang tidak perduli kebutuhan siswanya dan hanya memperbolehkan 5 siswa dari 38 siswa di kelasnya untuk meminta izin membawa HP per semester tersebut. Bayangkan, kalau ada murid yang memerlukan HP-nya setiap hari, lalu terdahulu oleh murid lain yang hanya membutuhkan HP 2 hari per minggu, maka murid yang hanya membutuhkan HP 2 hari per minggu itu lah yang akan mendapatkan izinnya. Sementara murid yang butuh HP setiap hari? Wali kelas tidak perduli bagaimana dia harus menyesuaikan. Baiknya, peraturan tersebut akhirnya diperbaharui lagi menjadi "murid diperbolehkan membawa HP tanpa surat izin, selama HP dititipkan di Tata Usaha selama jam pelajaran berlangsung." Sudah mempermudah murid, bukan?

Akhir kata, bagaimana pendapat Anda, orangtua murid dan murid-murid sekolah lain, terhadap SMP dan SMA Santa Ursula BSD sekarang? Berpikir dua kali, kah? Sebaiknya, sih, iya. Sebelum membuat keputusan, pikirkanlah baik-baik dan perhatikan semua sisi dari pilihan Anda. Kalau tidak, Anda hanya akan terdampar di situasi yang membuat Anda berteriak minta tolong untuk dikeluarkan dari dampak pilihan Anda yang tentunya, tidak akan selalu berdampak baik. Jangan mempercayai sebuah hal hanya berdasarkan "perkataan orang" atau "wajah"-nya. Telitilah apa yang ada dibalik "wajah" sempurna tersebut. Benarkah sosok dibalik wajah tersebut merupakan sosok yang ingin Anda hadapi untuk jangka waktu yang cukup lama?

-Emosi Pelajar-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun