Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Bermimpi Bahwa Prabowo dapat Menjadi Presiden?

14 November 2017   12:56 Diperbarui: 14 November 2017   14:26 2241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : eN-Te

Catat! Memimpikan Prabowo Subiyanto (akan) menjadi Presiden Republik Indonesia, entah itu kapan, saya tegaskan, itu sudah expired (kadaluarsa). Meski mungkin pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019, seorang Prabowo masih mendapat kesempatan untuk dicalonkan menjadi presiden (Capres), paling kurang melalui partai besutannya sendiri. Ya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Itu pun jika memenuhi presidential trheshold (ambang batas) pencalonan presiden.

Penting untuk memastikan bahwa Partai Gerindra dapat menggandeng partai lain untuk berkoalisi agar ambang batas itu terpenuhi. Sebab secara nyata suara Partai Gerindra belum memenuhi syarat, baik perolehan 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional dalam pemilu anggota legislatif pada pemilu sebelumnya.

Artinya berdasarkan perolehan suara nasional maupun kursi di DPR, Partai Gerindra belum memenuhi syarat untuk memajukan Prabowo sebagai Capres pada Pilpres 2019. Dengan demikian, Partai Gerindra harus 'pintar-pintar' menjalin hubungan baik dengan partai-partai lainnya, khususnya partai koalisi pada Pilpres 2014 lalu agar tetap berkomitmen mecalonkan Prabowo menjadi RI 1.  

Bahwa para pendukung dan konstituen Partai Gerindra boleh berharap dan menggantungkan asa itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada yang mencoba untuk menutup ruang bagi setiap warga negara yang mempunyai hak dipilih dan memilih untuk mengekspresikan kehendak dan asa politiknya. Termasuk terus berharap dan memelihara asa itu, agar suatu saat nanti mayoritas rakyat bangsa ini menitipkan 'amanah' kepada Prabowo untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Namun begitu, publik harus pula pintar bercermin, melihat realitas politik saat ini. Bahwa daya tarik seorang Prabowo yang oleh kalangan pendukungnya disebut sebagai Macan Asia lambat laun sudah mulai memudar. Apalagi menjelang dua tahun pesta demokrasi, bermunculan pula nama-nama dan wajah-wajah baru calon pemimpin Indonesia yang masih fresh (segar nan optimistis).

Nama dan wajah baru itu malah sudah digadang-gadang oleh partai politik (parpol) yang merupakan teman sekondan Partai Gerindra. Sebut saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah mulai mengelus-elus jagonya, malah di luar nama Prabowo. Mungkin boleh jadi PKS sudah merasa Prabowo sudah tidak lagi memiliki nilai jual.

Presiden PKS, Sohibul Iman malah menyebut dalam suatu kesempatan bahwa Panglima TNI, Jend. Gatot Nurmantyo mempunyai kans yang cukup besar untuk diajukan menjadi Capres pada Pilpres 2019. Malah menurut Sohibul, Panglima TNI Jend. Gatot Nurmantyo merupakan salah satu Capres potensial (1). Seandainya, PKS yang merupakan teman setia, seiya sekata Partai Gerindra sudah berpaling wajah maka nyaris tertutup peluang Prabowo untuk maju berlaga dalam kontestasi Pilpres 2019.

Kecuali sikap PKS itu hanya sebagai move politic semata, sekedar untuk mengukur permukaan air (test water). Mencoba melihat sejauh mana reaksi dan respon publik terhadap figur Jend. Gatot. Kalaupun PKS tetap ingin 'berpisah ranjang', Partai Gerindra harus bisa memastikan dapat menggandeng  partai lain yang se-visi dan se-misi, khususnya partai oposisi untuk tetap istiqamah mencalonkan Prabowo.  

Belum lagi kalau melihat trend elektabilitas Prabowo. Sepanjang satu tahun terakhir, berdasarkan berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga, elektabilitas Prabowo tetap hanya menjadi bayang-bayang petahana. Bahkan perbedaan atau selisih elektabilitasnya mencapai angka dua digit. Sehingga menjadi wajar bila PKS sebagai teman seiya sekata Partai Gerindra harus berpikir ulang untuk tetap pada 'akad' mencalonkan Prabowo (2).

Tambahan pula bila melihat trend kepuasan publik terhadap kinerja petahana, maka hampir pasti petahana 'seng ada lawan'. Kembali merujuk pada hasil survei bahwa selama tiga (3) tahun kepemimpinannya, petahana masih mendulang kepuasan publik atas kinerja yang telah dijalankan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (2015-2017), yakni di kisaran 50-70 persen (3). Jika kita boleh berasumsi bahwa kepuasan berbanding lurus (linier) dengan tingkat keterpilihan, maka nyaris Prabowo hanya akan menjadi penggembira pada pesta demokrasi 2019 nanti. Petahana akan meluncur mulus ke singgsana RI 1 untuk periode kedua. Dengan kata lain, meski kedengarannya sedikit vulgar, Prabowo expired.

Begitu pula dengan sepak terjang elit-elit Partai Gerindra yang cenderung bersikap 'nyinyir' ketimbang mengkritisi secara cerdas terhadap kinerja petahana. Hal-hal yang bersifat personal lebih menjadi fokus perhatian mereka untuk mengkritisi petahana ketimbang komitmen membangun negri besar di latar khatulistiwa ini benar-benar menjadi zamrud. Bukan malah terus mencoba 'mereduksi' citra petahana hanya pada aspek privat. Sebab atensi yang berlebihan dengan terus menerus mencoba 'menghabisi' petahana dari sisi personal (sesuatu yang menjadi hak privasi seseorang, entah rakyat biasa atau dia seorang Presiden) hanya akan menjadi boomerang yang akan memukul balik. Seakan sudah kehabisan akal (sehat), sehingga gawean pernikahan anak petahana pun menjadi bahan atau komoditas politik yang tidak menarik.

Hanya di kalangan sendiri saja 'komoditas' itu terasa renyah, tapi sebenarnya secara faktual itu sudah keluar dari pakem dan fatsun politik. Para fans seakan mendapat 'angin surga' atas nyiyiran ala elit Partai Gerindra pada gawean pernikahan anak Presiden sehingga bergembira ria dengan meme-meme yang tidak saja tidak lucu, tapi malah mencerminkan kedangkalan nalar. Seakan tidak ada lagi amunisi yang dapat digunakan untuk menyerang petahana, apa saja yang ada di 'otaknya' (maaf otak saya kasih tanda petik untuk menggambarkan ketengilan yang tak terukur) ditumpahkan keluar tanpa harus terlebih dahulu melakukan filterisasi secara memadai melalui proses penyaringan yang wajar.

Semua itu hanya karena satu alasan pasti, yakni menumpahkan kebencian. Rasa benci yang berlebih, membuncah, yang dibumbui pula oleh dengki dan iri yang menyayat maka akan mematikan rasio secara tidak bermartabat. Maka mereka melakukan 'degradasri' kepada seseorang hanya karena mengekspresikan sikap humanismenya (misal Jokowi menyekop tanah untuk diberikan kepada Raja Arab Saudi ketika menanam pohon di istana, dan atau seorang Gubernur yang tanpa harus merasa risih, apalagi gengsi untuk turun memeriksa langsung kondisi got) di anggap sebagai mental 'babu'. Mungkin mereka lebih suka punya pemimpin yang hanya bisa main tunjuk dengan telunjuk jarinya, "lakukan itu, untuk saya duli tuanmu"!

Padahal esensi kepemimpinan adalah menggerakkan dan melayani. Bukan hanya mau dilayani dan dihormati, tapi lupa menghargai. Pemimpin seperti ini sebenarnya hanya mau disanjung, bersamaan dengan itu lupa mengayomi. Hanya bisa menggurui tapi lupa memberi teladan dan contoh.

Mereka lupa dengan kisah kepemimpinan Khalifah Umar Ibn Khattab. Dalam posisinya sebagai khalifah, Umar Ibn Khattab, rela memanggul sekarung gandum ke rumah seorang janda tua yang sedang mengkamuflase menanak batu hanya untuk menenangkan anaknya yang sedang kelaparan. Umar Ibn Khattab rela langsung memanggul sendiri sekarung gandum diantarkan ke rumah janda itu untuk 'menebus' rasa bersalah telah mengabaikan rakyatnya yang kelaparan. Tidakkah ini contoh baik sebagai perwujudan langsung dari esensi kepemimpinan dan implementasi humanisme seseorang. Termasuk juga seorang Presiden yang rela memayungi Kepala Pemerintahan negara lainnya. Itu adalah sisi humanisme seorang Presiden yang berlaku hormat dan menghargai, bukan karena merasa inferior terhadap tamu yang sedang berkunjung.

Pantaslah kemudian publik merasa masygul ketika Prabowo mengkritisi langkah Pemerintah memberi bantuan kepada pengungsi Rohingya sebagai pencitraan. Entah sikap humanisme yang seperti apa yang dianut oleh Prabowo sehingga bantuan kemanusiaan dinilai dalam lanskap yang sangat kecil, untuk pencitraan politik semata. Antara naif dan ambisi menjadi hal yang sangat kabur.

Dalam perspektif seperti itulah kemudian saya harus berpendapat bahwa seorang Prabowo itu sudah out of date. Expired!

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 13112017

 

   

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun