Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sumber Waras, Komisi III DPR pun Turun Gelanggang

20 April 2016   11:26 Diperbarui: 20 April 2016   11:38 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkali-kali, Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HAA) tampil pada dua stasiun TV yang berbeda, (yang kedua-duanya merepresentasikan berseberangan dengan Ahok), mencoba “mensugesti” pemirsa agar tidak meragukan LHP BPK tersebut. Berulang-ulang dengan intonasi yang sengaja ditekankan pada frase dan ungkapan tertentu untuk “menggiring” publik bahwa memang telah terjadi pelanggaran yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.

Merasa seperti sengaja dijadikan sasaran tembak, Ahok pun melawan. Dengan berbekal daftar nama yang tertera dalam dokumen Panama Papers, Ahok pun menyerang Ketua BPK. Bahkan tidak hanya menyerang, Ahok juga menantang kepada Ketua BPK, HAA dan anggota-anggotanya untuk melakukan pembuktian terbalik atas kepemilikan harta mereka. Termasuk pula laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN).

Bagi Ahok, bila ada pejabat negara yang tidak melaporkan dan tidak mencantumkan kekayaannya secara jujur (hanya sebagian yang dilaporkan sebagian yang lain disembunyikan) dalam LHKPN maka perlu dipertanyakan motifnya. Apalagi harus menyembunyikan di luar negeri yang menerapkan tax heaven dengan membentuk perusahaan changkang dengan maksud menghindar membayar pajak kepada negara. Jelas pejabat tersebut ketika mendapatkan kekayaan itu tidak melalui jalan yang hak. Lagi pula perilaku menghindari pajak adalah sebuah laku yang tidak bertanggug jawab, tak layak jadi pejabat publik.

***

Tidak ingin polemik pembelian lahan RSSW menjadi bola liar dan menghantam ke sana ke mari, maka Komisi III DPR pun turun gunung. Mereka dengan mantap maju ke gelanggang. Dan rupanya, keinginan mereka untuk turun ke arena laga, juga tidak bebas kepentingan.

Selain untuk mencari kebenaran dan mengurai benang kusut pembelian lahan RSSW, ternyata di balik itu ada sesuatu yang ingin diraih. Niat baik Komisi III DPR untuk menjernihkan persoalan merupakan sebuah itikad baik yang perlu diapresiasi. Bahwa mereka memang benar-benar ingin memperjuangkan aspirasi rakyat.

Sebagaimana alasan yang dikemukakan bahwa keikutsertaan mereka dalam menyelidiki dan memperjelas kasus pembelian lahan RSSW ini karena ada pengaduan dari sekelompok masyarakat. Entahlah, yang dimaksud dengan sekelompok masyarakat itu siapa? Akan tetapi menjadi hal yang berbeda bila di balik itu tersebunyi target politik jangka pendek.

Kita berharap tidak ada hidden agenda dari Komisi III DPR untuk turut serta dalam polemik pembelian lahan RSSW, selain unutk memperjelas persoalan dan menempatkan kembali pada posisi sebenarnya. Jika tidak, maka hal itu turut pula menggerus kepercayaan publik terhadap kinerja DPR. Alih-alih ingin memperjuangkan aspirasi publik (rakyat) malah hal itu menjadi pembenaran untuk menghentikan seseorang dalam sebuah ajang politik.

Hidden agenda tersebut semakin terbuka ketika Komisi III ingin memperjelas persoalan pembelian lahan RSSW ini dengan merencakan memanggil mantan Komisioner dan Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki dan Zulkarnaen (sumber). Mereka beralasan bahwa permintaan untuk melakukan audit investigasi itu ketika periode kepemimpinan mereka. Jadi untuk menjelaskan masalah tersebut harus dimintai keterangan keduanya.

Sementara pihak yang diaudit (auditee) bagi Komisi III tidak perlu dimintai keterangan (sumber). Padahal prinsip pemeriksaan menekankan pada  kesejajaran dan keseimbangan. Sehingga perlu mendengarkan keterangan terperiksa (auditee) untuk klarifikasi dan mendapatkan konfirmasi lebih lanjut. Dengan demikian pengumpulan data lebih komprehesif. Sayangnya prinsip kesetaraan ini sepertinya sengaja diabaikan.

Dalam sebuah pemeriksaan seharusnya kedua belah pihak ditempatkan pada posisi yang sejajar dan sebanding dalam suatu masalah yang melibatkan keduanya. Jika salah satu pihak diutamakan sementara pihak lain diabaikan, maka sejak awal harus ditegaskan bahwa hasil yang akan dicapai akan timpang, minimal tidak maksimal. Seakan-akan satu pihak disubordinasi pihak lain, padahal dalam sebuah pemeriksaan, baik auditor maupun aditee harus berada dalam posisi setara dan seimbang, memiliki hak dan kewajiban yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun