Salah satu wujud Puake yang paling dikenal adalah Puake Naga, seekor ular besar berwarna merah yang dipercaya tinggal di dasar sungai dan memiliki kuasa atau arus sungai dari hulu hingga hilir. Kemunculannya sering dikaitkan dengan kejadian tak terduga, seperti pusaran air atau kecelakaan perahu yang tidak memiliki penjelasan logis. Dianggap sebagai simbol peringatan, Puake Naga hadir untuk menegur manusia yang melanggar norma adat atau bersikap sembrono di wilayah sungai. Sementara itu, Puake Buaya Putih sering terlihat pada momen-momen penting seperti upacara adat. Sosok ini dianggap sebagai perwujudan leluhur yang tengah mengawasi keturunan mereka. Ada pula Puake Biukur, seekor kura-kura raksasa yang jarang muncul dan hanya terlihat ketika suasana sungai benar-benar tenang. Ia dikenal sebagai penjaga yang peka terhadap niat manusia dan diyakini dapat memberikan pertolongan bagi mereka yang berhati tulis.Â
Dengan demikian, kisah Puake menggambarkan hubungan erat antara manusia, alam dan dunia gaib dalam budaya masyarakat tepian Sungai Kapuas. Cerita-cerita ini tidak hanya menjaga tradisi lisan, tetapi juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral seperti kehati-hatian, penghormatan terhadap alam, serta kesadaran akan kekuatan tak kasat mata yang menyertai kehidupan masyarakat Kalimantan Barat sehari-hari. Mitos-mitos di atas menjadi lambang keseimbangan spiritual yang harus dijaga melalui perilaku yang penuh hormat dan bijaksana.Â
Danandjaja, James. Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain lain. Grafitipers, 1986.Â
ROBO-ROBO
Tradisi merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat dan berperan penting dalam menjaga kesinambungan identitas kolektif. Dalam kajian folkloristik, tradisi termasuk dalam kategori folklore non lisan karena bentuknya dapat berupa tindakan, upacara, atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang dan sarat makna simbolik. Danandjaja (2007:21) menyatakan bahwa folklore mencangkup keseluruhan kebudayaan yang diwariskan secara lisan maupun melalui tindakan, termasuk di dalamnya kepercayaan, kebiasaan, permainan rakyat, serta upacara-upacara tradisional. Sementara itu, Brunvand (1986) juga menegaskan bahwa folklore bukan hanya cerita lisan seperti mitos dan legenda, tetapi juga praktik budaya yang bersifat kolektif dan diturunkan dari generasi ke generasi melalui contoh dan partisipasi sosial. Oleh karena itu, tradisi dipahami sebagai bagian penting dari folklore karena ia menyimpan nilai, norma, dan pengetahuan lokal yang hidup dalam praktik masyarakat sehari-hari.Â
Salah satu bentuk tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kalimantan Barat adalah Robo-Robo, sebuah perayaan yang dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam penanggalan Hijriah. Tradisi ini berasal dari kebudayaan masyarakat pesisir Melayu dan dipercaya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang dahulu datang dari Mempawah melalui jalur sungai. Robo-Robo dimaknai sebagai ritual tolak bala dan permohonan keselamatan bagi keluarga dan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, warga secara kolektif mengadakan doa bersama dan menyajikan makanan khas dalam bentuk saprahan atau akan bersama secara lesehan yang menyimbolkan kebersamaan dan kesetaraan. Di Kecamatan Rasau, tradisi ini menjadi ruang penting untuk memperkuat relasi sosial antarkeluarga, serta menjadi medium pendidikan budaya bagi generasi muda agar tetap mengenal dan mencintai akar budayanya. Keberlangsungan tradisi Robo-Robo membuktikan bahwa folklore tidak hanya hidup dalam cerita, tetapi juga dalam tindakan-tindakan yang mengikat nilai dan identitas suatu komunitas secara nyata.Â
MAKAN DALAM KELAMBU
Di tengah kehidupan masyarakat Bugis yang menetap di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Kabupaten Kubu Raya, terdapat sebuah tradisi turun temurun yang dikenal dengan sebutan Makan dalam Kelambu. Tradisi ini bukan sekadar kebiasaan makan bersama, melainkan bagian dari ritual khusus yang hanya dijalankan pada momen-momen penting seperti hari ke-7 kelahiran bayi, pernikahan, khatam Al-Qur'an, atau pemenuhan nazar keluarga. Sesuai namanya, tradisi ini dilakukan dengan menyajikan makanan di dalam kelambu putih yang digantung membentuk ruang tertutup. Di dalam kelambu tersebut, anggota keluarga tertentu, seperti pasangan pengantin atau keturunan inti, duduk bersila menikmati hidangan, sementara para tetua atau tokoh adat menyaksikan dari luar sebagai bentuk penghormatan. Kelambu putih bukan hanya berfungsi melindungi dari debu dan serangga, melainkan dipercaya sebagai simbol batas antara duniawi dan ruang sakral, yang menjadikan kegiatan makan ini sebagai peristiwa budaya yang mengandung nilai spiritual dan mempererat ikatan kekeluargaan.Â
Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat Bugis di Kubu Raya, tradisi ini berasal dari masa awal pelayaran dan transmigrasi leluhur mereka dari Sulawesi Selatan. Di tanah rantau, tradisi makan dalam kelambu tetap dipertahankan sebagai sarana memperkuat identitas budaya serta menjaga hubungan antar anggota keluarga. Kini, meskipun tidak semua keluarga Bugis di Kubu Raya menjalankan secara utuh, beberapa masih melestarikannya dalam bentuk sederhana dan tertutup di lingkungan rumah sendiri. Generasi muda mungkin tidak lagi memahami seluruh makna ritual ini, namun mereka tetap tumbuh dalam atmosfer nilai-nilai yang ditanamkan oleh tradisi tersebut, seperti penghargaan terhadap momen penting dan kesantunan dalam kehidupan keluarga. Tradisi ini menjadi bukti bahwa budaya tidak harus tampil megah untuk bertahan, dalam kesederhanannya, ia tetap hidup, mengajarkan makna mendalam tentang leluhur, kebersamaan, dan spiritual di tengah perubahan zaman.Â
Danandjaja, James. Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain lain. Grafitipers, 1986.Â