Tapal Batas Timor Barat-Timor Leste yang Terluka
Persoalan perbatasan negara bukanlah sekadar urusan garis di atas peta. Di baliknya tersimpan sejarah panjang, identitas budaya, dan keberlangsungan hidup masyarakat yang telah mendiami kawasan itu secara turun-temurun. Ketika perbatasan ditarik tanpa konsensus yang adil dan tanpa mempertimbangkan historisitas wilayah, konflik mudah meletup, seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Inbate, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berbatasan langsung dengan Timor-Leste.
Insiden penembakan terhadap seorang warga Indonesia oleh aparat perbatasan Timor-Leste menjadi peringatan serius akan kerentanan hubungan antarnegara yang belum sepenuhnya pulih dari luka sejarah. Kejadian ini bukan hanya mencerminkan lemahnya koordinasi antar pemerintah, namun juga menyoroti perlunya pendekatan berbasis keadilan historis, penghormatan terhadap masyarakat adat, serta keterbukaan informasi dalam menangani masalah perbatasan.
Latar Belakang Sengketa Perbatasan Indonesia - Timor Leste
Timor-Leste, yang merdeka dari Indonesia pada tahun 2002, merupakan negara termuda di Asia Tenggara. Sejak awal pemisahan, salah satu persoalan utama yang belum sepenuhnya tuntas adalah soal batas wilayah. Pada tahun 2005, Indonesia dan Timor-Leste menandatangani perjanjian demarkasi sementara sebagai bentuk komitmen bersama untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah secara damai.
Namun, sebagaimana kasus di Desa Inbate menunjukkan, perjanjian itu tidak diterima sepenuhnya di tingkat akar rumput. Banyak warga Indonesia yang tinggal di sekitar perbatasan merasa bahwa garis batas yang dirujuk oleh pemerintah tidak mencerminkan batas yang selama ini mereka kenal dan huni secara turun-temurun. Mereka lebih percaya pada garis batas lama, yakni bekas batas administratif antara wilayah kolonial Belanda dan Portugis yang digunakan sebelum kemerdekaan Timor-Leste.
Perbedaan ini melahirkan tumpang tindih klaim atas wilayah, yang tidak hanya berdampak pada kedaulatan negara, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari masyarakat perbatasan, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian yang kini terancam diklaim sebagai bagian dari wilayah Timor-Leste.
Insiden Penembakan dan Dampaknya
Pada hari Senin yang lalu, ketegangan meningkat menjadi bentrokan terbuka saat aparat Timor-Leste melepaskan tembakan ke arah warga Indonesia yang memprotes pembangunan pagar pembatas oleh pekerja konstruksi dari negara tetangga tersebut. Salah satu warga, Paulus Kaet Oki, tertembak di bahu kanannya dan dilarikan ke rumah sakit. Menurut laporan saksi dan aparat kepolisian, setidaknya delapan tembakan dilepaskan. Warga yang marah membalas dengan senjata seadanya seperti parang dan batu.
Peristiwa ini sangat memprihatinkan. Bahwa sebuah negara bisa mengirim pasukan bersenjata ke wilayah yang masih disengketakan tanpa pemberitahuan kepada pihak Indonesia, khususnya pemerintah daerah seperti Gubernur NTT dan aparat di bawahnya, menunjukkan adanya kelalaian diplomatik dan potensi pelanggaran kedaulatan. Bila Paulus meninggal dunia, insiden ini bisa dengan mudah berkembang menjadi konflik terbuka antar masyarakat perbatasan - atau bahkan menjadi isu politik bilateral yang lebih luas.