Mohon tunggu...
Emil Rahmansyah
Emil Rahmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Terus belajar dan berbagi untuk masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengulik Ilmu Manusiawi Secara Islami

5 Mei 2020   22:14 Diperbarui: 6 Mei 2020   23:34 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menerangi. (sumber: KOMPAS/JITET)

Pada tahun-tahun belakangan ini, kebanyakan intelektual kita berpendapat bahwa kita tidak perlu lagi berbicara, dan bahwa percuma saja kita membicarakan penderitaan kita. 

Sampai sekarang, selalu saja kita berbicara dan membicarakan penderitaan kita tanpa berbuat atau bertindak. Karena itu kita harus berhenti berbicara, dan setiap orang harus mulai bertindak memperbaiki keluarga dan negerinya.

Pendapat itu dirasa keliru. Karena sebenarnya sampai saat ini kita belum pernah berbicara, belum pernah membicarakan penderitaan kita, belum pernah kita menganalisa penderitaan secara seksama dan ilmiah. 

Apa yang telah kita kerjakan hanya mengeluh, dan keluh-kesah jelas tidak ada gunanya. Selama ini, kita belum pernah sama sekali membicarakan permasalahan psikologis kita. 

Memang kadang kita seolah-olah telah mendiagnosa semua penyakit kita dan mencoba berusaha untuk menemukan penyembuhannya. Padahal kita belum pernah membuat diagnose atas penyakit kita.

Mereka yang telah turun ke lapangan dan karena itu telah mengalami serba kesukaran, hambatan, dan kegagalan dalam usahanya, tahu dan benar-benar merasakan bahwa selama ini sebenarnya kita terlalu sedikit membicarakan penderitaan-penderitaan kita, dan bahwa kita belum cukup sadar akan penderitaan kita, kesukaran kita, penyelewengan kita.


Selama ini yang kita lakukan hanyalah mengeluh dan meratap, daripada itu, kita seharusnya berhenti melakukan hal tersebut. 

Sebagai gantinya, kita harus membahas penderitaan kita demi kesadaran kita akan penderitaan itu, tetapi tentunya secara ilmiah. Ajaran yang kita yakini (Islam) haruslah menjadi landasan kerja, kegiatan, dan pemikiran kita.

Berbicara dan bertindak, menganalisa dan mengamalkan harus erat bergandengan. Inilah praktek yang dilakukan oleh Rasul. Beliau tidak pernah memisahkan kehidupan menjadi dua bagian-bagian pertama khusus untuk berbicara dan bagian kedua khusus untuk bertindak.

Oleh karena itu, tugas kita terbesar dan terpenting dewasa ini adalah berbicara-berbicara yang benar, membicarakan penderitaan kita, tetapi sekaligus juga secara tepat dan ilmiah, serta menganalisa apa yang kita alami. Maka tugas pertama kita ialah memahami agama serta aliran pemikiran kita.

Ada berbagai cara untuk memahami Islam, diantaranya;  dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain, mempelajari kitab-kitab.

Al-Quran, dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya, mempelajari kepribadian Rasul dan membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah, dan juga mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.

Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangngan maupun masyarakat.  

Hal itu merupakan ciri bahwa sebagai intelektual dia harus memikul amanah demi masa depan ummat manusia ke arah yang lebih baik. Seiring pekembangan ilmu yang ada, maka bisa dibahas lebih baik dan mendalam lagi, hal tersebut telah dituliskan dalam Al-Qur'an. 

Pada ilmu fisika kita dapat memahami lebih baik tentang ayat-ayat "kauniyyah" dan pada ilmu sosiologi dapat mempejelas pemahaman kita mengenai ayat-ayat Al-Qur'an yang historis dan sosiologis.

Dalam Al-Qur'an kita menemukan beberapa konsep yang termasuk pada ilmu-ilmu manusiawi, tetapi belum pernah dibahas oleh ilmu-ilmu ini. Diantaranya adalah konsep hijrah.

Dalam buku Muhammad, Nabi Penutup, diterbitkan oleh Husainiya-yi Irsyad, membicarakan dimensi historis konsep hijrah, yakni perpindahan rakyat dari suatu tempat ke tempat lain.

Dari nada pembahasan Al-Quran mengenai hijrah dan muhajirin, demikian juga dari kehidupan Rasul serta dari konsep hijrah yang berlangsung pada awal sejarah Islam, dapat disimpulkan bahwa hijrah bukanlah sekedar suatu peristiwa sejarah.

Dalam sejarah kita mengenal 27 peradaban. Semuanya, tanpa terkecuali, lahir dari peristiwa hijrah. Sebaliknya, tidak pernah tercatat dalam sejarah ada suatu suku primitif yang berkembang menjadi masyarakat beradab dan berbudaya tanpa terlebih dahulu harus meninggalkan tanah asalnya dan berhijrah. 

Konsep ini sangat relevan dengan ilmu sejarah dan sosiologi. Kita dapat simpulkan dari nada Al-Quran membahas dan memerintahkan hijrah yang terus menerus dan umum.

Semua peradaban di dunia ini ternyata tumbuh dari hijrah. Suatu masyarakat primitif akan tetap primitif selama mereka tidak mau meninggalkan negerinya sendiri. Mereka baru akan mencapai setelah melakukan hijrah dan menetap di suatu negeri baru. Jadi semua peradaban adalah hasil dari hijrah masyarakat-masyarakat primitif.

Semua aliran sosiologi dan sejarah yang beraneka ragam telah sama mencurahkan perhatian mencari jawaban atas pertanyaan: Apakah yang merupakan motor penggerak sejarah, merupakan faktor dasar dalam perkembangan dan perubahan masyarakat manusia?

Ada beberapa aliran yang sama sekali tidak percaya akan sejarah. Mereka juga menolak pendapat bahwa sosiologi harus memiliki hukum-hukum, prinsip-prinsip atau kriteria yang pasti.

Kemudian timbul semacam anarkisme ilmiah yang bersikap pesimistis terhadap filsafat sosiologi serta ilmu-ilmu manusiawi, dan berpendapat bahwa yang menjadi faktor dasar tersebut adalah serba kebetulan. 

Semua perubahan, kemajuan, kemerosotan, dan revolusi yang dialami suatu bangsa adalah akibat dari suatu kebetulan saja. Aliran ini menganggap setiap hal sebagai akibat kebetulan belaka.

Kelompok lainnya yaitu, golongan materialis dan mereka yang menganut paham determinisme sejarah. Kelompok ini percaya bahwa terdapat faktor-faktor dan  hukum-hukum yang menentukan kehidupan masyarakat manusia sepanjang sejarah.

Faktor-faktor dan hukum-hukum itu mempunyai peranan yang sama seperti halnya hukum-hukum mengenai alam semesta. Manusia perorangan tidak dapat mempengaruhi masyarakatnya. Karena masyarakat adalah gejala alam yang berkembang sesuai dengan faktor-faktor dan hukum-hukum alam.

Kelompok berikutnya terdiri atas mereka yang memuja para pahlawan serta orang-orang besar. Menurut pandangan kelompok ini, nasib masyarakat dan umat manusia tergenggam dalam tangan orang-orang besar, yang bertindak sebagai pemimpin masyarakat. 

Karena itu kebahagiaan dan kebinasahan suatu masyarakat tidak hanya bergantung pada massa rakyatnya, bukanlah akibat hukum lingkungan dan masyarakat yang pinasti, bukan pula akibat kebetulan.

Semua semata-mata bergantung pada orang-orang besarnya, yang sesekali muncul dalam masyarakat untuk mengubah nasib masyarakat mereka dan ada kalanya bahkan nasib ummat manusia.

Sejak zaman demokrasi Athena hingga dewasa ini, tidak satupun dari ajaran demokrasi yang menegaskan bahwa massa rakyat menjadi faktor penentu dalam perubahan dan perkembangan sosial. 

Bahkan para sosiolog yang paling demokratis pun, harus mengakui bahwa bentuk pemerintahan serta organisasi administratif dan sosial terbaik ialah rakyat turut berpartisipasi dengan memberikan suara dan memilih pemerintahan mereka.

Akan tetapi, ternyata tidak menganggap rakyat sebagai faktor dasar perubahan dan perkembangan sosial. Malahan sebaliknya, yang mereka andalkan sebagai penentu adalah determinisme, pemimpin-pemimpin besar, golongan elite, peristiwa kebetulan atau kehendak Tuhan.

Para penganut paham yang memuja para pahlawan dirasa sedikit keliru. Para tokoh besar bukanlah sepenuhnya faktor yang membuat perubahan yang mana hal ini dicontohkan dalam Islam.

Tugas dan karakteristik Rasul jelas sekali tertera dalam Al-Qur'an, ialah menyampaikan risalah. Beliau bertanggung jawab untuk menyampaikan risalah; beliau adalah seorang yang memperingatkan dan yang menyampaikan berita gembira. 

Dan ketika Rasul bersedih hati karena ummat tidak menyambut risalah beliau sehingga beliau tidak berhasil memimpin mereka sebagaimana yang diharapkan beliau.

Maka berkali-kali Allah menyatakan kepada beliau bahwa tugas beliau adalah menyampaikan risalah, memperingatkan manusia dan membawa kabar gembira, menunjukkan jalan bagi mereka; sama sekali beliau tidak bertanggungjawab atas keruntuhan dan kejayaan mereka, karena yang bertanggung jawab adalah rakyat sendiri.

Menurut Al-Quran, Rasul bukanlah penyebab aktif perubahan dan perkembangan fundamental dalam sejarah manusia. Tetapi beliau dilukiskan sebagai pembawa risalah yang bertugas menunjukkan ajaran dan jalan kebenaran kepada manusia.

Dengan berbuat demikian sempurnalah tugas beliau, dan terserah kepada manusia apakah akan memilih kebenaran atau meningkarinya,apakah akan menerima petunjuk atau memilih kesesatan.

Islam tidak mengenal kebetulan, karena semua berada ditangan Allah. Islam menolak adanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tanpa sebab atau tujuan, baik di alam ataupun dalam masyarakat manusia. 

Dari ajaran Al-Quran, dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Islam faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial bukanlah pribadi-pribadi sang pemimpin, bukan pula kebetulan, ataupun hukum-hukum yang berlaku dan abadi.

Pada umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap Nabi dialamatkan kepada mereka yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial yang fundamental dan efektif di dalam ajaran itu. 

Demikianlah Al-Quran dialamatkan kepada rakyat, beliau berbicara kepada rakyat; rakyatlah yang bertanggungjawab atas perbuatan mereka sendiri; rakyatlah yang menjadi faktor dasar kemerosotan masyarakat. Ringkasnya, rakyatlah yang memikul seluruh tanggungjawab terhadap masyarakat dan sejarah.

Dalam sosiologi, massa terdiri dari atas segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam kalangan mereka.

Karena itu massa berarti rakyat sendiri, tanpa menunjuk kepada kelas atau sosial tertentu. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya Islam adalah ajaran sosial pertama yang mengandalkan massa sebagai faktor dasar yang sadar -- yang menentukan sejarah dan masyarakat. 

Bukan mereka yang terpilih seperti pendapat Nietzsche, bukan para aristokrat dan ningrat sebagaimana yang dikemukakan Plato, bukan tokoh-tokoh besarnya Carlyle dan Emerson, bukan mereka yang berdarah murni yang digambarkan oleh Alexis Carrel, bukan pula peran pendeta, atau intelektual, melainkan massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun