UN (Ujian Nasional) yang pembuatan soalnya bukan kedaulatan sekolah pernah menjadi penentu kelulusan, kemudian berganti menjadi USBN Â (Ujian Sekolah Berstandar NAsional) yang pembuatan soalnya menjadi kedaulatan sekolah (Satuan Pendidikan). Selanjutnya, USBN diganti menjadi AKM dan Survei Karakter yang mengevaluasi kemampuan literasi, numerasi dan penerapan karakter berasaskan Pancasila dari siswa sampel suatu sekolah. Lebih lanjut, AKM ditambah dengan TKA (Tes Kompetensi Akademik) yang khusus bagi seluruh populasi kelas akhir (VI, IX, dan XII) suatu jenjang satuan pendidikan. Mari kita lihat bagaimana pergantian kebijakan ini semakin baik atau malah maju-mundur. Mari kita lihat apakah kebijakan ini semakin komprehensif (luas dan lengkap)?
Secara pribadi penulis saat menyenyam pendidikan di SMP dahulu tidak ada rasa terbebani dengan UN namun ketika usia SMA malah terbalik menjadi terbebani karena rumitnya pelajaran kimia, matematika, fisika, dan bahasa Inggris, hanya pelajaran bahasa Indonesia dan biologi saja yang saya percaya diri meghadapi tantangannya. Bahkan pada tingkat guru juga sangat kental terbebani dengan UN karena dampaknya ada siswa lulus dan tidak lulus mencapai angka target atau tidak capai angka target). Mengapa penulis katakan sangat kental, karena guru ikut membantu mengerjakan soal dan memberi tahu jawabannya.
Saat penulis mengajar bimbel Ganesha Operation sejak akhir 2013 sampai Jui 2016 penulis pun mendapati gonjang-ganjing soal bocor sehari sebelum pelaksanaannya. Sebagian siswa mencatat kunci jawaban. Saat itu penulis tidak percaya dengan hal yang seperti itu. Apa yang penulis ungkap rasanya sangat memalukan, namun jika tidak diungkap kebenaran tidak akan terlihat.
Ketika kebijakan UN berganti menjadi USBN (saat penulis masih sebgai pengajar bimbel Ganesha Operation) muncul fenomena lain yang aneh. Jika UN membuat mayoritas siswa perlu kerja keras mencapai target dan 'dihantui kecemasan' Â maka USBN yang soalnya enjadi otoritas sekolah, malah membuat sebagian besar siswa bersantai terhadap pelajaran (bagi guru siswa dinilai kurang memahami kompetensi dasar masing-masing mata pelajaran). mayoritas dan sebagian besar memiliki makna yang berbeda. Kalau boleh mmberi skor, penulis menganggapnya 95 persen adalah mayoritas, 68 persen adalah sebagian besar. Kira-kira siswa tangguh dari sistem UN ada 3 persen sedangkan siswa tangguh pada system USBN adalah 30 persen (penulis anggap galatnya 5 persen).
USBN terakhir dilaksanakan pada 2020 kemudian pada 2021 dihapuskan saat negeri dilanda Pandemi Covid-19 yang menurut penulis membuat mayoritas siswa kehilangan kompetensi dasar kognitif, psikomotor dan karakter, terutama pada siswa PAUD dan SD yang membuat orang tua lebih banyak belajar dan mengerjakan PR anak-anaknya. Pada 2021 sistem baru dihadirkan yaitu Asesmen Kompetensi Minimum.
Saat siswa mengikuti survei karakter, guru mengikuti survei lingkungan belajar (sulingjar). Karakter Pancasilais di mata siswa dan guru akan terevaluasi dari survei ini. Berdasarkan pengalaman penulis mengikuti sulingjar pada 2021, kelemahan sistem ini adalah guru 100% mengisi sulingjar sedangkan siswa hanya sampel (dari kelas V, VIII dan XI). Perlu ditingkatkan sebenarnya responden siswa yang mengikuti survei karakter yaitu 100 persen siswa  kelas V, VIII dan XI karena mereka menjadi cerminan capaian sekolah (satuan pendidikan).
AKM terbukti mengakomodir rasa beban berat belajar bagi siswa dan mendidik bagi guru karena tidak menentukan kelulusan siswa. namun menjadi bahan dasar untuk kebiajkan sekolah (atau visi misi, dan program baru berdasarkan kelemahan capaian literasi, numerasi maupaun karakter berasas PAncasila). namun AKM belum mengakomodir rasa santai (seperti ucapan, ah berapa pun nilai ujian, pasti lulus sekolah).
Hadirnya TKA tidak menghapus AKM, namun apakah TKA akan mengakomodir rasa beban berat belajar siswa dan rasa santai di kalangan siswa? TKA hanya mengujikan bahasa inggris, bahasa Indonesia, matematika dan dua mata pelajaran pilihan pada titik ini sebenarnya sudah mengurangi beban belajar karena hanya 5 mata pelajaran. Sebelum itu, dahulu program IPA atau  IPS wajib siswanya mengikuti ujian 6 mapel BAhasa Inoensia ,Bahasa Inggris, MAtematika, Biolgi Fisika dan Kimia (untuk kelas IPS: Sosiologi, ekonomi dan geografi).
Tantangan bagi TKA adalah apakah ia akan mencetak generasi santai atau semangat belajar? Hitung-hitungan penulis sebelumnya 30 persen siswa tangguh saat sistem USBN tampaknya juga akan demikian pula pada sistem AKM + TKA. Penulis yakin akan meningkatkan siswa tangguh sebesar 5-25 persen jika pada sisi AKM pesertanya adalah 100% dari kelas V, VIII dan XI.
Namun ketika berpikir ringkas dan kualitas siswa dihubungkan dengan kulitas pendidiknya maka malah pendidik yang terbebani. Di sinilah value pengorbanan yang menjadi bobot lebih bagi para pendidik daripada para siswa. Apapun yang terjadi pada siswa, pendidik terus berkorban. Kalau tidak demikian kepada siapa gelar pahlawan itu diberikan?
Apa yang perlu dibenahi dari kebijakan TKA? Hingga artikel ini ditulis belum ada Peraturan Menteri Pendidikan terkait TKA yang dirilis namun sejumlah sumber menyebutkan dari Pak Menteri Pendidikan bahwa materi TKA pada tingkat SMA adalah Bahasa, Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan dua mata pelajaran pilihan, sedangkan SD dan SMP adalah Bahasa Indonesia dan Matematika serta dua mata pelajaran pilihan. Dua hal yang menurut penulis perlu direspon oleh pemerintah, sebab banyak pihak menginginkan adanya sistem evaluasi pendidikan yang semakin komprehensif.
- Sebenarnya sejak dahulu UN, USBN, TKA ini tidak mencerminkan prinsip pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Menurut penulis pemerintah perlu mengadakan tes baru yaitu seputar mata pelajaran Pendidikan Agama. TKA terlihat sebagai tes yang mewakili pengukuran intelektual, lalu kapan pemerintah mengadakan tes yang mewakili pengukuran emosional dan spiritual?
- Dunia dan Indonesia sedang menghadapi lima tantangan besar yang seolah sudah menjadi kesepakatan umum. Pertama, krisis demokrasi (misal konflik kepentingan partai politik di Indonesia, konflik kaum kanan dan kiri di Eropa, konflik kaum Demokrat dan Repulbik AS, diskriminasi atas bangsa Palestina, kualitas demokrasi yang buruk di Amerika Selatan). Kedua, ideologi ekstrim seperti imperialisme, bisnis senjata dan militer di Barat dan terorisme di Timur Tengah . Ketiga, masih adanya kelaparan. Keempat dampak buruk perubahan iklim. Kelima, kemajuan AI.  Maka perlu merombak system evaluasi perkembangan pendidikan siswa yaitu sebuah asesmen yang mengukur penghayatan pengamalan Pancasila. Sebab Pancasila menjadi solusi bagi lima tantangan besar tersebut. Masalah krisis demokrasi  dan ideology ekstrim sudah selesai secara pengamalan  "kemanusiaan yang adil dan beradab",  "persatuan" serta  "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan," karena setiap manusia berjuang demi kepentingan umum bukan kepentingan kelompok maupun elit. Masalah kelaparan ada solusi "keadilan sosial" sebab orang kaya menolong orang yang lemah. Masalah kemajuan AI dan perubahan iklim ada solusi "Ketuhanan Yang MAha Esa", "Kemanusiaan yang adil dan beradab" serta "keadilan Sosial" sebab jiwa, akhlak dan kasih sayang bukanlah keunggulan AI, juga karena pencegahan polusi alam menjadi tanggung jawab bersama manusia sebagai makhluk Tuhan. Menurut penulis pemerintah perlu mengadakan tes baru yaitu tes pengamalan Pancasila (misalnya melalui teknik lisan) yang lebih spesifik daripada AKM (survei karakter).
Selain membuat kebijakan TKA apalagi yang perlu dibenahi? Berdasarkan prinsip akreditasi dan SDGs (Sustainable Development Goals), kualitas yang perlu dimiliki oleh warga sekolah dan mitra adalah sebagai berikut:
- Belajar yang berbasis kebutuhan siswa. Berdasarkan observasi penulis terlihat masih banyakknya kurang manajemen sekolah dalam menertibkan siswa merokok di toko seberang sekolah (luar sekolah). Anak-anak ini mungkin saja kurang tersalurkan minat dan bakatnya sehingga mencari kesenangan di luar sekolah pada jam Kegiatan BElajar-Mengajar aktif. Bahkan sejumlah guru tidak mengetahui hasil asesmen kepribadian, minat-bakat siswa untuk dapat mengarahkan mereka pada cita-cita yang sesuai dan efisien. Terbukti, masih saja ada sebutan anak cerdas dan anak kurang cerdas. Padahal, semua anak itu cerdas sesuai bakat dan minatnya.
- Guru yang mayoritas semangat belajar. Berdasarkan observasi penulis terlihat sejumlah guru yang pulang kerja padahal belum waktunya pulang dengan berbagai alasan yang tidak tepat seperti sedang happy karena mengasuh cucu dan sedang tidak ada jadwal mengawas Ujian Semester (Sumatif). Masih pula terlihat guru yang merokok di lingkungan sekolah. Bahkan, sejumlah guru tidak terlihat asyik dalam komunitas belajar. Tentu yang  diharapkan adalah guru yang tak hanya belajar karena mengejar sertifikat atau penghargaan tapi karena ingin teru menjadi lebih baik bagi diri dan masyarakat.
- Kepemimpinan kepala sekolah yang berbasis kebutuhan warga sekolah. Penulis menjumpai kepala sekolah yang kurang teladan dan kurang jiwa supervisor-nya. Tidak mempunyai pengalaman mendidik dan mengajar yang optimal, sekedar memenuhi jam tegak kerja harian 8 jam. Kepala sekolah perlu teknik mendalam sebagai supervisor yang handal.
- Penghargaan warga sekolah atas kebhinekaan demi terpenuhinya kebutuhan siswa. Penulis menjumpai namun tidak tahu seberapa banyak persentasenya, warga sekolah yang belum bersikap elegan terhadap keragaman pendapat, pemikiran dan budaya. Misalnya saja, debat yang berujung pada perkelahian fisik. Menurut pengalaman penulis selama ini, ini jarang ditemui, namun tidak diketahui bagaimana kejadian dan peristiwa di daerah lain. Warga sekolah selalu menghadapi tantangan memenuhi kebutuhan makan harian, pendapatan/upah yang cukup, kesehatan, kebersihan dan sanitasi yang optimal, kolaborasi demi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen, minyak, gas alam, dan listrik yang mencukupi pertumbuhan penduduk, perilaku yang ramah lingkungan baik kegiatan konsumsi maupun produksi. Bahkan pula menghadapi tantangan harian seperti kelestarian ekosistem darat dan laut, juga penerimaan atas kebhinekaan global. Ditambah lagi tantangan konflik kepentingan karena individualisme. MAka sekolah dan pemerintah perlu mencanangkan program yang tepat guna mengatasi masalah siswa saat ini dan di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI