Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebuah Refleksi tentang Penelitian Interpretative Phenomenological Analysis

18 Mei 2021   08:04 Diperbarui: 18 Mei 2021   16:17 2737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai contoh, dalam penelitian pada narapidana kasus pembunuhan, semuanya menyatakan ingin bertobat, kecuali satu orang yang mengatakan "Besok kalau saya sudah bebas saya mau bunuh orang yang dulu memenjarakan saya." Unik di antara semua subjek, tidak ditemukan pada masyarakat yang tidak dipenjara karena membunuh; sangat bisa dijadikan tema khusus sebagai hasil penelitian.

Selalu Disuruh Epoche, Bagaimana Caranya?

Dari penjelasan tersebut bisa kita dapatkan gambaran pentingnya epoche bagi peneliti fenomenologi. Misalnya begini, latar belakang saya adalah seseorang yang sangat religius, sementara itu, penelitian saya mengenai pengalaman menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK). Bayangkan seberapa parah bias yang akan muncul dalam penelitian tersebut apabila si peneliti tidak bisa epoche?

Meski demikian, saya pikir dalam kasus tertentu, se-epoche apapun peneliti dalam melaporkan hasil temuannya pasti akan bertabrakan dengan suatu norma atau nilai. Contohnya ketika kita meneliti pengalaman individu dengan homoseksual, lalu saran apa yang layak diberikan setelah kesimpulan penelitian? Menyarankan subjek untuk mengubah orientasi seksualnya? Menyarankan pemerintah untuk merehabilitasi orang-orang semacam ini? Atau menyarankan masyarakat untuk menerimanya? Di satu sisi, kita perlu mempertimbangkan bagaimana perasaan subjek yang akan membaca saran tersebut, namun di sisi lain, masyarakat Indonesia yang masih kurang terbuka dengan kasus semacam ini mungkin akan menolak saran kita.

Terkait epoche sendiri sering kali didefinisikan sebagai bersikap objektif atau tidak mencampurkan asumsi pribadi. Namun, permasalahannya objektivitas kadang sedikit relatif. Loh kok relatif? Contohnya, suatu media yang memberitakan kebaikan pemerintah akan dicap tidak objektif oleh masyarakat, sementara media yang membela rakyat akan dicap tidak objektif oleh pemerintah. Artinya, objektif itu kadang tergantung dari mana kita melihatnya.

Dilihat dari definisi dan kelemahan IPA yang saya sebutkan di bagian sebelumnya, pendekatan ini sangat "menyembah" subjektivitas dan bahkan membuka ruang bagi kita sebagai peneliti untuk berasumsi. Misalnya, menyimpulkan bahwa seseorang memiliki harapan (hope) hanya karena ia mengucapkan kata "InsyaAllah". Hal ini juga yang mungkin membuat beberapa ahli psikologi kurang menerima IPA sebagai suatu pendekatan yang scientific.

Jadi apakah objektivitas itu benar-benar ada? Jawabannya adalah, tidak. Bahkan filsafat post-positivisme sendiri telah menyatakan bahwa objektivitas tidak ada. Jadi bagaimana dengan penelitian IPA? Sepertinya sia-sia bila yang dicari adalah objektivitas, namun kita tetap bisa mengusahakan untuk bersikap adil dengan data.

Dalam kajian media massa, keadilan tersebut dapat dilihat dari jumlah framing berita. Misalnya media A dalam satu tahun ini 100 kali memberitakan kebaikan pemerintah dan 100 kali memberitakan keburukan pemerintah. Sama dengan penelitian IPA, cara kita memandang, hal yang digali, atau temuan yang "dipamerkan" sebisa mungkin dibuat berimbang.

Lalu bagaimana caranya biar bisa adil dalam melihat atau memperlakukan data? Setelah saya mempelajarinya sendiri di YouTube, ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk mengurung (bracketing) bias. 

Pertama, mengobrollah dengan teman sesama peneliti atau dosen pembimbing terkait bias personal, pengalaman, dan pengetahuan masa lalu tentang topik penelitian. Misalnya, saya hendak meneliti pengalaman mahasiswa jurusan agama yang berjudi. Setelah saya refleksikan dan bicarakan, ternyata ketertarikan pada topik tersebut adalah karena ayah saya jatuh miskin akibat berjudi.

Kedua, catat hal-hal yang dirasa sebagai bias. Contohnya, saat mewawancarai mahasiswa jurusan agama yang berjudi tadi, saya cenderung berfokus pada dampak buruknya saja karena pengalaman saya tersebut. Apabila ada hal yang ternyata masih kurang jelas atau perlu digali lagi, jangan malu untuk meminta wawancara kedua, ketiga, keempat, dst.

Ketiga, laporkan hal-hal apa saja yang menjadi bias selama menjalankan penelitian dan bagaimana cara mengurungnya. Sebagai contoh, setelah menemukan bahwa saya terlalu fokus pada hal-hal negatifnya saja, maka saya berupaya untuk membaca transrkrip wawancara berulang-ulang dan mengonfirmasi kepada subjek terkait pengalamannya tersebut. Dengan kata lain, jangan biarkan terlalu banyak asumsi atau bias yang "lepas" sampai ke laporan penelitian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun