Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebuah Refleksi tentang Penelitian Interpretative Phenomenological Analysis

18 Mei 2021   08:04 Diperbarui: 18 Mei 2021   16:17 2737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelumnya, ada dua pertanyaan. Pertama, dalam sebuah wawancara, seorang ibu yang anaknya masuk penjara karena tawuran mengatakan "Emm.. waktu itu jantung saya serasa berhenti saat mendengarnya." Apa yang sebenarnya dirasakan oleh ibu itu? Marah? Sedih? Terkejut?

Kedua, peneliti fenomenologis selalu diminta untuk epoche (objektif), namun sejauh mana batasan epoche tersebut? Apakah mempertanyakan "Ah masa sih ibu itu merasa sampai segitunya?" termasuk tidak epoche? Atau jangan sampai situ dulu, deh, memangnya bagaimana sih cara/langkah biar bisa epoche?

Dua pertanyaan tersebut seingat saya belum pernah diajarkan sampai dengan menjalankan penelitian di lapangan. Padahal, sebelumnya saya sudah mengikuti mata kuliah "Metodologi Penelitian Kualitatif" dan "Seminar Proposal".

Dua Sisi Penelitian Interpretative Phenomenological Analysis

Interpretative Phenomenological Analysis atau disingkat IPA merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian kualitatif yang kerap digunakan di dunia psikologi. Sejarahnya dipengaruhi filsafat post-positivisme, dimana asumsi dasarnya adalah bukti empiris tidak selalu sejalan dengan teori. Ini menjelaskan kenapa dalam pendekatan IPA tidak meneliti variabel, karena masih bisa bervariasi (vari able), melainkan sesuatu yang pasti/sudah terjadi (pengalaman, pemaknaan, dll).

Dua "raksasa" fenomenologi yang memengaruhi pendekatan penelitian ini adalah Husserl dengan transendental-nya dan Heidegger dengan Eksistensial-nya. Bedanya dimana? Seingat saya, kalau transendental itu lebih kepada esensi suatu pengalaman, sementara eksistensial lebih menekankan pada ke-ada-an di dunia.

Sesuai namanya, fenomenologi memfokuskan diri pada fenomena yang dialami seseorang. Paradigma berpikir dalam pendekatan fenomenologi sendiri adalah pengalaman membentuk individu dan individu tersebut turut menciptakan pengalamannya juga. Oleh karena itu, dalam penelitian fenomenologi tidak ada pengalaman yang benar atau salah.

Meski demikian, juntaian pengalaman yang sangat banyak tersebut kemudian akan dipadatkan untuk diambil "intisari"-nya. Dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan pendekatan yang memungkinkan adanya dual-interpretation, dimana seorang peneliti menginterpretasikan interpretasi seseorang atas pengalamannya sendiri.

Menjawab pertanyaan yang diajukan sebelumnya, frasa "jantung saya serasa berhenti" yang keluar dari mulut seorang ibu untuk menggambarkan responsnya ketika mendengar anaknya masuk penjara merupakan interpretasi dari pengalamannya sendiri. Di sini intuisi seorang peneliti IPA dibutuhkan untuk mengetahui apa yang sebenarnya ibu itu rasakan ketika mendengar kabar tersebut.

Andaikan peneliti mengatakan bahwa itu merupakan ekspresi dari perasaan terkejut, karena "jantung berhenti" biasanya karena kejutan, apakah interpretasi peneliti atas perasaan ibu tersebut pasti 100% benar? Belum tentu juga. 

Pekerjaan peneliti IPA itu seperti peneliti sejarah. Ada peneliti sejarah yang mengatakan Pangeran Diponegoro berperang karena melawan kolonialisme, tapi ada juga yang mengatakan ia marah karena sebagai pangeran, ia harus mempertahankan kekuasaannya. Ini, boleh dibilang, adalah salah satu kelemahan pendekatan IPA.

Meski demikian, kelebihan pendekatan IPA adalah kita bisa mendapat gambaran yang benar-benar luas serta holistik. Walaupun IPA mencari pola kesamaan pengalaman, namun keunikan setiap individu bisa ditangkap dengan baik. Tidak ada yang namanya margin of error, karena sejak awal memang tidak dibuatkan margin-nya.

Sebagai contoh, dalam penelitian pada narapidana kasus pembunuhan, semuanya menyatakan ingin bertobat, kecuali satu orang yang mengatakan "Besok kalau saya sudah bebas saya mau bunuh orang yang dulu memenjarakan saya." Unik di antara semua subjek, tidak ditemukan pada masyarakat yang tidak dipenjara karena membunuh; sangat bisa dijadikan tema khusus sebagai hasil penelitian.

Selalu Disuruh Epoche, Bagaimana Caranya?

Dari penjelasan tersebut bisa kita dapatkan gambaran pentingnya epoche bagi peneliti fenomenologi. Misalnya begini, latar belakang saya adalah seseorang yang sangat religius, sementara itu, penelitian saya mengenai pengalaman menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK). Bayangkan seberapa parah bias yang akan muncul dalam penelitian tersebut apabila si peneliti tidak bisa epoche?

Meski demikian, saya pikir dalam kasus tertentu, se-epoche apapun peneliti dalam melaporkan hasil temuannya pasti akan bertabrakan dengan suatu norma atau nilai. Contohnya ketika kita meneliti pengalaman individu dengan homoseksual, lalu saran apa yang layak diberikan setelah kesimpulan penelitian? Menyarankan subjek untuk mengubah orientasi seksualnya? Menyarankan pemerintah untuk merehabilitasi orang-orang semacam ini? Atau menyarankan masyarakat untuk menerimanya? Di satu sisi, kita perlu mempertimbangkan bagaimana perasaan subjek yang akan membaca saran tersebut, namun di sisi lain, masyarakat Indonesia yang masih kurang terbuka dengan kasus semacam ini mungkin akan menolak saran kita.

Terkait epoche sendiri sering kali didefinisikan sebagai bersikap objektif atau tidak mencampurkan asumsi pribadi. Namun, permasalahannya objektivitas kadang sedikit relatif. Loh kok relatif? Contohnya, suatu media yang memberitakan kebaikan pemerintah akan dicap tidak objektif oleh masyarakat, sementara media yang membela rakyat akan dicap tidak objektif oleh pemerintah. Artinya, objektif itu kadang tergantung dari mana kita melihatnya.

Dilihat dari definisi dan kelemahan IPA yang saya sebutkan di bagian sebelumnya, pendekatan ini sangat "menyembah" subjektivitas dan bahkan membuka ruang bagi kita sebagai peneliti untuk berasumsi. Misalnya, menyimpulkan bahwa seseorang memiliki harapan (hope) hanya karena ia mengucapkan kata "InsyaAllah". Hal ini juga yang mungkin membuat beberapa ahli psikologi kurang menerima IPA sebagai suatu pendekatan yang scientific.

Jadi apakah objektivitas itu benar-benar ada? Jawabannya adalah, tidak. Bahkan filsafat post-positivisme sendiri telah menyatakan bahwa objektivitas tidak ada. Jadi bagaimana dengan penelitian IPA? Sepertinya sia-sia bila yang dicari adalah objektivitas, namun kita tetap bisa mengusahakan untuk bersikap adil dengan data.

Dalam kajian media massa, keadilan tersebut dapat dilihat dari jumlah framing berita. Misalnya media A dalam satu tahun ini 100 kali memberitakan kebaikan pemerintah dan 100 kali memberitakan keburukan pemerintah. Sama dengan penelitian IPA, cara kita memandang, hal yang digali, atau temuan yang "dipamerkan" sebisa mungkin dibuat berimbang.

Lalu bagaimana caranya biar bisa adil dalam melihat atau memperlakukan data? Setelah saya mempelajarinya sendiri di YouTube, ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk mengurung (bracketing) bias. 

Pertama, mengobrollah dengan teman sesama peneliti atau dosen pembimbing terkait bias personal, pengalaman, dan pengetahuan masa lalu tentang topik penelitian. Misalnya, saya hendak meneliti pengalaman mahasiswa jurusan agama yang berjudi. Setelah saya refleksikan dan bicarakan, ternyata ketertarikan pada topik tersebut adalah karena ayah saya jatuh miskin akibat berjudi.

Kedua, catat hal-hal yang dirasa sebagai bias. Contohnya, saat mewawancarai mahasiswa jurusan agama yang berjudi tadi, saya cenderung berfokus pada dampak buruknya saja karena pengalaman saya tersebut. Apabila ada hal yang ternyata masih kurang jelas atau perlu digali lagi, jangan malu untuk meminta wawancara kedua, ketiga, keempat, dst.

Ketiga, laporkan hal-hal apa saja yang menjadi bias selama menjalankan penelitian dan bagaimana cara mengurungnya. Sebagai contoh, setelah menemukan bahwa saya terlalu fokus pada hal-hal negatifnya saja, maka saya berupaya untuk membaca transrkrip wawancara berulang-ulang dan mengonfirmasi kepada subjek terkait pengalamannya tersebut. Dengan kata lain, jangan biarkan terlalu banyak asumsi atau bias yang "lepas" sampai ke laporan penelitian.

Jadi, kunci utama untuk menjadi lebih epoche itu apa, sih? Jangan malas melakukan refleksi dengan jujur, setidaknya dimulai dengan jujur pada diri sendiri. Nah, ternyata bukan cuma hubungan kan yang butuh kejujuran? Kalo ga jujur, "IPA tuh gabisa diginiin mas.." ckuakz wkwk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun