Mohon tunggu...
Tri Wibowo BS
Tri Wibowo BS Mohon Tunggu... -

Editor, penerjemah, tukang ketik, mampir cengengesan | urip sawang sinawang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ironi Nan Indah

18 Desember 2010   04:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:38 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal yang menjengkelkan di dunia buku yang orang awam tidak tahu. Bahkan kadang-kadang orang buku juga tidak tahu. Bukannya karena mereka bodo, tapi mungkin karena belum pernah bertemu saja. Jadi ingin curhat-curhatan.

Seperti dunia lain, seperti politik atau bisnis, di mana ada "orang baik" versus "orang buruk" dan "orang yang abu-abu." Demikian pula dengan dunia buku. Beruntunglah mereka yang selama bekerja di dunia buku hanya bertemu dengan orang-orang baik, atau jarang bertemu orang buruk.

#1. Suatu ketika, sebuah penerbit ingin menerbitkan buku terjemahan. Tetapi karena royaltinya mahal (1000 dolar lebih) maka penerbit ini tidak peduli mengurus royalti. Ada 1001 macam alasan untuk membenarkan penerbitan tanpa royalti. Dan ada 1001 macam alasan untuk menyerang penerbit yang tak peduli pada royalti. Semuanya pernah dibahas di berbagai milis. Tetapi, sementara kita berdebat, ada pihak yang terus "dirugikan" – sang pemilik hak cipta. Minimal si pemegang hak cipta ini dirugikan karena "tidak dihormati daya karsa dan kreasinya." Sebuah ironi, bukan? Kita, yang mengaku orang-orang buku, sebuah dunia yang seharusnya sopan dan hormat kepada daya kreasi dan aktivitas intelektual, masih juga enggan untuk sekedar menghargai daya kreativitas dengan memberi sedikit dari keuntungan yang kita peroleh dari hasil menjual kreasi mereka. Ah, ada 1001 alasan untuk menolak royalti ke pihak asing, dan ada 1001 alasan untuk mengecam para pelanggar royalti.... mari kita terus berdebat.

#2. Suatu ketika, seorang penerjemah dengan penuh percaya diri dan sopan mendatangi saya. Minta dikasih order penerjemahan. Karena saya sedikit kenal , maka saya kasih satu buku. Baru satu bab, penerjemah yang sopan itu mengirim surat bahwa dirinya butuh sedikit uang, dan minta DP honor penerjemahan sebesar 50 %. Karena alasan kemanusiaan dan kenal, permintaannya dituruti. Enam bulan berlalu dan buku yang hanya setebal 150-an halaman itu tak pernah selesai penerjemahannya. Penerjemahnya? Mungkin jadi korban gempa.

#3. Masih penerjemah. Juga sopan, mungkin karena butuh. Dikasih order menerjemahkan satu buku, tapi dia dites dulu. Seperti lazimnya, calon penerjemah ini diminta menerjemahkan 15 halaman dengan tingkat kesulitan bervariasi. Hasilnya bagus. Kita kasih dia order satu buku. Hebatnya, dia menyelesaikannya sesuai jadwal. Honorpun di bayar. Tiga hari kemudian sang editor memaki-maki sendiri. Apa sebabnya? Terjemahan yang bagus hanya ada di bab 1. bab 2 dst dikerjakan sembarangan! Kesalahan ada di mana-mana. Selidik punya selidik, si penerjemah ini rakus. Dia menerima order terjemahan langsung 3 buku dari penerbit yang berbeda-beda dengan tenggat waktu yang berdekatan. Makanya dia hanya konsentrasi pada satu bah saja. Bab selebihnya diberikan kepada pihak lain yang kredibilitasnya tidak jelas dengan bayaran di bawah honor yang diberikan penerbit, yakni hanya setengahnya. Misalnya, honor dari penerbit 10.000 per halaman. Oleh si penerjemah, bab 2 dst diberikan kepada pihak lain dengan honor 5000 saja. Ah, cerdas juga dia....dengan ongkang-ongkang, dia dapat uang Rp 5000 x sisa halaman yang diterjemahkan.

#4. Suatu ketika, seorang kawan yang saya kenalbaik, mendirikan sebuah penerbitan. Sebagai penerbit, idealismenya tinggi dan penuh semangat. Ia menerbitkan karya sastra. Lalu diutuslah sang sales untuk membuka vendor di toko-toko buku terkemuka. Apa yang terjadi? Sang utusan pulang dengan laporan: toko buku minta rabat 45 % karena ia penerbit baru. Ah, dapat untung dari mana sang penerbit kalo tidak menaikkan harga buku? Sang kawan itu mulai melempem, sembari mengeluh, "Bagaimana mau cerdas bangsa ini kalo buku 'terpaksa' harus mahal?" Saya kaget dengan kata "terpaksa" itu. Ia sebagian sangat benar. Ya, sebagian ia sangat benar. Kita terpaksa harus membeli buku dengan harga mahal, sebab sebenarnya kalo dunia buku di penuhi orang-orang baik, buku bisa murah. Sayangnya, dunia ini selalu ada "orang baik" dan "orang jahat" dan "orang abu-abu."

#5. Suatu ketika, seorang kawan sales buku, yang sudah keluyuran di semua pasar buku selama lebih dari lima tahun, dari toko buku besar hingga toko-toko buku kecil di senen, palasari, shoping jogja, dan sebagainya, datang dengan muka kesal. Sembari membanting tasnya, dia berkata "kayaknya gue musti bawa golok kalo nagih!!" Barangsiapa yang lama berkecimpung di dunia sales buku, susah menagih adalah sesuatu yang lazim, walau menjengkelkan.

#6. Seorang kawan, bekerja di bagian gudang sebuah penerbitan. Celakanya, sang bos lebih mementingkan buku bahkan ketimbang kondisi karyawannya. Administrasi gudang memang sedikit ruwet. Kadang ada buku "hilang" setelah dilakukan stock opname. Dan biasanya sang bos tak mau tahu dan tak mau berendah hati untuk melakukan penelitian, dan langsung menyalahkan karyawannya. Yang ajaib, setiap buku yang hilang, sang karyawan harus menggantinya. Padahal, buku "hilang" belum tentu hilang "fisik." Mungkin karena salah pencatatan. Dan karenanya ketika data di catatan dicocokkan dengan cek fisik, tidak sesuai. Tetapi bos tak pernah salah dan tak mau tahu. Apa akibatnya? Karyawan yang bergaji kecil ini harus kehilangan bonus karena harus mengganti buku. Apa akibat lanjutannya? Sang karyawan sakit hati. Lalu? Sang karyawan "membobol" gudang sendiri. Dia menjual buku dari gudang sembunyi-sembunyi, dengan manipulasi faktur, sehingga tidak diketahui. Alasannya? Untuk mengganti uang yang diambil bos untuk mengganti buku hilang. Sebuah lingkaran setan yang elok bukan? Di sini bos itulah yang bodoh. Manipulasi faktur saja tidak tahu. Seorang kawan sales pernah mengajari saya cara merekayasa faktur sehingga seolah-olah penjualan itu sah! Yah, maling selalu selangkah lebih maju! Tetapi, ironisnya, tindakan maling itu kadang lantaran dikondisikan. Ah, entahlah, mungkin mereka adalah "orang abu-abu." Aku tak tahu.

#7. Suatu ketika, direktur pemasaran sebuah penerbitan marah2, sebab ada buku yang belum diluncurkan di pasaran, tetapi secara ajaib buku itu sudah ada di sentra-sentra buku bajakan! Apakah ini semacam sihir?? Bukan! Ada karyawan yang "main mata." Pasalnya begini. Penerbit itu tidak punya percetakan sendiri. Dia mencetak di sebuah perusahaan percetakan. Nah, karena selalu ada "orang-orang buruk" dan "orang abu-abu," maka buku yang seharusnya dicetak 3000, dicetak 4000. Kelebihan cetakan itu disembunyikan. Bagaimaan bisa tidak ketahuan? Ah, "orang buruk" dan "orang abu-abu" selalu punya banyak cara untuk membuat muslihat. Nah, buku hasil cetakan dikirim ke penerbit sebanyak 3000 plus 10 persen bonusnya = 3300. Sisanya, yakni 4000-3300 = 700 itulah yang diselundupkan ke luar. Kasus ini biasa terjadi untuk buku perguruan tinggi yang laris. Ah, indahnya dunia buku ini....

#8. Seorang penulis dan dosen dan penerjemah, yang sebenarnya sudah mapan secara ekonomi, ikut mencalonkan diri jadi anggota DPR. Tetapi ia kalah. Padahal dia sudah mengeluarkan ratusan juta untuk jadi anggota dewan yang "terhormat" (aku sendiri agak heran, terhormat apanya ya?). lalu dia bangkrut. Mulailah dia memanfaatkan koneksi, pertemanan dan sejenisnya. Dia mulai rajin menerjemahkan buku-buku yang boleh dikatakan kadaluwarsa dan dari sudut pandang apapun, kemungkinan larisnya kecil. Tapi dia punya teman dekat seorang bos yang punya penerbitan. Dia kirim naskah itu. Sang editor menolak. Tetapi sang penulis tak putus asa, dia datangi bos secara pribadi. Barangkali "rasa kemanusiaan" memang bisa dimanfaatkan. Mungkin karena bos itu kasihan, diterimalah naskah yang kadaluwarsa itu. Sang editor tak bisa menolak, sebab bos sudah memberi perintah. Analisis dan kapasitas intelektual sang editor tak ada artinya lagi dalam kasus ini. Ah, di dunia ini memang selalu ada orang-orang seperti itu, kata si editor kepada saya, sambil tersenyum ramah, tetapi dengan sorot mata sedih.

#9. Apa yang harus dilakukan editor ketika menghadapi situasi seperti ini?: Datang sebuah naskah. Isinya dangkal dan jeleknya bukan main. Tapi karena si penulis ini dosen yg punya banyak mahasiswa, dan soal ujiannya selalu diambil dari bukunya sendiri, maka pihak marketing bersikeras agar buku itu diterbitkan. Jelas laris setiap tahun ajaran baru. Apa yang harus dilakukan editor selain menerimanya? Tidak ada. Naskah itu harus diterima, sebab itu jelas sumber duit, walaupun isinya melecehkan kapasitas intelektual. Kadang, editor harus berani berkompromi dengan kenyataan.

#10. Seorang penerjemah dan penerbitnya bersusah payah mengurus copyright sebuah naskah. Kira-kira 2 bulan prosesnya. Sang penerjemah dan penerbit sudah mengantongi surat perjanjian hak cipta dan royalti. Sang penerjemah sudah siap-siap memencet-mencet tombol keyboard. Pada suatu siang, sang penerjemah jalan2 ke toko buku dan dilihatnya buku yang akan diterjemahkannya itu sudah ada di toko buku! Rupanya ia diterbitkan tanpa copyright. Sang penerjemah jengkel, begitu pula sang penerbit. Apakah harus dilakukan konfrontasi? Sang bos mengatakan tidak usah. Sesama penerbit dilarang saling "membunuh." Begitu prinsipnya. Maka disuratilah sang "penerbit-tak-peduli-copyright" itu dan dijelaskan semuanya dengan baik-baik. Akhirnya, sang "penerbit-tak-peduli-copyright" mau membayar copyright melalui sang "penerbit-peduli-copyright." Tetapi, sang penerjemah tetap merasa sakit hati, karena jerih payahnya yang berusaha menghargai prosedur dan hak cipta menjadi sia-sia. Dia memang mendapat ganti uang, tetapi itu tdk bisa menyembuhkan kesedihannya. Ironis, katanya. "Penerbit buku intelektual kok tidak menghargai hak intelektual," katanya lagi.

#11. Penyakit latah bukan hanya diderita mpok Atik atau Parto Patrio atau Ratu Goyang Pacul Dyah.. Penerbit dan penulis kadang juga terkena latah. Satu buku tentang pengungkapan seks muncul, maka mengalirlah buku serupa. Satu buku teenlit muncul, maka mengalirlah buku teenlit. Satu buku karya sastra yang berisi ungkapan2 seksual muncul, maka datanglah bertubi-tubu tema serupa. "Dunia buku kita kok kaya sinetron. Ada sinetron religus bertajuk rahasia ilahi, yang laris manis. Mendadak semua TV punya sinetron religius," kata seorang kawan sambil tersenyum kecut.

#12. Seorang editor mengunjungi saya dengan muka kecut. Dia habis bersitegang dengan seorang penulis. Persoalannya sepele. Penulis itu adalah seorang "guru besar" bergelar Profesor, Doktor, Ir. ........MA., MM, M.Hum, S.Sos. Pada awalnya dalam draft sampul buku hanya ditulis Profesor XXX. Tapi si penulis tidak terima. Semua gelar harus dicantumkan! Ya sudah, mengalahlah si editor. Mungkin karena sang editor sedikit muak dengan orang yang gila gelar, dia cantumkan semua gelar lalu langsung bukunya naik cetak. Setelah jadi, dan beredar di pasaran, seminggu kemudian si penulis datang dengan sedikit marah. "Kok gelar Haji-nya tidak ada?" tanyanya. Jadi si penulis itu ingin agar namanya menjadi Prof. Dr. Ir. H. .... MA., MM., M.Hum. S.Sos. Sang editor heran, "loh haji kan bukan gelar pak?" Sang penulis tak kalah lihai, "Itukan untuk Syiar Islam!" Ah, berkat orang yang cinta gelar ini, dunia ini begitu indah bukan...???

#13. Kawan saya, seorang sales, curhat dengan marah-marah saat makan bareng di sebuah warung tegal. "Dasar penerbit X kurang ajar!" katanya, Apa pasal? Ini soal penggeseran dan penyembunyian buku di rak toko buku. Kawan saya memasarkan sebuah buku ekonomi dengan tema ABC. Buku itu sudah terpampang rapi di rak bagian atas di beberapa buku toko buku. Tetapi, anehnya, seminggu kemudian, di rak yang semula ditempati buku bertema ABC itu sudah nangkring buku serupa bertema ABC tapi milik penerbit lain. Di mana buku si sales itu? Nyungsep di bawah! Bahkan sebagian ditutupi oleh buku milik penerbit lain itu! Kok bisa begitu? Dalam dunia sales, kadang ada petugas yang namanya Checker. Atau tukang ngecek fisik buku yang ada di toko. Kadang si checker ini punya misi tertentu. Karena rak buku di toko terbatas, maka berjejallah buku-buku, yang kadang bertema serupa. Nah, si checker ini akan menggeser buku penerbit lain yang temanya sama dengan buku yang diterbitkan oleh penerbit si checker. Ringkasnya, ini adalah soal persaingan coy... bisa dipastikan, buku yang nyungsep di rak bagian bawah akan jarang dilirik orang...

# 14. Sebuah penerbit diundang oleh seorang dekan PT untuk hadir memberi presentasi tentang dunia buku. Dalam undangan disebutkan acara akan dihadiri semua dosen fakultas X. Pada jam acara, dosen yang nongol hanya 7 orang dari sekitar 50-an dosen yang diundang. Si editor dalam sebuah curhatnya berkata kepada saya, "Dosen-dosen itu payah. Menulis saja ogah-ogahan. Ah, pak dan bu dosen... kebanyakan dari merekamenulis hanya untuk mendapatkan cum atau poin untuk naik pangkat."

#15. Seorang penulis bercerita dengan marah-marah. Apa pasal?. Bukunya dibajak oleh penerbitnya sendiri! Buku si penulis ini laris. Si penerbit rupanya kemaruk. Di perjanjian dicetak 5000, tapi si penerbit mencetak 10.000 tanpa sepengetahuan si penulis. Karenanya, dalam laporan royalti, si penulis hanya mendapat royalti maksimal dari penjualan 5000 eksemplar. Bayangkan berapa keuntungan penerbit itu jika 5000 ekemplar selebihnya tidak masuk dalam royati!!

Ah, kalo diteruskan, bisa panjang curhatku. Masih banyak pernik-pernik "jahat" lain yang kalo dibongkar, akan membuat kita mengelus dada. Di dunia kang-ouw buku ini, ada banyak pesilat-pesilat buku tangguh, baik itu pendekar buku budiman maupun pendekar cabul pemetik bunga buku. Ada pesilat rendahan, ada pesilat pemula dan ada juga pecundang.

Kawan-kawan yang baik, janganlah mengira bahwa dunia buku adalah dunia yang hanya selalu penuh dengan adu argumen ilmiah, editing yang baik, kata-kata cerdas, intelektualitas, karya sastra yang agung, renungan yang mendalam, penghargaan, dan sejenisnya. Walau itu semua benar, tetapi ingatlah, di balik itu ada juga bisnis, siasat, penipuan, penjegalan, tarik urat, keangkuhan, kepongahan, kesedihan, perjuangan, putus asa, pelecehan, dan bahkan pembunuhan.

Sekian curhat saya, sudah malam.

Mbah Kanyut Al-Jawi

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun