Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Tuhan Dikalahkan oleh Uang : Bobroknya Moral Pejabat dalam Skandal Korupsi Pertamina

25 Maret 2025   11:29 Diperbarui: 25 Maret 2025   11:29 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Jika uang adalah Tuhan bagi para pejabat negeri ini, maka sesungguhnya kita sedang hidup dalam sebuah era kejatuhan moral yang paling hina. Di tangan para pemimpin yang seharusnya menjaga amanah rakyat, justru kepercayaan itu dikencingi dengan kerakusan yang tak berujung. Seperti iblis yang haus akan kehancuran, mereka mengorupsi negeri ini dengan tangan-tangan kotor yang menggenggam kitab suci di satu sisi, namun menghitung uang hasil kejahatan di sisi lain. Kasus korupsi Pertamina Patra Niaga bukan hanya sekadar kejahatan finansial, tetapi juga peristiwa pengkhianatan yang lebih dalam dari sekadar angka. Rp 193,7 triliun dirampok dari hak rakyat, dari subsidi yang seharusnya meringankan beban masyarakat kecil, dari minyak yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan rakyat banyak. Mereka, sembilan pejabat yang terlibat, tidak hanya mencuri uang negara tetapi juga merampok harapan, mencuri kepercayaan, dan merusak setiap sendi moral yang tersisa di negeri ini. Bagaimana bisa seorang pemimpin, seorang direktur, seorang komisaris, yang duduk di kursi empuk dan diberi gaji besar dari keringat rakyat, justru berkomplot untuk merampas lebih banyak? Riva Siahaan, Agus Purwono, Sani Dinar Saifuddin, dan rekan-rekannya yang terhormat dalam lingkaran korupsi ini bukan sekadar pengambil keputusan yang gagal, mereka adalah penghancur negara yang layak dikenang sebagai pengkhianat terbesar bangsa.

Uang dan Tuhan: Siapa yang Menang?

Dalam masyarakat yang menjunjung nilai-nilai agama dan moral, seorang pejabat seharusnya menjadi teladan, bukan menjadi makhluk hina yang menggadaikan iman demi segepok uang haram. Kita hidup di negeri yang dipenuhi pemimpin yang gemar berdoa di depan kamera tetapi di belakang layar mengatur strategi untuk merampok. Mereka yang berteriak tentang kejujuran dan transparansi justru adalah dalang dari kejahatan ekonomi terbesar yang menjerumuskan rakyat dalam kesengsaraan. Apakah mereka tidak takut akan Tuhan? Ataukah mereka memang sudah menjadikan uang sebagai Tuhan mereka? Setiap keputusan mereka bukan hanya tentang bisnis minyak, tetapi juga bisnis dosa yang mereka bangun di atas tangisan rakyat miskin yang harus membayar lebih mahal untuk bensin oplosan hasil korupsi mereka.

Pejabat: Penjaga Negeri atau Perampok Berseragam?

Kita sering diberitahu bahwa pejabat adalah pelayan rakyat. Tetapi nyatanya, mereka adalah raja yang rakus, yang menganggap rakyat sebagai sapi perah yang bisa dikuras tenaganya tanpa henti. Pejabat bukan lagi seorang pemimpin, tetapi mafia berdasi yang menggunakan hukum sebagai senjata untuk melindungi diri mereka sendiri. Negeri ini tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan pemimpin yang berintegritas. Setiap tahun kita disuguhi drama penangkapan pejabat korup, tetapi apa gunanya jika mereka tetap kembali dengan wajah baru dan modus operandi yang lebih licik? Mereka tetap hidup mewah di balik jeruji besi atau bahkan tetap melenggang bebas tanpa tersentuh hukum.

Ketika Keadilan Menjadi Barang Dagangan

Apa yang bisa kita harapkan dari sebuah negara yang hukum dan keadilannya bisa dibeli? Para pejabat yang melakukan korupsi dalam kasus ini seharusnya dihukum seberat-beratnya, tetapi kita tahu bagaimana skenario ini akan berakhir. Mereka akan ditahan sebentar, dijatuhi hukuman ringan, mendapatkan fasilitas mewah di penjara, lalu keluar dan menikmati hasil rampokan mereka seperti pahlawan. Rakyat dibiarkan meratapi nasibnya sendiri, sementara mereka berpesta di atas kehancuran negeri ini. Korupsi bukan lagi sekadar kejahatan, tetapi sudah menjadi budaya di kalangan pejabat. Mereka tidak peduli dengan rakyat yang menderita, karena bagi mereka, keadilan adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dengan harga yang cukup tinggi.

Bangkit atau Hancur: Pilihan Ada di Tangan Rakyat

Pertanyaannya adalah: sampai kapan kita akan diam? Sampai kapan kita akan membiarkan mereka mencuri dari kita? Sampai kapan kita akan menjadi bangsa yang hanya mengeluh tanpa bertindak? Jika rakyat terus diam, maka korupsi akan tetap menjadi hukum yang tidak tertulis di negeri ini. Jika kita terus takut melawan, maka para pejabat korup akan terus tertawa di atas penderitaan kita. Sudah saatnya rakyat bersuara, sudah saatnya kita menuntut keadilan yang sebenarnya. Bukan sekadar pidato kosong atau janji politik murahan, tetapi keadilan yang membuat mereka yang merampok negeri ini membayar dengan harga yang setimpal. Jika uang telah menjadi Tuhan bagi mereka, maka kita harus menjadi suara yang mengingatkan bahwa keadilan yang sesungguhnya tidak bisa dibeli. Jika negara ini masih ingin bertahan, maka rakyat harus bangkit melawan para penghancur bangsa yang berkedok pemimpin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun