Mohon tunggu...
Emanuel Ristian Handoyo
Emanuel Ristian Handoyo Mohon Tunggu... Dosen

Seorang pengajar di UAJY yang antusias mengeksplorasi teknologi dan transformasi digital. Memiliki fokus pada UX research, privasi informasi, serta perkembangan ekonomi digital. Aktif mengikuti tren AI terkini serta mengeksplorasi penerapan teknologi digital dalam konteks riset dan pembelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Bath and Body Works Menang Telak sebagai Brand Anti Tarif di Tengah Perang Dagang

19 Mei 2025   00:32 Diperbarui: 19 Mei 2025   00:32 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar toko Bath & Body Works di mall yang ramai (Sumber: Imagen 3 by Google)

Model bisnis Bath and Body Works juga menunjukkan bagaimana branding yang kuat dapat mengubah produk komoditas menjadi pengalaman emosional. Meskipun lilin beraroma terlihat sebagai produk yang mudah dikomoditisasi, perusahaan ini berhasil menciptakan merek yang istimewa di sekitarnya. Loyalitas konsumen yang terbentuk dari pengalaman produk yang konsisten memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan harga premium. Kombinasi antara biaya produksi yang relatif rendah dan kemampuan untuk menetapkan harga premium ini menghasilkan profitabilitas yang mencapai tingkat tertinggi di industri. "Kemampuan untuk mengubah lilin wangi menjadi 'konten emosional dalam stoples lilin' adalah seperti mengubah kode menjadi aplikasi yang menciptakan ketergantungan pengguna," demikian saya menganalogikan dalam seminar ekonomi digital kemarin.

Strategi diskon yang diterapkan Bath and Body Works juga memberikan wawasan tentang pendekatan harga yang terkalibrasi dengan baik. Perusahaan ini membedakan antara diskon reaktif yang diperlukan untuk mengosongkan rak dan promosi reguler yang telah direncanakan sebagai bagian dari model bisnis. Diskon terencana seperti Candle Day tahunan dirancang dengan mempertimbangkan margin yang tetap sehat, sehingga mampu mendorong volume penjualan tanpa mengorbankan profitabilitas. Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan antara strategi harga dan operational excellence yang berakar pada kemampuan produksi lokal.

Aspek lain yang membuat model bisnis Bath and Body Works berhasil adalah konsep replenishment atau pengisian ulang. Ketika konsumen menghabiskan lilin atau sabun, mereka cenderung kembali membeli produk yang sama. Siklus pembelian berulang ini menciptakan aliran pendapatan yang stabil dan dapat diprediksi. Ditambah dengan inovasi berkelanjutan dalam aroma dan kemasan, perusahaan ini mampu mempertahankan relevansi dan daya tarik bagi basis konsumen yang loyal. Model bisnis yang mengedepankan hubungan jangka panjang dengan konsumen ini menjadi landasan bagi keberlanjutan perusahaan di tengah lanskap ritel yang terus berubah.

Keberhasilan Bath and Body Works dalam membangun koneksi emosional dengan konsumen juga terlihat dari bagaimana perusahaan ini memanfaatkan momen-momen puncak dalam kalender ritel. Peluncuran koleksi musiman dan edisi terbatas menciptakan urgensi dan eksklusivitas yang mendorong pembelian impulsif. Strategi ini tidak hanya meningkatkan volume penjualan tetapi juga memperkuat posisi merek sebagai bagian dari ritual dan tradisi konsumen. Integrasi yang mulus antara produksi lokal, pemasaran yang kuat, dan pengalaman ritel yang imersif menciptakan proposisi nilai yang unik yang sulit ditiru oleh kompetitor. Ini mengingatkan saya pada apa yang seharusnya menjadi fokus industri teknologi lokal kita -- bukan sekadar memenuhi kuota TKDN, tetapi menciptakan produk dengan nilai emosional yang tidak dapat digantikan oleh alternatif impor.

Ketahanan di Tengah Volatilitas dan Pelajaran untuk Masa Depan

Volatilitas saham Bath and Body Works mengingatkan kita bahwa bahkan model bisnis yang solid pun tidak kebal terhadap perubahan pasar. Meskipun memiliki keunggulan manufaktur yang signifikan, perusahaan ini masih dipengaruhi oleh pergeseran permintaan konsumen. Lonjakan penjualan selama pandemi diikuti oleh penurunan bertahap ketika kehidupan mulai kembali normal. Fenomena ini menunjukkan pentingnya melihat bisnis dalam perspektif jangka panjang, tidak terjebak pada fluktuasi jangka pendek yang sering kali tidak mencerminkan kekuatan fundamental perusahaan.

Perjalanan saham Bath and Body Works setelah pemisahan dari Victoria's Secret pada tahun 2021 menawarkan pelajaran tentang kompleksitas valuasi pasar. Meskipun memiliki fundamental bisnis yang kuat, saham perusahaan mengalami volatilitas yang signifikan. Ini menggambarkan bagaimana persepsi pasar tidak selalu sejalan dengan kinerja operasional. Bagi pelaku bisnis, ini menjadi pengingat penting untuk tetap fokus pada penciptaan nilai jangka panjang, bukan semata-mata reaksi pasar jangka pendek. Sebagai analis sistem informasi, saya sering membandingkan ini dengan "noise" dalam data -- fluktuasi pendek mungkin mengaburkan tren jangka panjang yang lebih bermakna.

Tantangan ke depan bagi Bath and Body Works dan perusahaan-perusahaan dengan model serupa adalah mempertahankan inovasi sambil tetap memaksimalkan keunggulan produksi lokal. Dalam lanskap bisnis yang terus berubah, kemampuan untuk mentransformasi tantangan menjadi peluang akan menjadi pembeda utama. Ketika dunia semakin menyadari pentingnya ketahanan rantai pasok, pendekatan yang mengutamakan produksi lokal bukan lagi sekadar anomali, tetapi potensial menjadi norma baru dalam strategi bisnis global yang berkelanjutan.

Bagi ekosistem bisnis di Indonesia, kisah Bath and Body Works memberikan refleksi tentang potensi strategi produksi lokal sebagai keunggulan kompetitif. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan sumber daya dan memiliki pasar domestik yang besar, pendekatan yang memprioritaskan pengembangan rantai nilai lokal bisa menjadi landasan bagi ketahanan bisnis jangka panjang. Integrasi vertikal, pengembangan klaster industri, dan penguatan ekosistem pendukung menjadi kunci untuk memaksimalkan manfaat dari produksi lokal.

Ironisnya, saat kita mempelajari sukses Bath and Body Works dengan TKDN tingginya, Indonesia justru dihadapkan pada rumor pencabutan kebijakan TKDN untuk produk teknologi sebagai respons terhadap kebijakan tarif AS. "Jika pelaku industri teknologi kita hanya memandang TKDN sebagai beban regulasi dan bukan sebagai peluang strategis, kita telah gagal menangkap esensi dari kemandirian teknologi," demikian saya sering mengingatkan pemangku kepentingan. Ketika produsen smartphone global mempertimbangkan dampak tarif AS terhadap rantai pasok mereka, seharusnya ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk membangun kapabilitas komponen teknologi lokal yang tangguh, bukan malah mundur dari kebijakan TKDN.

Pada akhirnya, keberhasilan akan datang bagi mereka yang mampu melihat keterbatasan sebagai peluang dan mentransformasikan kendala menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Seperti Bath and Body Works yang menciptakan "keajaiban Amerika" dari lilin wangi dan sabun, Indonesia perlu menemukan cara untuk mengubah kebijakan TKDN dari sekadar instrumen proteksionis menjadi katalis inovasi yang menghasilkan keunggulan kompetitif berkelanjutan di tengah ketidakpastian perdagangan global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun