Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resesi Toleransi

12 Oktober 2020   10:30 Diperbarui: 12 Oktober 2020   10:37 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan pemahaman sempit, puritan dan konservatif, melahirkan hitam-putih terhadap segala perbedaan. Konsekuensinya adalah citra dan wajah Islam yang semakin menakutkan. Pandangan Barat terhadap Islam dengan apa yang disebut sebagai Islamphobia.

Islamphobia adalah sebuah fenomena ketakutan non-Muslim terhadap Islam dan ummat Islam. Agama yang disalahpahami bahwa Islam adalah agama kekerasan dan intoleran. 

Namun, ternyata tidak seluruhnya masyarakat Barat menilai Islam secara monolitik sebagai agama ekstremis. Misalnya, pendapat John Louis Esposito dalam International Journal of Politics, karya Karen Barkey, Islam and Toleration: Studying the Ottoman Imperial Model (2005), menyatakan pandangan terhadap Islam secara monolitik sebagai agama kekerasan adalah mitos. 

Esposito lebih cenderung menilai Islam sebagai agama yang prinsip dalam sebuah teks suci termasuk khusus berdasarkan historis dan politis, seperti teks jihad bukanlah produk otoritas tunggal. 

Bahkan dalam buku Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian (2010), berdasarkan buku Esposito, Who Speaks For Islam (2007), mengenai hasil survei Gallup Poll, Esposito ingin meluruskan merebaknya mispersepsi di kalangan Barat tentang Muslim dan melemahnya stereotip atas agama Islam. 

Berdasarkan survei Gallup Poll, ia menegaskan bahwa kaum Muslim yang radikal secara politik hanyalah minoritas (7%). Ia juga menggali berbagai aspek survei serta keterangan-keterangan tambahan, angka 7% bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Hal itu adalah realitas yang wajar.

Belakangan, Indonesia sendiri masyarakatnya adalah salah satu pengguna internet tertinggi diantara negara yang lain. Tak jarang kita banyak menemukan ujaran-ujaran kebencian ketika kita berselancar di jaringan maya. Berbagai wacana yang mengandung SARA seolah-olah menjadi informasi paling utama yang kita telan sehari-hari. 

Toleransi yang semakin tampak menurun secara drastis. Kebangkitan dalam beragama hanya sekadar menampakkan formalisasi keagamaan--seperti kewajiban berhijab bagi Muslimah, pekik takbir dengan menunjukkan kesalehan diri terutama di kalangan Muslim urban, hingga terapan-terapan bernuansa syariat dalam peraturan daerah (Perda), dibandingkan substansial Islam--era postmodernisme, semakin menimbulkan kecemasan.

Gejala kekakuan berislam yang muncul akhir-akhir ini, terlihat semakin menguatnya isu-isu sektarian dan intoleransi. Bahkan aksi-aksi kekerasan, seperti persekusi, aksi terorisme, dan ekstremisme. Menurunnya toleransi tersebut sebagai "resesi toleransi".

Resesi toleransi yang terjadi dalam dasawarsa abad ke-21 ini, tak lepas dari penyebaran kebencian melalui media sosial yang berdampak pada aksi-aksi kekerasan. 

Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengukur toleransi di Indonesia pada tahun 2018, dengan indikator pandangan responden terhadap warga lain yang berbeda paham keagamaan dalam satu agama, dan beragama lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun