Mohon tunggu...
Urbanus H. A.No
Urbanus H. A.No Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Bertutur Dalam Kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suamiku Politikus

22 Januari 2016   23:46 Diperbarui: 22 Januari 2016   23:54 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi"]Ilustrasi

"Pokoknya aku mau kamu harus tinggalkan PNS-mu. Aku tidak mau dinilai sebagai pecundang dan penjilat pemerintah," tukas suamiku setelah makan malam tadi. Saya tidak berkugam dan hanya diam sembari membereskan piring dan gelas makan kami berdua dan bergegas naik ke tempat tidur.

Malam kian larut dan aku pun tidak lekang terbui dalam mimpi tidur malam. Suamiku masih sibuk telpon dengan teman-temannya. Ya sejak menjadi ketua tim sukses dalam pilkada serentak ini, suamiku benar-benar sangat idealis dan berusaha agar menggulingkan calon petahana yang dalam pemikirannya telah menjadi momok dalam kehidupan masyarakat dan secara pribadi telah "membuang" aku untuk bertugas di tempat terpencil ini.

 "SK ini penuh intrik politik. Ia tidak ingin aku menjadi oposisi dalam kepemimpinannya. Lihat saja pembalasannya.Orang benar pasti menang," tegasnya kala itu ketika aku menerima SK pemindahan dari  Ibu kota Kabupaten menuju kampung terpencil.

Dan kini hingga akhir pilkada yang memenangkan calon petahana, suamiku tetap menilai kalau dia menjadi tumbal dari politik dan tetap menolak hasil kemenangan. Tiap malam, ia bersama tim dan orang-orang partainya terus melakukan penyusupan untuk melaksanakan gugatan. "Pokoknya saya tetap menolak menandatangani hasil rekapitulasi itu karena money politic telah terjadi di demokrasi kita ini. Proses hukum akan terus berlanjut," terdengar suara suamiku di luar sana sebelum ia masuk dan memeluk aku dalam tidurnya.

****

Malam makin jauh berjalan.Dan mataku menolak untuk terlelap. Bunyi suara binatang malam di awal musim hujan terus menjadi harmoni nyanyian gelap seakan mendesak agar mentari segera bangun. Lampu dinding semain redup seiring dengan meningginya harga minyak tanah dan menyusup minyak di tabungannya yang ku buat dari bekas kaleng susu indomilk dan sumbu dari kapas yang dipadatkan pada tangkai payung. kadang saya berpikir apa yang diperjuangkan suamiku benar.

"Kamu ingat, pada kampanye pertama dulu mereka menjanjikan akan memasang listrik hinggga ke pelosok daerah tetapi hasilnya kini hanya pepesan kosong. Bahkan untuk mencumbu dirimu, aku harus merebut dengan gelap," tegasnya.

Aku terus termenung dengan waktu malam yang makin menepi. Sebagai pegawai negeri sipil, saya juga menggugat dengan kebijakan yang kadang tidak pro rakyat. Semua itu justru terlahir ketika aku merasakan hidup di daerah pelosok ini. Sebagai Kepala Puskesmas di Desa Mae Rebho ini ada banyak hal yang aneh. Puskesmas tanpa penerangan yang cukup, air yang memadai dan petugas yang layak. Belum lagi persediaan obat-obat yang sangat minim.

Apalagi bicara soal transportasi. Kami masih mnggunakan tandu ala masa Sudirman sebagai angkot untuk orang-orang sakit yang hidup di desa pinggiran pegunungan ini.  Syukur bahwa telkomsel bisa masuk hingga di sini sehingga tiap hari masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang luar. Saking sangat aktif di FB, orang menilai aku sebagai perawat yang paling suka narsis. Padahal itu hanya salah satu cara saya membunuh kesepian. Namun meski demikian Kecamatan Mae Rebho ini sangat terkenal di Kabupatenku dalam beberapa hal.

"Pokoknya kamu harus kuat Ina. Mae Rebho itu terkenal dengan black magic. Dan lebih penting lagi, tempat ini dikenal sebagai lokus pembuangan orang-orang yang melawan pemerintah. Jangan bicara benar atau salah dalam konteks ini. Intinya kalau mau segera keluar dari sana harus patuh pada pemerintah termasuk menjilat pantat mereka," bisik Ema sahabat sekantorku dulu yang terkenal sangat kritis dalam menanggapi setiap kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun