Mohon tunggu...
Elra Azmi
Elra Azmi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa di Universitas Negeri Medan

Mahasiswa, hobi menulis, penyuka musik hiphop.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas Mengenal Adat Suku Karo

20 April 2021   11:07 Diperbarui: 20 April 2021   16:26 13922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
karo.siap-online.com

Penulis 1 : Elra Azmi Masfufah

Penulis 2 : Prof. Dr. Rosmawaty, M.Pd.

Tanah Karo adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang memiliki berbagai ragam kebudayaan yang unik. Setiap etnis di Sumatera Utara memiliki budaya dan kesenian yang berbeda dengan etnis lainnya. Demikian pula dengan masyarakat Karo yang memiliki kebudayaan secara turun temurun yang diwariskan dari nenek moyangnya dan disampaikan secara lisan maupun tulisan agar kebudayaan mereka tidak hilang dan dapat terjaga kelestariannya. Kabupaten Karo mempunyai berbagai macam keunikan, yakni sebagai berikut.

1. Lambang dari Suku Karo

PIJER PODI adalah Lambang Persatuan dan Kesatuan Masyarakat Karo.

Arti dari lambang tersebut adalah sebagai berikut ini:

  • UIS BEKA BULUH, Lambang kepemimpinan.
  • BINTANG LIMA, Melambangkan bahwa suku Karo terdiri dari lima merga, kemudian dipadukan dengan tiang bambu yang terdiri dari empat buah sehingga menyatu dengan tahun Kemerdekaan R.I.
  • PADI, Melambangkan Kemakmuran yang terdiri dari 17 butir sesuai dengan tanggal kemerdekaan R.I.
  • BUNGA KAPAS, Lambang keadilan sosial, cukup sandang pangan yang terdiri dari 8 buah sesuai dengan bulan kemerdekaan R.I.
  • KEPALA KERBAU, Melambangkan semangat kerja dan keberanian.
  • TUGU BAMBU RUNCING, Melambangkan patriotisme dan kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan R.I.
  • MARKISA, KOL dan JERUK, Melambangkan hasil pertanian spesifik Karo yang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Karo.
  • JAMBUR SAPO PAGE, Melambangkan sifat masyarakat Karo yagn suka menabung (tempat menyimpan padi).
  • UIS ARINTENENG, Lambang kesentosaan.
  • RUMAH ADAT KARO, Melambangkan ketegaran seni, adat dan budaya Karo.

2. Sejarah Suku Karo

Karo merupakan Suku Bangsa asli yang bermukim di Pesisir Timur (Ooskust) Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan Sumatera Timur, Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini salah satu suku terbesar di Sumatera Utara. Dan dijadikan salah satu nama kabupaten di wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yang bernama Kabupaten Karo. Suku ini berbahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi oleh warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Suku Karo bisa disebut suku Batak Karo. Dikarenakan banyaknya marga, kekerabatan, kepercayaan, dan geografis domisilinya yang dikelilingi oleh etnis-etnis Batak.

Orang Karo menamakan diri kalak Karo, orang diluar Karo dan tidak mengenal Karo-lah yang memanggil mereka dengan Batak Karo. Benar atau tidak Karo ini disebut Batak, tergantung persepsi Batak yang ditawarkan. Karena, jika konsep Batak yang ditawarkan adalah Batak yang didasarkan pada hubungan vertikan (geneologi/keturunan darah) seperti yang berlaku di Toba-Batak, bahwa Si Raja Batak merupakan nenek moyang bangsa Batak, maka Karo bukanlah Batak! Ini disebabkan eksistensi Karo yang telah teridentifikasi lebih awal dibanding kemunculan Si Raja Batak ini( Karo jauh sudah ada sebelum kemunculan Si Raja Batak diabad ke-13 Masehi) berdasarkan pada fakta sejarah, logika, tradisi di Karo dan suku-suku lainnya yang disebut Batak. Namun, bila batak didasarkan pada kekerabatan horizontal (solidaritas, teritorial, dan geografis) maka Karo merupakan bagian dari Batak.

A) Masa Kerajaan Karo

Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" menyatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang mempunyai raja bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan harus sudah ada? Hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut (Darwan Prinst, SH: 2004).

Kerajaan Haru-Karo tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Suku Karo di Aceh Besar dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya berjudul "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan penduduk asli Aceh Besar merupakan keturunan mirip Batak. Tapi tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana masyarakat asli tersebut. H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) menyatakan di lembah Aceh Besar terdapat kerajaan Islam yang bernama kerajaan Karo. Disebutkan juga penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" menyatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok karo di Aceh berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan ini terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dan suku Hindu yang disepakati dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo hendak berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu bertempat di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini bisa didamaikan dan sejak itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Di kemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.

Wilayah Suku Karo

Sering terjadi kekeliruan dalam perbincangan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

  • Kabupaten Karo,
  • Kabupaten Deli Serdang, Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Namo Rambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kuta Limbaru, Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan Sibiru-biru, Kecamatan Sibiru-biru, Kecamatan STM Hulu, Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara,
  • Kabupaten Dairi, Kecamatan Taneh Pinem, Kecamatan Tiga Lingga, Kecamatan Gunung Sitember.

B) Silsilah Marga Karo

Budaya dan Solidaritas Masyarakat Karo di Kabanjahe

1) Merga Si Lima

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai Daliken Si Telu dan fungsinya penting terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan Merga Si lima, sebagai salah satu pendukung yang sangat penting dalam menunjang berjalannya sistem kekerabatan pada Masyarakat Karo. Dalam masyarakat Karo terdapat lima marga induk yang di setiap induknya memiliki cabang-cabangnya tersendiri, adapun marga-marga induk itu ialah:

  • Perangin-angin
  • Ginting
  • Tarigan
  • Karo-Karo
  • Sembiring

Merga berfungsi untuk mengetahui dan mengidentifikasi dari setiap keturunan sekaligus pengikat kekerabatan bagi setiap masyarakat Karo (Adin Sinulingga 2017). Dengan mengetahui marga dari seorang Karo maka bias ditelusuri bagaimana hubungan kekerabatan antar satu dengan yang lainnya. Setelah mengidentifikasi keturunan dari masingmasing keluarga Karo maka terdapat peraturan yang berlaku untuk setiap masyarakat Karo di antaranya adalah masyarakat Karo tidak diperbolehkan melakukan perkawinan se-marga atau se-keturunan, misalnya seorang pemuda yang bermarga Ginting maka tidak diperkenankan untuk menikahi gadis yang bermarga Ginting atau Boru Ginting. 

Karena mereka merupakan satu keturunan yang dapat diartikan juga sedarah sekalipun di antara mereka tidak saling kenal, akan tetapi dalam pernikahan semarga ini dalam masyarakat Karo terdapat pengecualian, yaitu antar cabang di lingkungan marga perangin-angin, misalnya seperti marga sebayang diperbolehkan untuk menikahi dengan cabang marga lain yang terdapat di lingkungan peranginangin. Begitu juga pada lingkungan marga sembiring yang diperbolehkan menikah dengan sub marganya dengan catatan kedua marga saling memantangkan atau sama-sama menolak untuk memakan anjing, misalnya saja antar marga Sembiring Meliala dibenarkan menikah dengan sembiring guru kinayan. Terdapat juga pantangan untuk tidak melangsungkan pernikahan meskipun antar anak cabang dari induk marga yang berbeda misalnya sebayang yang merupakan anak cabang dari induk marga perangin-angin tidak dibenarkan saling nikah dengan Sitepu anak cabang dari induk marga Kao-karo. 

Baik pemuda atau gadis sebayang tidak diperkenankan mengikat tali dengan pemuda atau gadis Sitepu. Pelanggaran terhadap sistem adat tersebut akan membuat masyarakat Karo dikucilkan dalam kehidupan sehari-harinya atau sampai pada pelanggaran berat ia bisa diusir dan dikeluarkan, sekalipun terdapa pernikahan antara Sebayang dan Sitepu maka masyarakat Karo mempercayai bahwa kehidupan mereka dalam berumah tangga tidak akan rukun dan tentram karena dianggap menghianati sistem adat, maka kehidupannya akan diganggu oleh roh-roh dan tenaga gaib (Tridah 1986; 93).

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut Patrilineal atau sistem garis keturunan yang disandarkan pada ayah, dengan pola demikian dapat dipahami para laki-laki dalam masyarakat Karo merupakan sebagai penerus sekaligus pemegang ahli waris yang sah. Dalam sejarah masyarakat Karo sejak zaman dulu jika wanita menikah dengan marga lain induk orang tuanya, misalnya Siti beru Ginting menikah dengan Achmad Tarigan, maka Siti telah dibawa atau "dibeli' keluarga pihak Tarigan sehingga Siti termasuk kelompok induk Tarigan dan tidak lagi menjadi milik kelompok Ginting, begitu juga seterusnya ketika Achmad dan Siti memiliki anak perempuan, maka anak tersebut bukanlah pewaris dari marga ayahnya yang bermarga Ginting, baik dalam harta maupun dalam meneruskan garis keturunan (Tridah 1986; 95). 

Anak perempuan tidak mendapatkan warisan dalam harta dari setiap ayah pada masyarakat Karo karena posisinya yang tidak lagi sebagai garis keturunan dan diasumsikan ia akan menerima warisan atau harta dari suaminya yang mendapatkan warisan dari ayahnya, warisan yang diterima suami juga menjadi hak bagi istrinya itulah mengapa hal tersebut tidak menjadi masalah dalam kehidupan pada masyakat Karo (Adin Sinulingga 2017). Sebagaimana fungsinya marga pada masyarakat Karo adalah sebagai pengikat kekeluargaan sekaligus untuk mengetahui serta mengidentifikasi sehingga sesuai dengan peraturan dan sistem adat penerapan marga seorang laki-laki misalnya yang bernama Budi Ginting menikah dengan Rahmah Sembiring misalnya, kemudian mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Lukman dan anak perempuannya Rina, maka Lukman marganya adalah Ginting dan bere-berenya adalah Sembiring (diambil dari marga ibunya) demikian juga Rina berunya adalah Ginting dan bere-berenya adalah Sembiring.

Marga pada anak perempuan Karo tetap mengikuti ayahnya dan biasanya ditambahkan "beru" sebelum marga sehingga menjadi Rina beru Ginting. Jadi dalam sebuah perkenalan ketika di antara dua orang Karo yang sebelumnya tidak pernah bertemu atau saling mengetahui dan maka dalam perkenalan tersebut salah satu di antaranya dapat menyebutkan nama sekaligus bere-berenya. Misalnya, Rudi Bangun bere Tarigan atau Arif Ginting bere Sembiring. Penyebutan bere setelah marga itu penting untuk mengetahui asal muasal keberadaan keluarga dari lingkungan induk marga kedua orang tua mereka, dengan menyebutkan marga sekaligus berenya akan diketahui bahwa bapak Rudi dari kelompok marga perangin-angin Bangun dan ibunya dari kelompok marga Tarigan sedangkan ayah Arif dari kelompok marga Ginting dan ibunya dari kelompok marga Sembiring.

Hubungan kekerabatan keduanya akan diketahui dengan menyebutkan marga sekaligus bere-berenya dari orang yang tidak saling kenal tersebut, apakah hubungan keduanya adalah keponakan atau saudara ipar dan seterusnya. Ketatnya sistem penerapan marga pada masyarakat Karo membuat sulit untuk merekayasa hubungan kekerabatan karena paling tidak setiap orang Karo menyandang tiga marga sekaligus, yakni marga dari Ayah, Ibu (bere-berenya) dan juga "Kempu", yaitu marga dari nenek perempuan (Ibu dari Ibunya). Makaapabila kedua orang bertutur pastilah antara satu dengan yang lainnya bertemu pada salah satu kelompok marga tertentu karena marga induk hanya lima.

2) Daliken Si Telu

Daliken Si Telu berasal dari Bahasa Karo, Daliken bermakna tungku batu tempat memasak sedangkan Si telu adalah tiga, jadi Daliken Si Telu berarti tiga tungku batu, ketiga tungku batu itu digunakan ketika ingin memasak hingga membentuk segitiga yang memiliki ruang di ketiga sisinya, dari sisi tersebut kemudian dimasukkan kayu sebagai bahan bakar. Pada umumnya masyarakat Karo dahulu menggunakan tungku batu untuk memasak makanan dan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya ketiga tungku itu sebagai tiang penyangga dari tempat masak berdasarkan cara memasak tersebut kemudian masyarakat Karo memahami yang disebut dengan Daliken Si Telu. Tungku atau tiang penyangga dalam susunan Daliken Si Telu itu ialah: Sembuyak/Senina/Sukut, Kalimbubu, dan Anak Beru.

Sistem kekerabatan Daliken Si Telu ini digunakan baik dalam acara-acara adat, pesta pernikahan, memasuki Rumah baru, kemalangan dan termasuk juga dalam menyelesaikan permasalahan sosial pada masyarakat Karo seperti persengketaan tanah, kecelakaan dan lain sebagainya. Tidak ada derajat khusus atau yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah pada keluarga atau kelompok marga tertentu, karena pada dasarnya semua kelompok marga adalah sama dan sederajat, setiap masyarakat Karo adalah raja sehingga antar satu dengan yang lainnya harus saling menghormati. Pada rangkuman Daliken Si telu posisi Kalimbubu dan Anak beru hanya berlaku pada saat upacara adat dan hajatan tersebut saja, keluarga atau kelompok marga yang berposisi sebagai Kalimbubu pada upcara adat tertentu bisa pula menjadi Anak beru atau sukut pada upacara adat yang lain.

Kalimbubu adalah tuan yang harus dilayani, sedangkan Anak beru adalah pekerja atau pelayanan bagi Kalimbubu. Pada upacara pernikahan misalnya Kalimbubu adalah golongan saudara lakilaki atau ayah dari pihak istri yang mempunyai hajat dan Anak berunya adalah pihak yang ingin menikahi saudara perempuan dari yang punya hajat atau pesta adat. Pihak Sukut yang ingin melaksankan suatu hajat atau upacara adat tertentu maka terlebih dahulu ia melakukan permusyawaratan yang dibantu oleh Senina. Senina tidak hanya berperan dalam membantu permusyawaratan tetapi juga sebagai mediator yang menghubungkan antara Kalimbubu dan Anak beru terkait hajatan atau upacara yang akan dilaksanakan.

Oleh karena itu Senina haruslah orang terpilih berdasarkan kesepakatan keluarga bersama karena ia juga ikut bertanggungjawab atas kelangsungan acara, diutamakan seorang yang memiliki pertalian saudara dan memiliki kedekatan emosional sehingga ia memahami situasi dan kondisi keluarga Sukut atau dari keluarga yang memiliki hajat (Tridah 1986; 104). Selain itu Senina juga sebagai timbal balik terhadap Sukut, jika pada upacara kali ini menjadi Senina dalam hajatan rumah baru yang dilakukan oleh keluarga A, maka dalam upacara lain bisa pula diseninain oleh keluarga A pada upacara pernikahannya.

Ketika Senina telah dipilih maka segala permusyawaratan terkait upacara atau hajatan harus menghadirkan Senina, keberadaan Senina sangat penting dalam permusyawaratan sekalipun pihak keluarga kandung telah hadir akan tetapi Senina yang paling berhak untuk berbicara menwakili Sukut. Anak beru yang bertugas sebagai pekerja atau pelayan dari Kalimbubu tidak diperkenankan melakukan dialog langsung dengan Sukut terkait acara, ia harus menyampaikannya lewat Senina yang selanjutnya diteruskan kepada Sukut. Misalnya, pada upacara "mengket rumah mbaru" (memasuki rumah baru), maka Anak beru perlu menanyakan apa saja yang perlu dipersiapkan. Begitu juga pada pesta pernikahan Anak beru selalu berkomunikasi dan menanyakan keinginan kepada Kalimbubu melalui Senina. Misalnya, keluarga Semibiring menikahkan anak perempuannya, maka keluarga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan langsung terkait biaya maharnya, ia berunding terlebih dahulu dengan keluarganya setelah ada kesepakatan di antara mereka barulah kemudian menyampaikan kepada senina.

Dalam suatu upacara adat tersebut masyarakat tidak memandang pangkat atau jabatan seseorang, Daliken Si Telu ini dipraktikkan secara terus menerus sejak zaman raja terdahulu, sekalipun ia merupakan bangsa raja jika posisinya dalam upacara adat adalah anak beru (pekerja dan pelayan) maka ia harusla mengurus segala upacara adat, baik dalam hal memasak maupun dalam permusyawaratan untuk keberlangsungan acara adat tersebut. Dan itu berlaku juga saat ini baik Jenderal maupun Gubernur maka ia harus mengikuti hal yang sama. Daliken Si Telu terus dilaksanakan melingkar secara turun temurun hingga saat ini setiap masyarakat Karo melakukannya berdasarkan ikatan kekeluargaan dan kesadaran bersam terhadap peraturan adat, dengan Daliken Si Telu maka setiap masyarakat Karo yang berasal dari kelompok keluarga dan marga yang berbeda akan bertemu dan berinteraksi secara aktif dalam upacara adat, sekalipun seseorang yang memiliki jabatan pemerintahan yang tinggi ketika ia dan kelompok keluarganya menempati posisi sebagai Anak beru dalam upacara adat maka ia tetap harus bekerja untuk melayani kalimbubunya sekalipun Kalimbubu seorang petani dan bukan pejabat negara. Karena Kalimbubu juga dianggap sebagai "Dibata Ni idah" (Tuhan yang kelihatan) sehingga harus dihormati dan dijunjung dalam batas kewajaran dan tidak berlebihan.

3. Upacara Adat

Dalam Adat Karo ada beberapa tahapan dalam penyelenggaraan perkawinan Adat Karo berdasarkan kebiasaan yang dilaksanakan dalam satu wilayah khususnya pada Suku Karo Langkat, antara lain:

  • Ngembah Belo Selambar

Secara etimologi, Ngembah Belo Selambar artinya membawa sirih selembar, memiliki makna simbol bahwa sirih, kapur, tembakau, pinang dan gambir terdapat didalam kampilnya atau yang dikenal dengan Kampil Kehamaten (kampil kehormatan). Seperti diketahui bahwa tembakau adalah simbol interaksi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Seperti yang dituturkan Bapak Bebas Ginting, Ngembah Belo Selambar artinya menanyai kesenangan hati Kalimbubu dan menentukan hari, kapan akan dilaksanakan pesta adat. Megiken (dalam Tarigan 2009:116) mengatakan "Dalam konteks ini sekapur sirih dan rokok adalah simbol kesantunan dan penghormatan dari pihak tamu terhadap tuan rumah atau penyampaian rasa hormat dari pihak calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita". Dalam proses Ngembah Belo Selambar menurut Bapak Ngaku Sitepu menuturkan kepada penulis bahwasanya ada enam Kampil Kehamaten (Kampil Kehormatan) yang akan dijalankan karena ada enam tegun yang akan ditanyai yaitu:

1). Tegun anak beru sinereh, 

2). Sukut (sembuyak-senina) orang tua sinereh, 

3). Kalimbubu singalo bere-bere, 

4). Kalimbubu Singalo perkempun,  

5). Kalimbubu singalo Perninin, 

6). Kalimbubu Singalo Ciken-ciken ras Ulu Emas (pihak pengantin pria).

Didalam ke-enam kampil tersebut ada dua kampil isinya rokok masing-masing dua inilah kampil untuk Sukut Sinereh dan kampil untuk Kalimbubu Si Ngalo ulu Emas. Menurut seorang tokoh adat di Desa Purwo Binangun Bapak Nerima Ginting seorang purnawirawan ABRI menjelaskan secara kultural dan historis tahapan Ngembah Belo Selambar pada duludulunya dilaksanakan oleh Sangkep Nggeluh, hanya dihadiri oleh lima belas orang sampai tiga puluh orang dari kedua belah pihak keluarga. Dewasa ini tahapan Ngembah Belo Selambar sudah mencapai jumlah undangan tiga ratus orang sampai empat ratus orang. Bagi perkawinan tidak nangkih, Tahapan Ngembah Belo Selambar adalah tahapan pertama dalam sistem perkawinan pada Suku Karo. Dalam proses pesta perkawinan Adat Karo, Runggu (musyawarah) diawali dengan penyerahan Kampil Persentabin (tempat sirih Kehormatan yang berisi sirih, rokok, tembakau, kapur dan gambir). Kampil ini sebanyak lima buah diserahkan kepada pihak perempuan (proses inilah adat kesantunan pada orang yang dihormati). Contoh: calon mempelai laki laki adalah Bermarga Sembiring dan calon mempelai perempuan adalah Beru Ginting,proses komunikasi berlangsung antara Anak Beru Sembiring (ABS) dan Anak Beru Ginting (ABG).

ABS : Uga kam kalimbubu kami anak Beru Ginting mergana ndai, ma enggo pulung kam kerina I jenda? 'bagaimana kalimbubu kami Anak Beru Ginting mergana, kan sudah berkumpul kita semuanya di sini?'

ABG : Enggo ' sudah' ABS : Adi enggo kam pulung kerina,enda isap ras kampil
kami Anak BeruSembiring, ban lebe isap ras belo ndu kerina. 'jika sudah kumpul kita semua di sini, ini rokok dan sirih kami Anak Beru Sembiring. Merokoklah dulu kita dan makan sirih.

Biasanya usai merokok dan menyirih, baru Anak Beru Ginting menanyakan keinginan Anak Beru Sembiring datang kerumah Kalimbubu. Maka, Anak Beru Sembiring menyatakan keinginan mereka datang untuk meminang Beru Ginting menjadi istri Sembiring Mergana.Dari komunikasi yang dilakonkan ABS dan ABG berfungsi sebagai moderasi, dimana keputusan tetap berada dipihak luar kelompoknya. Dalam acara Adat Suku Karo, peran serta Anak Beru, Senina, Kalimbubu sangat mempunyai peran penting. Dimulai dari persiapan pesta hingga pesta berakhir. Anak Beru mempunyai peran yang aktif dalam berbicara (Anak Beru si ngerana) pada saat pesta adat berlangsung. Tidak semua yang mempunyai kedudukan Anak Beru mampu menjadi Anak Beru Singerana (Anak Beru yang berbicara), karena Anak Beru Singerana inilah yang dituntut dapat berkomunikasi dengan bahasa santun (mehamat) serta pintar merangkai kata-kata saat berbicara dengan Kalimbubu (orang yang dihormati).

Menurut narasumber, yaitu Bapak Ngaku Sitepu Nehken Kata (menyampaikan pesan) termasuk Ngembah Belo Selambar, karena pada zaman dahulu dan kekinian dalam tahapan nangkih, ketika Anak Beru calon mempelai laki-laki nehken kata ke orang tua calon mempelai perempuan sebagai pengganti tahapan Ngembah Belo Selambar.Artinya tahapan Ngembah Belo Selambar sudah dilaksanakan pihak keluarga perempuan tinggal menentukan hari Nganting manuk, yang sering disebut wari si peenemken atau pewaluhken (enam atau delapan hari kemudian). Dalam enam hari atau delapan hari kemudian ditentukan Nganting Manuk. Kedudukan berbahasa dalam lingkup sosial memiliki arti penting yang sarat dengan manfaat, karena bahasa santun bagi masyarakat umumnya jarang disadari dan dipikir. Padahal berbahasa santun menunjukkan penghormatan pada dirinya sendiri dan orang lain, menimbulkan kemufakatan yang membawa perdamaian.

Masyarakat sendiripun memiliki tanggung jawab untuk memberikan contoh berbahasa santun bagi generasi muda, agar senantiasa terjaga komunikasi yang baik dan menguntungkan bagi semua pihak. Saragih (2006:23) mengatakan "merupakan fenomena sosial yang terwujud sebagai semiotik sosial dan bahasa merupakan teks yang saling menentukan dan menunjuk dengan konteks sosial". Kesantunan berbahasa memiliki dua dimensi yaitu dimensi "bentuk" dan dimensi "nilai". Dimensi bentuk menyangkut formulasi tuturan yang secara kasat mata dapat diamati dari satuan gramatikalnya, sedangkan dimensi nilai menyangkut pandangan seseorang atau masyarakat terhadap tindak yang merealisasikan kesantunan. Kita semua mengetahui kesantunan itu berkaitan erat dengan keinginan masyarakat yang selalu ingin berbudi luhur, memiliki kebudayaan yang tinggi, serta menjunjung tinggi etika dan moral.

  • Nganting Manuk

Secara etimologi, Nganting Manuk diartikan "menenteng ayam" pada jaman dahulu ayam adalah simbol ternak sebagai lauk-pauk yang akan disantap dalam pertemuan adat. Perkawinan Adat Karo yang dulunya berbentuk dusun kedusunan, ayam tersebut ditenteng oleh Anak Beru karena tidak adanya sarana perhubungan dan masih dilakukan berjalan kaki. Ayam-ayam ditenteng oleh Anak Beru menuju rumah orang tua calon pengantin wanita, di sinilah muncul istilah nganting manuk. Menurut Pak Nerima Ginting, ayam adalah simbol laki laki yang jantan. Tahap Nganting Manuk menanyakan tentang kesenangen ate (kesenangan hati) pihak Kalimbubu tapi sifatnya hanya bunga bunga ranan (basa basi). Karena sudah dibicarakan sebelumnya pada tahap Ngembah Belo Selambar, pelaksanaan Nganting Manuk ini diselenggarakan ditempat atau wilayah tempat calon pengantin perempuan. Biasanya dilaksanakan di rumah calon pengantin perempuan dan bisa dirayakan di jambur, loosd desa, wisma atau balai perkawinan pertemuan lainnya tergantung pada kesepakatan keluarga kedua pengantin wanita dan pengantin pria dimana acara tersebut dilaksanakan. 

Menurut Bapak Nerima Ginting dalam wawancaranya dengan peneliti, persiapan yang harus dipersiapkan Anak Beru Si Empo (Anak Beru pihak calon pengantin pria) dalam Ngantik manuk adalah tikar untuk tempat duduk orang yang diundang, serta tikar putih untuk adat harus ada delapan, enam kampil beserta isinya, sirih, rokok untuk adat secukupnya, delapan bela sumpit perakan (tempat nasi berupa anyaman dari pandan) tempat nasi kehormatan, nasi dan lauknya sesuai dengan orang yang diundang, lauk yang disediakan harus ayam kampung karena namanya Nganting manuk, oleh-oleh berupa makanan yang manis seperti cimpa lepat atau cimpa gulame yang menyerupai dodol. Dalam proses Nganting Manuk menurut Pak Nerima Ginting makan dahulu baru Runggu (musyawarah) atau musyawarah terlebih dahulu baru pelaksanaan makan bersama, tergantung kesepakatan tetapi pada umumnya di kota-kota besar biasanya musyawarah terlebih dahulu baru diakhiri makan bersama.

  • Mata Kerja (Hari H Pesta Perkawinan)

Mata Kerja atau hari H pesta perkawinan yang telah dimusyawarahkan pada tahap Nganting Manuk merupakan inti acara dalam proses perkawinan Adat Karo. Karena penyelenggaraan pesta inilah dilaksanakan pembayaran hutang adat kepada singalo Ulu Emas, sedangkan orang tua calon mempelai perempuan membayar hutang Adat kepada Singalo Bebere. Dalam mata kerja ini peran serta Anak Beru Singerana, Senina, Kalimbubu dari kedua belah pihak mempelai banyak berperan dalam menjalankan Tukur (mahar) dan membagi bagikannya  kepada pihak yang menerima (Ngalo). Dalam acara adat, ada acarea mbereken telah-telah (acara berbicara) yang diatur oleh Anak Beru pihak pengantin laki-laki dimana urutan berbicara dimulai dari pihak Sukut (senina, sembuyak) kemudian acara kepada kalimbubu serta yang terakhir adalah Anak Beru. Acara adat inibanyak pedah pedah (kata-kata nasehat) yang diberikan oleh Sukut, kalimbubu dan Anak Beru kepada kedua pengantin. Dimana kedua pengantin juga akan mendapat banyak kado berupa penjayon (peralatan rumah tangga) dari pihak Puang Kalimbubu dan kain panjang serta kain sarung dari pihak kedua keluarga yang diundang.

  • Mukul/Persada Tendi (Pengsakralanmakan sepiring berdua)

Sebagaimana layaknya, maka setiap perkawinan ada upacara pengsakralan. Demikian juga menurut Adat Karo, maka pengsakralan itu disebut Mukul. Menurut Pak Nerima Ginting proses melaksanakan mukul terlebih dahulu Anak Beru si empo (Anak Beru pihak pengantin pria) menyiapkan nasi dan sayur dan memasak ayam sangkep yang diberikan oleh ibu pengantin wanita, begitu juga sebutir telur ayam direbus yang merupakan luah Kalimbubu singalo bebere (paman pengantin). Dimana penganten pria dan wanita disatukan makan dari satu piring yang sama sebagai lambang persatuan mereka untuk selama-lamanya. Upacara dilakukan pada malam hari setelah pesta berlangsung, kedua pengantin makan di atas Pinggan Pasu (piring putih polos yang lebar) dengan seekor ayam yang telah dimasak dan diletak diatas nasi beserta telur ayam yang direbus lengkap dengan hati ayamnya. Kedua pengantin didudukkan di atas tikar putih dan berpakaian adat lengkap dengan segala kebesarannya sesuai dengan adat.

Manuk sangkep diserahkan kepada Anak Beru si empo kepada bibi pengantin perempuan, nasi putih digenggam bersama telur ayam oleh pengantin pria dan wanita kemudian  mereka saling bersulangan. Selesai kedua pengantin makan baru keluarga lainnya mulai makan bersama. Setelah selesai acara mukul, maka kedua calon mempelai telah resmi menjadi suami istri yang sah dalam adat. Pada tahap Mukul (makan sepiring berdua), Mukul artinya menyatukan jiwa antara kedua pengantin dan antara keluarga besar pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan. Dalam acara ini pula dibuat acara Ngerebu atau ngobah tutur. Ngerebu artinya tabu berbicara atau bersentuhan antara ayah mertua dengan menantu perempuan, dan antara ibu mertua dengan menantu laki-laki.

Tabu berbicara atau bersentuhan juga berlaku bagi pengantin laki-laki kepada kakak ipar (perempuan) dari pengantin perempuan. Dalam kesempatan inilah terakhir berbicara kepada pihak yang Rebu. Setelah itu baru budaya Rebu harus dipegang oleh pengantin laki-laki dan perempuan. Rebu atau ngobah tutur dilaksanakan di rumah orang tua pengantin laki-laki dimana bibi dari pengantin laki-laki membawa pengantin perempuan dan memperkenalkannya kepada pihak keluarga laki-laki dimana ia menunjukkan mana yang pantang berbicara dan yang boleh bertutur sapa, karena dalam sistem perkawinan Adat Karo ketika calon pengantin laki-laki meminang calon pengantin perempuan, maka hak dan tanggungjawab sepenuhnya menjadi milik pengantin laki-laki. Si pengantin perempuan sudah masuk menjadi keluarga pihak laki-laki, oleh karenanya pengantin perempuan dibawa kerumah orang tua pengantin laki-laki.

  • Ngulihi Tudung/Ngulihi Bulang (Ngunduh Mantu)

Secara leksikal, Ngulihi Tudung dapat diartikan sebagai mengembalikan tudung. Sedangkan, tudung adalah seperangkat pakaian adat karo yang dipakai oleh wanita di kepala sebagai pengganti mahkota, pasangan tudung adalah bulang-bulang atau mahkota laki-laki. Setelah pelaksanaan pesta perkawinan selesai, acara Ngulihi Tudung atau Ngulihi Bulang dilaksanakan setelah dua atau tiga hari setelah pesta berlangsung. Kedua pengantin dan keluarga pihak pria datang kerumah orang tua siwanita dengan diarak dari rumah mempelai pria kerumah mempelai wanita. Dengan membawa luah (oleh-oleh) lemang dan lauk pauk untuk makan bersama. Jika ngulihi Bulang luah yang dibawa Cimpa Gulame (menyerupai dodol). Sebelum acara makan bersama semua oleh-oleh terlebih dahulu dimakan oleh semua yang hadir. Selesai makan bersama, dimana baru dibicarakan bagaimana pengantin akan hidup mandiri (njayo). Menurut Pak Salim Sitepu ngulihi bulang atau gulihi tudung jaman sekarang sudah jarang dilakukan, sebab pada dasarnya proses ngulihi bulang dan ngulihi tudung dulunya dilakukan adalah untuk mengambil barang-barang pengantin wanita dan pengantin pria yang masih tinggal di rumah orang tuanya.

  • Ertaktak (Menghitung Hutang Piutang Usai Pesta)

Tradisi ertaktak pada suku Karo biasanya dilakukan setelah selesai pesta atau sekitar tiga atau empat hari setelah pesta selesai. Pada ertaktak ini menghitung hutang piutang selama proses mulai pesta hingga akhir pesta, menghitung berapa jumlah biaya yang habis pada saat pesta berlangsung dan menghitung jumlah uang yang didapat pada pertuah (uang amplop) dari pada tamu-tamu yang datang. Apa bila terutang maka kekurangan uang tersebut di urup-urupken (digotongroyongkan) pembayarannya dari pihak keluarga yang terdekat seikhlas hati mereka, biasanya hal ini terjadi pada keluarga yang kurang mampu. Tapi jika pada keluarga yang pas-pasan pihak mereka tidak akan meminta keluarga lain menutupinya secara ngeripe (Urunan) tapi mereka berhutang pada pihak penyandang dana, pada saat mereka memiliki uang mereka membayarnya. Biasanya pembayaran utang piutang dilakukan atas kesepakatan bersama disaat usai panen.

Dari keenam tahap tersebut merupakan tahapan-tahapan yang prinsipil dan merupakan satu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari satu tahap ketahap lainnya. Seperti sebelum hari H pesta perkawinan bagi pemeluk agama Kristen harus telah mengadakan pasu-pasu atau pemberkatan pernikahan perkawinan di gereja bagi masyarakat beragama kristen. Sedangkan bagi calon pengantin yang beragama Islam harus sudah menerima Akad Nikah dari Kepala Urusan Agama (KUA). Faktor agama di sini adalah faktor moderat, karena eksistensi agama hadir belakangan hari dibanding faktor adat istiadat yang telah lebih dahulu eksis. Demikianlah sekelumit tentang Proses perkawinan tata cara adat perkawinana pada suku Karo Langkat. 

Simpulan

Etnis Karo merupakan salah satu dari suku di Indonesia yang sampai sekarang masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan kebudayaannya. Banyak di antara kita yang mengganggap suku-suku di Indonesia adalah orang-orang primitif. Tapi kita harus menyadari bahwa mereka lah awal dari sebuah perkembangan. Perbedaan sebuah suku bukanlah hal yang menjadi alasan kita untuk bercerai-berai. Namun ini adalah adalah satu batu loncatan demi perkembang Indonesia ke depannya.

Daftar Pustaka

Sri Ulina Beru Ginting Efendi Barus. 2017. Bentuk Kesantunan Dalam Tindak Tutur Perkawinan Adat Karo. Tangerang: Mahara Publishing.

M. Abduh Lubis. 2017. Budaya Dan Solidaritas Sosial Dalam Kerukunan Umat Beragama Di Tanah Karo. Jurnal UIN Sunan Kalijaga. Vol. 11, No. 2. https://www.e-journal-suka.co.id

Dinas komunikasi dan Informasi Kabupaten Karo. Artikel. Lambang Karo. Dalam https://karokab.go.id/id/profil/lambang-pemda-karo. Diakses 18 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun