Mohon tunggu...
Elra Azmi
Elra Azmi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa di Universitas Negeri Medan

Mahasiswa, hobi menulis, penyuka musik hiphop.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas Mengenal Adat Suku Karo

20 April 2021   11:07 Diperbarui: 20 April 2021   16:26 13922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
karo.siap-online.com

Budaya dan Solidaritas Masyarakat Karo di Kabanjahe

1) Merga Si Lima

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai Daliken Si Telu dan fungsinya penting terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan Merga Si lima, sebagai salah satu pendukung yang sangat penting dalam menunjang berjalannya sistem kekerabatan pada Masyarakat Karo. Dalam masyarakat Karo terdapat lima marga induk yang di setiap induknya memiliki cabang-cabangnya tersendiri, adapun marga-marga induk itu ialah:

  • Perangin-angin
  • Ginting
  • Tarigan
  • Karo-Karo
  • Sembiring

Merga berfungsi untuk mengetahui dan mengidentifikasi dari setiap keturunan sekaligus pengikat kekerabatan bagi setiap masyarakat Karo (Adin Sinulingga 2017). Dengan mengetahui marga dari seorang Karo maka bias ditelusuri bagaimana hubungan kekerabatan antar satu dengan yang lainnya. Setelah mengidentifikasi keturunan dari masingmasing keluarga Karo maka terdapat peraturan yang berlaku untuk setiap masyarakat Karo di antaranya adalah masyarakat Karo tidak diperbolehkan melakukan perkawinan se-marga atau se-keturunan, misalnya seorang pemuda yang bermarga Ginting maka tidak diperkenankan untuk menikahi gadis yang bermarga Ginting atau Boru Ginting. 

Karena mereka merupakan satu keturunan yang dapat diartikan juga sedarah sekalipun di antara mereka tidak saling kenal, akan tetapi dalam pernikahan semarga ini dalam masyarakat Karo terdapat pengecualian, yaitu antar cabang di lingkungan marga perangin-angin, misalnya seperti marga sebayang diperbolehkan untuk menikahi dengan cabang marga lain yang terdapat di lingkungan peranginangin. Begitu juga pada lingkungan marga sembiring yang diperbolehkan menikah dengan sub marganya dengan catatan kedua marga saling memantangkan atau sama-sama menolak untuk memakan anjing, misalnya saja antar marga Sembiring Meliala dibenarkan menikah dengan sembiring guru kinayan. Terdapat juga pantangan untuk tidak melangsungkan pernikahan meskipun antar anak cabang dari induk marga yang berbeda misalnya sebayang yang merupakan anak cabang dari induk marga perangin-angin tidak dibenarkan saling nikah dengan Sitepu anak cabang dari induk marga Kao-karo. 

Baik pemuda atau gadis sebayang tidak diperkenankan mengikat tali dengan pemuda atau gadis Sitepu. Pelanggaran terhadap sistem adat tersebut akan membuat masyarakat Karo dikucilkan dalam kehidupan sehari-harinya atau sampai pada pelanggaran berat ia bisa diusir dan dikeluarkan, sekalipun terdapa pernikahan antara Sebayang dan Sitepu maka masyarakat Karo mempercayai bahwa kehidupan mereka dalam berumah tangga tidak akan rukun dan tentram karena dianggap menghianati sistem adat, maka kehidupannya akan diganggu oleh roh-roh dan tenaga gaib (Tridah 1986; 93).

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang menganut Patrilineal atau sistem garis keturunan yang disandarkan pada ayah, dengan pola demikian dapat dipahami para laki-laki dalam masyarakat Karo merupakan sebagai penerus sekaligus pemegang ahli waris yang sah. Dalam sejarah masyarakat Karo sejak zaman dulu jika wanita menikah dengan marga lain induk orang tuanya, misalnya Siti beru Ginting menikah dengan Achmad Tarigan, maka Siti telah dibawa atau "dibeli' keluarga pihak Tarigan sehingga Siti termasuk kelompok induk Tarigan dan tidak lagi menjadi milik kelompok Ginting, begitu juga seterusnya ketika Achmad dan Siti memiliki anak perempuan, maka anak tersebut bukanlah pewaris dari marga ayahnya yang bermarga Ginting, baik dalam harta maupun dalam meneruskan garis keturunan (Tridah 1986; 95). 

Anak perempuan tidak mendapatkan warisan dalam harta dari setiap ayah pada masyarakat Karo karena posisinya yang tidak lagi sebagai garis keturunan dan diasumsikan ia akan menerima warisan atau harta dari suaminya yang mendapatkan warisan dari ayahnya, warisan yang diterima suami juga menjadi hak bagi istrinya itulah mengapa hal tersebut tidak menjadi masalah dalam kehidupan pada masyakat Karo (Adin Sinulingga 2017). Sebagaimana fungsinya marga pada masyarakat Karo adalah sebagai pengikat kekeluargaan sekaligus untuk mengetahui serta mengidentifikasi sehingga sesuai dengan peraturan dan sistem adat penerapan marga seorang laki-laki misalnya yang bernama Budi Ginting menikah dengan Rahmah Sembiring misalnya, kemudian mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Lukman dan anak perempuannya Rina, maka Lukman marganya adalah Ginting dan bere-berenya adalah Sembiring (diambil dari marga ibunya) demikian juga Rina berunya adalah Ginting dan bere-berenya adalah Sembiring.

Marga pada anak perempuan Karo tetap mengikuti ayahnya dan biasanya ditambahkan "beru" sebelum marga sehingga menjadi Rina beru Ginting. Jadi dalam sebuah perkenalan ketika di antara dua orang Karo yang sebelumnya tidak pernah bertemu atau saling mengetahui dan maka dalam perkenalan tersebut salah satu di antaranya dapat menyebutkan nama sekaligus bere-berenya. Misalnya, Rudi Bangun bere Tarigan atau Arif Ginting bere Sembiring. Penyebutan bere setelah marga itu penting untuk mengetahui asal muasal keberadaan keluarga dari lingkungan induk marga kedua orang tua mereka, dengan menyebutkan marga sekaligus berenya akan diketahui bahwa bapak Rudi dari kelompok marga perangin-angin Bangun dan ibunya dari kelompok marga Tarigan sedangkan ayah Arif dari kelompok marga Ginting dan ibunya dari kelompok marga Sembiring.

Hubungan kekerabatan keduanya akan diketahui dengan menyebutkan marga sekaligus bere-berenya dari orang yang tidak saling kenal tersebut, apakah hubungan keduanya adalah keponakan atau saudara ipar dan seterusnya. Ketatnya sistem penerapan marga pada masyarakat Karo membuat sulit untuk merekayasa hubungan kekerabatan karena paling tidak setiap orang Karo menyandang tiga marga sekaligus, yakni marga dari Ayah, Ibu (bere-berenya) dan juga "Kempu", yaitu marga dari nenek perempuan (Ibu dari Ibunya). Makaapabila kedua orang bertutur pastilah antara satu dengan yang lainnya bertemu pada salah satu kelompok marga tertentu karena marga induk hanya lima.

2) Daliken Si Telu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun