Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

3 Alasan Kenapa Politikus Perlu Sering Ngopi di Pasar Tradisional

16 Desember 2018   21:02 Diperbarui: 17 Desember 2018   19:27 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang sayur di Pasar Liem Hie Djung wialayah perbatasan Kabupaten Nunukan | Kompas.com/Sukoco

Pasar tradisional itu tempat bertemunya pembeli dan penjual. Ya pasar tradisional yang ketika hujan biasanya becek dan jelas tidak senyaman mall sehingga sangat-sangat jarang dihampiri para elit pada waktu biasa, kecuali jelang Pilkada, Pilpres, Pileg serta Pil-pil yang lain.

Siapakah user pasar tradisional? Sudah pasti masyakakat ekonomi menengah ke bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah yang jumlahnya paling banyak dari semua golongan penduduk Indonesia. Data BPS yang dikutip Bappenas menunjukkan Jumlah penduduk Indonesia Tahun 2018 diproyeksi sebesar 265 juta jiwa. 

Dari data tersebut, hanya 55 juta atau 20% nya adalah masyarakat menengah ke atas. Sisanya adalah masyarakat menengah ke bawah (golongan menengah plus masyarakat berpenghasilan rendah) yang sebesar 80%.

Dari 80% itu, katakanlah golongan menengah sekarang trendnya berubah sebagian sudah belanja di mall dan toserba, masih ada sisanya yaitu penduduk golongan ekonomi lemah atau yang disebut masyrakat berpendapatan rendah jumlahnya masih 40%. Angka itu masih cukup besar dan saya yakin ya, masih banyak masyarakat golongan menengah yang tetap belanja di pasar tradisional. Bahkan banyak orang kaya, pengusaha katering belanja di pasar tradisional supaya meriah untung lebih banyak. 

Maka user pasar tradisional itu bisa lebih lagi dari 40%. Jika dilihat dari kemampuan daya beli masyarakat. Konon, disinyalir ada 70% masyarakat kita adalah ekonomi tingkat bawah yang sementara dianggap sebagai user setia pasar tradisional. Didalamnya ada saya dan keluarga saya. Bayangkan berapa mata pilih itu, hehe

Maka ketika jelang Pilpres dan Pil-pil lain itu, pasar tiba-tiba berubah menjadi isu dan tempat seksi, dimana banyak orang tiba-tiba tertarik dan datang padanya. Sebuah hal yang alamiah sebetulnya, ketika masyarakat baru dipandang sebagai objek saja. Otomatis, ketika Pilpres atau Pileg banyak pihak menjadi begitu perhatian pada masyakat golongan menengah ke bawah. Pasar yang dijadikan panggung politik, katanya.

Sebagaimana kita ketahui bersama, protes/pergolakan terhadap harga sembako dan komoditi penting di pasar tradisional itu sangat erat katanya dengan daya beli masyarakat. Adalah sebuah fenomena nyata bahwa isu kenaikan harga komoditi penting di pasar itu memang isu sensitif dan mudah digoreng. Konon, seiring dengan fakta bahwa masyarakat ekonomi lemah memang lebih reaktif dibanding masyarakat yang ekonominya lebih mapan.

Sumber Foto: www.kabarpolitik.com
Sumber Foto: www.kabarpolitik.com
Apakah harga komoditi di pasar tradisional tidak boleh naik?

Hal yang pasti terjadi dan tak mungkin dihindari adalah kenaikan harga komoditi penting tersebut dari waktu ke waktu. Kenaikan harga itu tak masalah dan sudah pasti terjadi mengikuti perkembangan zaman. Asal kenaikan itu sinergis dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Uang sebesar Rp.50.000 saat ini dan zaman dulu jelas beda nilainya.

Ambil contoh gaji PNS Tahun 1993 golongan paling rendah sebesar Rp.78.000 dan golongan tertinggi Rp.537.600,- Saat itu uang 50.000 sudah pasti nilainya besar. Saat ini dengan gaji PNS golongan paling rendah sebesar Rp.1.486.500 dan golongan tertinggi Rp.5.620.300,- sementara UMP Tahun 2018 untuk DKI Jakarta sebesar Rp.3.600.000,- maka uang sebesar 50.000 tentu nilainya jauh lebih kecil dibanding 50.000 zaman orba yang kalau dibelanjakan hasilnya tidak sebanyak belanjaan di zaman orba. Hal yang tidak relevan membandingkan nilai uang zaman sekarang dengan zaman orba, ngono.

Apakah salah menjadikan isu kenaikan harga komoditi di pasar tradisional sebagai jualan politk?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun