Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kuota 30 Persen Perempuan di Parlemen, Sudahkah Kepentingan Perempuan Terwakili?

20 September 2018   12:53 Diperbarui: 21 September 2018   11:32 4238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Puluhan Caleg Perempuan di Banda Aceh melakukan aksi longmarch dukung pemilu damai di Aceh, Rabu (12/3/2014) (Kompas.com/ Daspriani Y Zamzami)

Seringkali pikiran saya dipaksa mampir di quote ini, kuota perempuan di parlemen sebesar 30 %. Entah oleh apa dan siapa. 

Beuh, iyalah memaksa muncul di pikiran wong poster poster perempuan yang rencana nyalon DPRD itu memenuhi pinggir jalan. Poster yang meriah. Ada yang sanggulan, ada yang jilbaban, dan rata-rata posenya sedang tersenyum.

Setelahnya, ada pikiran yang muncul begitu saja. Sebuah pertanyaan, sudahkah kepentingan perempuan terwakili oleh affirmative action dengan kalimat Kuota perempuan sebesar 30% di parlemen tersebut ?

Banyak cara untuk melihat apakah kepentingan perempuan sudah terwakili, ya lihat saja indikator gender pada Goals 5 Agenda Tujuan Pembangunan Berjelanjutan (SDGs). Indikator lain antara lain, bagaimana indikator tingkat partisipasi kerja perempuan. Bagaimana persentase upah pekerja perempuan yang tidak dibayar dibandingkan dengan laki-laki ?, dsb. Rata-rata lebih jelek pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Undang Undang Nomor 12 /2003, pasal 65 ayat (1) menyatakan,

Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Kelihatannya, affirmative action pada Undang Undang tersebut masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Maksudnya? Ya dikaitkan dengan tujuan munculnya pasal tersebut, maka pengawalan kepentingan perempuan belum optimal. 

Alasannya banyak. Selain karena belum semua perempuan di Parlemen memahami esensi peran yang diharapkan oleh Undang Undang tersebut, ya karena kuota 30% itu sendiri masih jauh untuk disebut terpenuhi.  

Meskipun Keterwakilan perempuan sudah cukup meningkat dibandingkan ketika belum adanya Undang Undang di atas, akan tetapi keterwakilan perempuan di politik baru separuhnya lebih sedikit.  

Provinsi Sumatera Selatan saja baru 17,33% untuk keterwakikan perempuan di DPRD periode 2014-2019. Sedangkan angka Indonesia baru sebesar 17%. Angka tersebut menunjukkan bahwa kuota 30 % itu belum terpenuhi.

Jika kita kembali ke tujuan di balik kuota 30% tersebut sesungguhnya tidak lain untuk mengawal kepentingan perempuan. Dengan regulasi soal kuota 30% tersebut, setidaknya dari 100 orang anggota Parlemen, diharapkan 30 orangnya adalah perempuan. Nah 30 perempuan diantara 70 orang laki-laki di parlemen itu diharapkan membawa perubahan pada peningkatan peran dan kualitas hidup perempuan. 

Sumber Foto: Nasional Tempo.co
Sumber Foto: Nasional Tempo.co
Bahasa kekiniannya Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender. Ya kepentingan untuk mengawal peningkatan kesetaraan gender, menurunnya ketidak adilan gender dan menurunkan kekerasan terhadap perempuan.

Jika dilihat dari indikator Indeks Pemberdayaan Gender, maka salah satu komponen pembentuknya adalah keterwakilan perempuan di parlemen, selain perempuan sebagai tenaga profesional dan sumbangan pendapatan perempuan. 

Ya sulit mencapai indeks pemberdayaan gender tinggi jika kuota 30 % perempuan di parlemen saja belum tercapai. Boro-boro mengerucut ke peningkatan pengawalan kepentingan perempuan.

Kenapa sih susah mencapai kuota tersebut padahal sudah ada regulasinya? Jawabannya macam-macam. Salah satunya adalah karena Indonesia yang didominasi oleh pola patriakhi sejak berabad-abad itu belum siap. Konon Parpol yang seharusnya memberikan kesempatan sepenuhnya kepada perempuan konon masih setengah hati.  

Pada sisi lain, perempuan yang aktif di parpol sendiri belum siap untuk memanfaatkan kuota tersebut. Bahkan katanya, kalaupun mencalonkan perempuan, lebih karena sekadar melengkapi saja. Saya sih percaya, sebab ada Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol meletakkan 1 calon legislatif perempuan pada setiap 3 orang yang mereka calonkan.

Katanya lagi, beberapa parpol akal-akalan, caleg perempuan diberi nomor urut terakhir di setiap kelipatan 3, misal 3, 6, 9 dst. 

Sejujurnya, melihat fakta di lapangan saya sudah cukup gembira, sudah ada 1, 2 orang legislatif perempuan yang sadar perannya disana. Ibu ibu macan (manis cantik) yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan. Sudah orangnya cantik, berani dan cerdas pula. Tak perlu sebut nama ya.  

Sisanya, yaa...kelihatan memang belum menyuarakan kepentingan perempuan. Lebih banyak menampilkan sisi keperempuannnya. Datang rapat, tapi tak mengikuti rapat dengan seksama. Matanya sibuk membaca tabloid wanita. Ada juga yang kelihatan sibuk sendiri, asyik dengan smartphonenya, sambil sesekali menjentikkan kuku cantiknya yang baru habis menikur dan pedikur. Jangan-jangan apa itu data terpilah saja dia tak paham 😬

Kembali ke kouta 30 persen kuota perempuan di parlemen, sudahkah keterwakilan perempuan terwakili? Kelihatannya memang belum. Dengan beberapa alasan, 

  1. Kuota itu sendiri belum terpenuhi karena masyarakat belum siap, sistem demokrasi belum sepenuhnya membuat perempuan melek secara politik. 
  2. Belum semua legislatif perempuan menyadari perannya pada esensi regulasi kuota tsb. Karena kehadiran mereka kebanyakan juga sekadar pelengkap. 
  3. Belum semua legislatif perempuan yang pintar bisa unjuk gigi menunjukkan powernya untuk mengawal kepentingan perempuan. Begitu sudah dilantik jadi legislatif, banyak yang terlena dengan kesibukan. Situasi yang kurang kondusif untuk menyuarakan kepentingan perempuan
  4. Dan lain sebagainya

Bagi saya pribadi, ya tidak penting harus mencapai kuota 30%. Hal yang lebih penting adalah menyiapkan kondisi agar masyarakat aware pada kepentingan perempuan. Cukuplah 2-3 orang di setiap fraksi yang jago dan berani menyuarakan kepentingan perempuan. Sudah cukup lumayanlah itu

Kadang saya mikir, ya tidak harus perempuan. Saatnya juga para legislatif laki-laki memikirkan kepentingan perempuan. Bukankah kalian lahir dari rahim perempuan...! ? Bela dong kepentingan perempuan.

Kalau semua laki-laki sudah menghargai perempuan dan mengawal kepentingan perempuan, ya tak perlu juga regulasi soal kuota 30% itu. Dan tak perlu ada juga Kesetaraan gender. Mungkin juga tak perlu ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Ah pikiran apa ini. Tidak mungkin, kita masih butuh berkutat soal pembahasan gender. Kita masih perlu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Psttt,  katanya Kementerian PP dan PA bahkan sedang berancang-ancang menuju equality gender dimana kuota untuk perempuan di parlemen dinaikkan menjadi 50%, busyet, keren kali 😊

Salam kompak selalu, salam Kompal. Salam Kompasiana. Salam Nusantara. Salam keterwakilan Perempuan. 

Sumber:Kompal
Sumber:Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun