Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bagaimana Bersikap Ketika Linimasa Diramaikan oleh Isu Tertentu

9 Oktober 2020   21:50 Diperbarui: 19 Oktober 2020   10:07 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Unsplash (Becca Tapert)

Pasti kamu tahu, isu apa yang sedang ramai diperbincangkan saat ini. Saya kini tertarik mengamati tingkah netijen dan menyatakan posisi personal serta membagi pandangan saya terkait hal itu. Dari sana, saya harap saya bisa mengusulkan beberapa poin yang bisa dipertimbangkan dan berguna untuk kondisi serupa di kemudian hari.

Saya mau memulainya dengan membagi satu film, The Social Dilemma. Di film ini disajikan data bahwa kondisi saat ini sangat terpolarisasi atas pilihan masing-masing terutama di bidang politik. Walaupun sample yang diambil adalah masyarakat Amerika, kita tahu persis hal senada terjadi di negara kita. Kita sudah melihat dulu Anies vs Ahok, lalu Jokowi vs Prabowo. Kini, pro vs kontra UU 'itu'.

Hal ini tidak lain berakar dari algoritma media sosial. Kita akan didekatkan dengan kita minati dan itu membuat kita bias. Pendukung Jokowi akan terus menerima berita dari web yang pro dengan beliau dan seakan membenarkan pilihannya. 

Terlepas itu buzzer atau bukan, dengan data valid atau tidak. Demikian pula pendukung Prabowo, Bu Risma, dan tokoh lain. Hal ini makin fatal ketika:

  1. Kita dikeliling orang yang sepaham dengan kita;
  2. Kita tidak berusaha mempertanyakan atau mengkritisi cara pandang kita.

Saya sendiri, punya kecenderungan membela pemerintah ini. Saya bicara di conference soal nasionalisme sebagai double minority, saya berbicara di Mata Najwa untuk menyuarakan harus berhentinya wawancara yang rasis, saya seorang guru PKn yang berusaha mempromosikan Indonesia sedemikian sebagai negara yang indah ke murid, dan saya bahkan lebih sering mendoakan negara ini daripada mendoakan impian saya sendiri untuk bisa tinggal di Norwegia. 

Bisa disimpulkan betapa saya sangat mencintai negara ini hingga saya bersedia dipusingkannya!

Dulu, saya bisa sangat marah ketika ada yang mencela atau mengajukan protes terhadap pemerintah. Saya punya prinsip "berkontribusilah, jangan hanya mengkritik". 

Saya suka menggunakan pepatah "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki gelap" sebelum saya sadar, ternyata kondisi gelap itu pun hadir dari proses yang kelam dan panjang. Namun cara pandang saya perlahan berubah. Saya perlu pertegas: cinta ke Indonesia-nya sama, pandangannya saja yang perlahan diperkaya. 

Ini dimulai dari momen Pilkada Jakarta, yang benar-benar membuka mata saya bahwa keberisikan masing-masing pihak itu tidak berujung, sebab keduanya merasa argumennya benar karena ada sumber di internet yang mengatakan itu.

Tragis memang, critical thinking minim dipakai, ketika cinta dan benci begitu membabi buta. Semua merasa opininya final, dan parahnya merasa berhak untuk memaki serta mengerdilkan pihak yang berbeda. Lalu lupa, bahwa siapa pun yang terpilih tidak akan membantu kita mengangkat kasur saat banjir dan tidak pula menolong kita mendorong mobil saat kendaraan kita yang masih kredit tiba-tiba macet di jalanan.

Orang lain, yang sama-sama rakyat biasa, yang akan siaga menolong dan perlu kita tolong.

Maka bertengkar soal pandangan politik adalah hal sia-sia.

Sejak saat itu, saya kemudian membiasakan untuk mem-follow orang-orang yang secara nyata berbeda pandangan. Saat itu juga saya berdialog dengan beberapa kawan muslim yang bagaimanapun merasa tersakiti dengan kata-kata Ahok. 

Saat sesama teman Nasrani kebanyakan dengan mudah menghakimi pemotongan rekaman video yang beredar, saya tahu persis, tidak layak untuk saya menghakimi pemikiran itu.

Saat ini, di setiap isu yang beredar, linimasa saya berisi spektrum yang beragam:

  • Kontra tapi diam saja
  • Kontra, membaca, lalu bersuara
  • Kontra, berisik, tapi tidak membaca
  • Pro tapi diam saja
  • Pro, membaca, lalu bersuara
  • Pro, berisik mencela
  • benar-benar tidak mau tahu
  • Sok netral dan merasa bijaksana dengan hal itu
  • Mencari bagian yang lucu
  • Membagi bagian mengharukan
  • dsb dst dll

Buat saya, ini kemewahan tersendiri, karena menghindarkan saya dari perasaan final atas apa yang saya pikirkan. Saya terus menggali dan mencoba melihat kenapa yang pro tetap pro dan yang kontra semakin kontra, dan dari sana saya memutuskan pilihan personal saya.

Hal yang bisa kita coba

Dari pemaparan tersebut, berdasarkan pandangan dan pengalaman saya yang sangat terbatas, saya mengajak kita untuk mematuhi nasihat hebat, sederhana, namun tak mudah, dari Pramoedya Ananta Toer "seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan"

Hal ini terwujud lewat cara-cara sederhana:

  • Selalu coba pahami narasi yang berbeda, dengan berdialog dan memantau opini pihak seberang. Ikutilah mereka (di media sosial) yang memutuskan pilihannya dengan bertanggung jawab, bukan dengan retorika-retorika kosong. Teruslah penasaran mengapa pihak seberang begitu yakin dengan argumennya, siapa tahu dari sana, pendangan kita diperkaya.
  • Berhati-hati sebelum memilih untuk bersuara. Skeptislah dengan pemikiranmu, audit dulu kerangka pikirmu, dan tak kalah penting, cek privilege-mu, barulah bagikan pikiranmu. Membela dan menolak itu hanya pilihan akhir, yang tidak secara langsung mengubah nasib bangsa ini (kecuali kita anggota DPR atau menjabat posisi penting), namun di media sosial everyone is influencer jadi pastikan kamu menginfluence followersmu dengan pemikiran yang sudah ditimbang baik-baik.
  • Nyatakan argumenmu dengan empati. Jangan hakimi mereka yang turun ke jalan, jangan terlalu enteng menyebut mereka bodoh, kurang kerjaan, dan sebagainya. Ingatlah dalam segala catatan peradaban, amukan massa bisa membawa hasil dan itu dinikmati baik yang ikut turun ke jalan atau nyaman di rumah sambil rebahan. Massa, membuat pemerintah lebih mawas, sebab menyadari ada pihak yang senantiasa. Ada pihak-pihak yang berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri, dan bisa jadi tanpa sadar itu menguntungkanmu. Jadi, mari, di isu apapun, jangan enteng menghakimi.

Ini ajakan yang sulit

Sampai hari ini pun saya tidak tahu apakah saya sudah cukup adil atau belum dalam pikiran saya. Tapi mari jadikan ini pengingat atau penyaring sederhana. Kini yang terpenting terus mengedukasi diri, mendoakan negara ini, dan tak lelah untuk mencintainya walau sesekali harus patah hati. Terpenting dari itu, untuk memenuhi panggilan besar kita:

menjadi manusia yang memanusiakan sesama termasuk mereka yang berbeda pandangan. 

menjadi manusia yang terdidik dan terus berusaha adil sejak dalam pikiran.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun