Saya membujukanya dan mengatakan coba lagi dengan tetring dari smartphone. Dicobalah, tetap tidak bisa. Saya mengirim pesan WA ke gurunya. Saya katakan anak saya sudah mengerjakan tapi tidak terkirim apa yang dikerjakan karena internet drop. Dengan catatan, Seandainya tidak boleh ulang, saya nggak masalah, saya tahu kemampuan anak saya. Memang tidak bisa, jawab gurunya.Â
Saya katakan pada si bungsu, seandainya Ade nggak naik kelaspun, Mama nggak peduli. Jadi santai saja, lakukan dengan maksimal di luar sana ada faktor teknologi yang tidak bisa kita atasi, di luar kemampuan kita. Tapi tidak berarti saya tidak berusaha. Keesokan harinya, saya mengajak si bungsu ngungsi ke rumah ibu saya yang wilayahnya memiliki jaringan internet(wifi) Â lebih stabil.
Kegiatannya sederhana, menyiram tanaman, menyiangi daun yang mati, mencabut Rumput, memberi makan ikan, sehari 3 kali dan menguras kolam. Dua minggu sekali membeli makan ikan. Menerapkan peduli sampah dengan memilah sampah basah dan kering, lalu sampah basah di buat eco enzym.Â
Kegiatan sederhana yang sebelum pandemi nggak terbayang untuk dilakukan. Si sulung dan pak suami, bisa mengutak-atik motor  bersama dan saya bersama si bungsu mencoba aneka resep yang hasilnya dinikmati ber-4, kadang gagal kadang enak. Dari segi biaya lebih hemat masak sendiri, dan bahagia karena dilakukan bersama keluarga. Bahagia panen lele, kangkung dan nila, berasa orang kaya.
Tapi dengan air mata darahpun ngak ada yang kembali dan tetap harus disyukur, kami ber-4 tidak kekurangan apa-apa. Frustasi iya, tapi nggak sampai depresi. Kawan dan kerabat sangat banyak membantu. Kami merasakan jadi pengungsi, yang tidur beralaskan kain seadanya tanpa bantal. Sehari 3 x kali dapat ransum, nasi bungkus dan air dalam kemasan.
Walau berat tetap harus menerima, saya bergerak di mulai dengan membeli kompor. Untung tabung gas nggak hanyut. Hari ke 7 paska banjir dan air surut, mulai bersih-bersih. Saya menerima banyak sumbangan yang nggak bisa saya balas, kecuali lewat doa-doa syukur.Â
Memasuki bulan ramadhan, dengan pandemi yang makin meluas, sehingga ada Pembatasan Sosial Berskala Besar-PSBB membuat kami tetap beraktifitas di rumah. Tidak ada kegiatan buka bersama.Â
Jika sebelum ada pandemi, saat jelang buka, akan ada banyak penjual takjil, kini saya buat sendiri. Walau kami nggak berpuasa, tapi budaya takjil sudah menjadi kebiasaan. Saya tetap mengirimkan takjil ke beberapa kawan dan kerabat menggunakan ojek on line. Buat saya menjaga silaturahmi itu perlu, walau cuma dari jarak jauh..Â