Seumur hidup saya yang sudah lewat setengah abad, pandemi Covid 19 adalah pandemi terpanjang. Hingga saat ini belum ada yang bisa memprediksi kapan, pandemi ini akan berakhir. Dalam hitungan sederhana, jumlah vaksin, jumlah yang mau divaksin dan  kemampuan memvaksin lalu dibagi.Â
Kenyataannya tidak sesedrhana itu, ketika masyarakat tidak mampu mendisiplinkan diri menerapkan protokol kesehatan, ketidakmampuan mengkonsumsi makanan bergizi, menerapkan gaya hidup baru, maka pandemi nggak akan berakhir.Â
Saat saya menuliskan ini, gelombang ketiga penyebaran covid 19 sedang melanda beberapa negara. Akibatnya negara-negara yang memproduksi vaksin, menahan ekspor karena mengutamakan vaksin untuk masyarakat di negara masing-masing. Akibatnya, proses vaksinasi di Indonesia melambat.
Awal pandemi diumumkan, aktifitas kehidupan terasa dijungkir balikan. Buat saya yang sudah tidak lagi berkerja Nine to five, tidak terlalu susah menyesuaikan diri. Karena sejak tak berkantor saya lebih banyak beraktifitas on line.Â
Saya dan suami sudah terbiasa bekerja sendiri dari rumah dan on line. Tapi kedua anak saya, satu kuliah dan satu kelas dua SMA. Yang mahasiswa, laki-laki nggak terlalu menuntut perhatian. Mungkin karena saya termasuk orangtua yang santai, dalam arti tidak terlalu menuntut membuat si sulung aman-aman saja.Â
Berbeda dengan si adik, perempuan dan mau naik ke kelas tiga SMA, persiapan menunju perguruan Tinggi. Si bungsu, keras terhadap dirinya sendiri, meletakan standar diri yang tinggi
Sumpah, ini membuat semua depresi dan frustasi. Si bungsu, perempuan sangat senang belajar dan bersekolah. Tidak sekolah atau membolos, nggak ada dalam kamu kesehariannya. Kalau remaja lain, ditanya, apa sih kesukaannya? Mungkin menjawab, Bernyanyi, Menari, Membaca, olahraga dll. Si bungsu akan menjawab belajar, bernyanyi dan menari. Belajar itu hobi.Â

Karena kesukaannya belajar, saya dan Pak Suami ya cuma bisa  mengawal, mendampingi dan memfasilitasi. Pada situasi pandemi, belajar dari tahun 2020, saya menurunkan ekspektasi. Buat saya sehat jiwa raga itu penting. Maka kebahagiaan kami, sekeluarga menjadi hal utama.Â
Saya dengan jelas mengatakan tidak menuntut hasil sempurna. Saya tahu kemampuan anak saya tapi karena pandemi dan harus melakukan Pembelajaran jarak jauh-PJJ, penyesuaian bukan hanya dengan situasi tapi juga teknologi. jaringan internet tidak selalu stabil dan di beberapa wilayah seringkali blank spot.Â
Pernah tahun lalu, saat ujian semester, saat submit jawaban, internetnya drop. Si bungsu berteriak memanggil Mama dengan nada seseorang yang terluka. Saya kontan lari menuju kamarnya dan mendapatinya sedang bergelung di tempat tidur, menangis terisak-isak. Dengan terbata-bata si bungsu menjelaskan situasi dan kondisinya.Â
Saya membujukanya dan mengatakan coba lagi dengan tetring dari smartphone. Dicobalah, tetap tidak bisa. Saya mengirim pesan WA ke gurunya. Saya katakan anak saya sudah mengerjakan tapi tidak terkirim apa yang dikerjakan karena internet drop. Dengan catatan, Seandainya tidak boleh ulang, saya nggak masalah, saya tahu kemampuan anak saya. Memang tidak bisa, jawab gurunya.Â
Saya katakan pada si bungsu, seandainya Ade nggak naik kelaspun, Mama nggak peduli. Jadi santai saja, lakukan dengan maksimal di luar sana ada faktor teknologi yang tidak bisa kita atasi, di luar kemampuan kita. Tapi tidak berarti saya tidak berusaha. Keesokan harinya, saya mengajak si bungsu ngungsi ke rumah ibu saya yang wilayahnya memiliki jaringan internet(wifi) Â lebih stabil.




Kegiatannya sederhana, menyiram tanaman, menyiangi daun yang mati, mencabut Rumput, memberi makan ikan, sehari 3 kali dan menguras kolam. Dua minggu sekali membeli makan ikan. Menerapkan peduli sampah dengan memilah sampah basah dan kering, lalu sampah basah di buat eco enzym.Â
Kegiatan sederhana yang sebelum pandemi nggak terbayang untuk dilakukan. Si sulung dan pak suami, bisa mengutak-atik motor  bersama dan saya bersama si bungsu mencoba aneka resep yang hasilnya dinikmati ber-4, kadang gagal kadang enak. Dari segi biaya lebih hemat masak sendiri, dan bahagia karena dilakukan bersama keluarga. Bahagia panen lele, kangkung dan nila, berasa orang kaya.

Tapi dengan air mata darahpun ngak ada yang kembali dan tetap harus disyukur, kami ber-4 tidak kekurangan apa-apa. Frustasi iya, tapi nggak sampai depresi. Kawan dan kerabat sangat banyak membantu. Kami merasakan jadi pengungsi, yang tidur beralaskan kain seadanya tanpa bantal. Sehari 3 x kali dapat ransum, nasi bungkus dan air dalam kemasan.
Walau berat tetap harus menerima, saya bergerak di mulai dengan membeli kompor. Untung tabung gas nggak hanyut. Hari ke 7 paska banjir dan air surut, mulai bersih-bersih. Saya menerima banyak sumbangan yang nggak bisa saya balas, kecuali lewat doa-doa syukur.Â
Memasuki bulan ramadhan, dengan pandemi yang makin meluas, sehingga ada Pembatasan Sosial Berskala Besar-PSBB membuat kami tetap beraktifitas di rumah. Tidak ada kegiatan buka bersama.Â
Jika sebelum ada pandemi, saat jelang buka, akan ada banyak penjual takjil, kini saya buat sendiri. Walau kami nggak berpuasa, tapi budaya takjil sudah menjadi kebiasaan. Saya tetap mengirimkan takjil ke beberapa kawan dan kerabat menggunakan ojek on line. Buat saya menjaga silaturahmi itu perlu, walau cuma dari jarak jauh..Â


Tetap mengawal keluarga untuk tetap tidak lengah dalam penerapan protokol kesehatan. Â Tetap bawel, mengingatkan saat anak-anak saat ke luar rumah dan pulang, bersih-bersih menjadi keharusan. Juga dalam hal makan, sarapan dan vitamin tetap menjadi sesuatu yang wajib. sayur dan buah nggak bisa di tawar. Â
Saat ini, saya sedang mendamping si bungsu untuk UTBK, tidak diterima di negeri nggak berarti nggak kuliah. jika tahun ini si Bungsu memilih tidak kuliah tapi menekuni hobinya menari dan menyanyi, saya perbolehkan. Tahap awal, sudah menyelesaikan sekolah menengah atas.Â
Ke depan akan banyak profesi pekerjaan yang tidak terbayangkan, profesi pekerjaan yang sesuai masanya. Kedua anak saya terlahir sebagai generasi Z, generasi yang hidupnya lebih optimis dan lebih mudah menyesuaikan dengan masanya.Â
Tahun 2020 banyak penyesuaian, memasuki 2021, sudah bisa menyesuaikan. Saya sebagai orangtua tetap Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.Â
Pelajaran utama yang saya dapati, tetap berpegang tangan sesama anggota keluarga, saling menguatkan, saling menjaga dan tetap setia. Termasuk setia menjalani gaya hidup baru, sampai pandemi berakhir. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI