Mohon tunggu...
Elina Zahra
Elina Zahra Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister, Spesialisasi Hukum Pidana dan Hukum Ekonomi

Advokat Magang yang mencintai proses sebuah penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sanksi Sosial: Jurus Masyarakat yang Mendambakan Pembalasan

4 September 2020   18:19 Diperbarui: 4 September 2020   19:10 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Tempo/Indra Fauzi

Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula dikatakan balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab disebut 'uqubah. Lafadz 'uqubah menurut bahasa berasal dari kata 'aqoba, yang memiliki sinonim ; 'aqobahu bidzanbihi au 'ala dzanbihi, yang mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain ; akhodzahu bidzanbihi, yang artinya menghukum atas kesalahannya.[1]

Kali ini kita akan bicara "Sanksi" berdasarkan Scientific Thinking bukan berdasarkan Legal Thinking yang bermakna konkret (Sanksi Pidana, Sanksi Perdata, atau Sanksi Administratif). 

Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masyarakat yang dianggap melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial yang hidup dalam masyarakat. Penulis akan berusaha menguraikan beberapa kasus untuk menganalisis sanksi dengan pendekatan sosiologi :

Kasus I 

Pada suatu sore yang cukup cerah di Jakarta dengan tetap dihiasi suasana Pandemi, seorang kerabat bertanya kepada saya tentang kasus kekerasan seksual yang pelaku dan korbannya adalah manusia yang belum dianggap dewasa oleh hukum yakni pelaku berumur 13 tahun dan korban berumur 3 tahun. 

Pertanyaan dari beliau mengundang komentar juga dari orang-orang yang berada di tempat itu dengan kesimpulan substansi komentar mereka yaitu; terlalu rendahnya hukuman yang diberikan oleh hukum terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak.

Kasus II 

Di pedalaman Jawa Tengah saya juga pernah mendapati peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimana masyarakat berkomentar tentang suami yang sering memukuli istri di depan umum, namun masyarakat beranggapan itu adalah masalah pribadi rumah tangga dan tidak berani ikut campur yang pada akhirnya berujung sang istri dalam keadaan merangkak dengan memar dan darah memenuhi sekujur tubuh datang ke kepolisian setempat untuk meminta perlindungan kepada yang berwajib.

Kasus III

Di dunia maya, khususnya sosial media sering juga saya jumpai nasihat, makian, sumpah serapah dan hal lainnya yang menunjukan penolakan terhadap perbuatan tertentu yang dianggap tercela oleh pengguna sosial media lainnya. 

Perilaku memberikan pendapat di kolom komentar; postingan; video reaksi; dan sejenisnya biasanya bersifat sangan massif dan tak terkendali tanpa melihat siapa, apa, dan bagaimana objek yang dituju. Objek dan kondisi kekhususannya tidak terlalu dipersoalkan (umur, keadaan kejiwaan, motif, ruang, dan waktu) yang dominan disoroti adalah kadar kesalahan dari perbuatannya.

Beberapa contoh perilaku sosial yang telah saya uraikan tersebut adalah cermin dari penerapan norma sosial yang juga dapat disebut sebagai cara masyarakat melakukan pengendalian sosial.  

Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.[2] 

Sedangkan menurut Joseph S. Roucek, arti sesungguhnya pengendalian sosial adalah jauh lebih luas, karena pada pengertian tersebut tercakup juga segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku.[3]

Selanjutnya, Koentjaraningrat, sekalipun dalam tulisan di sini tidak merumuskannya dalam bentuk definisi, tetapi setidaknya pandangan beliau dapat memberikan gambaran /pengertian kepada kita tentang fungsi pengendalian sosial. 

Koentjaraningrat menyebut setidaknya ada lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu: [4] (1) Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma, (2) Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma, (3). Mengembangkan rasa malu, (4). Mengembangkan rasa takut, dan (5) Menciptakan sistem hukum.

Pengendalian sosial juga membutuhkan media yang dapat disebut dengan lembaga pengendalian sosial, salah satunya : keluarga, sekolah, tokoh masyarakat, organisasi, sosial media, media, aktivis, bahkan juga influencer dunia digital dalam masyarakat di era sekarang. Selanjutnya pengendalian sosial tidak hanya tentang memberikan sanksi sosial tetapi juga dalam hal pencegahan penyimpangan sosial bahkan sampai pemulihan kesembuhan individu di lingkungan sosial.

Baiklah para pembaca kompasiana yang saya banggakan, izinkan saya mengajak anda kembali mengingat beberapa contoh kasus tentang perilaku sosial berkaitan dengan pengendalian sosial yang sebelumnya saya uraikan.

Kasus I, adalah tentang pengendalian sosial yang berorientasi kepada pembalasan terhadap pelaku kekerasan seksual yang pelakunya adalah anak-anak, yang pertama urusan sanksi hukum formal adalah yang tertera dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dominasinya berujung kepada sanksi fisik dan konkret (penjara, denda, administratif), kenapa masyarakat dewasa ini langsung merujuk kepada berapa hukuman pidananya? 

Bagaimana dengan sanksi sosial terhadap orang tua, masyarakat sekitar, guru, pemerintah, atau bahkan dirinya sendiri yang gagal mengawasi pelaku dalam hal ini anak yang masih sangat membutuhkan dan wajib mendapatkan pengawasan penuh dari orang dewasa?

Untuk mengucapkan pihak-pihak yang memiliki andil kesalahan saja, masyarakat saya amati telah gagap apalagi untuk melakukan pengendalian sosial dalam hal pencegahan? 

Untuk mengucapkan kepentingan masa depan pelaku (anak) dan alasan penghapus (kondisi kejiwaan dll) tidak sempat karena yang ada hanya pendambaan kepada pembalasan, bagaimana melakukan pengendalian sosial dengan fungsi restoratif yaitu memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum? 

Kasus II, adalah tentang tidak berfungsinya pengendalian sosial yakni kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah pribadi rumah tangga. Sahabat kompasiana, korban kekerasan dalam rumah tangga adalah individu yang merupakan bagian dari kelompok sosial juga, korban KDRT akan juga mempengaruhi lingkungannya saya berikan contoh anak yang sering dipukuli orang tuanya juga bisa memukul temannya ataupun melakukan bentuk kekerasan lain di lingkungannya. 

Kematian istri, suami, anak, bahkan pembantu di lingkungan masyarakat akibat KDRT juga merupakan tanggung jawab masyarakat sekitarnya itulah kenapa KDRT telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia dan telah menjadi hukum publik walaupun masih merupakan delik aduan. 

Namun pada intinya KDRT bukan lagi masalah pribadi rumah tangga hal itu adalah tindakan kriminal yang harus masuk dalam pengawasan pengendalian sosial masyarakat. Dan lagi saya katakan barulah masyarakat ramai-ramai mengutuk ketika sudah ada korban luka atau meninggal akibat KDRT dan sekali lagi hanya mendambakan pembalasan kepada pelaku. 

Kasus III, adalah tentang yang dalam istilah saya fenomana Jeruk makan Jeruk di dunia maya, pengendalian sosial yang kehilangan tujuannya makian, sumpah serapah, bahkan bullying yang tidak terkendali di dunia maya tanpa mengetahui tujuan dari perbuatan tersebut dan justru malah memperburuk keadaan. 

Ini saya tujukan kepada siapapun dan dalam bentuk apapun entah itu akun pribadi, media, influencer ataupun aktivis dalam dunia maya yang muncul di persoalan penyimpangan sosial di sosial media namun bukan dengan tujuan yang baik dan hanya menyerang objek secara membabi buta dan lebih memenuhi unsur bullying daripada bermaksud untuk melontarkan salah satu sanksi sosial untuk tujuan pengendalian sosial.

Akhirnya sahabat kompasiana, izinkanlah penulis untuk mengutarakan sesuatu bahwa di dunia modern ini fungsi pengendalian sosial di masyarakat harus digaungkan kembali urgensinya agar kembali kepada hakikatnya. 

Pengendalian sosial bukan tentang bagaimana masyarakat menyerahkan si pelaku penyimpangan sosial kepada hukuman formal (Undang-undang) tapi tentang bagaimana fungsi masyarakat mampu hadir sebelum dan sesudah penyimpangan sosial terjadi. 

Indonesia adalah bangsa yang terkenal dengan adat dan budayanya dalam hal penyelesaian konflik, adalah bangsa yang peradaban suku di dalamnya dalam hal konflik ditiru oleh negara lain dan dilabeli dengan nama Restorative Justice, adalah bangsa yang biasa dengan kebhinekaan dalam hal apapun, adalah bangsa yang tidak hanya memiliki Jurus Sanksi Sosial Jeruk makan Jeruk dan Pendamba Pembalasan. SEKIAN.

[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet-Ke IVX (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). h. 952
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, h., 45.
[3] Joseph S. Roucek dan Associates, Social Control, Cetakan ke-4, D. Van Nostrand Company, Inc., Toronto-New York-London, 1951, h., 3.
[4]  Koentjaraningrat, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, h., 42-45.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun