Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Aman untuk Amankan Generasi Masa Depan

13 Agustus 2016   18:41 Diperbarui: 13 Agustus 2016   18:46 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini masyarakat ramai membicarakan tentang seorang guru di Makassar, Sulawesi Selatan yang dipukuli oleh orang tua murid dan siswanya. Wali murid tersebut mendatangi guru lalu memukulinya setelah anaknya mengadukan penamparan yang dilakukan oleh guru itu. Penamparan itu terjadi karena si anak memaki saat ditegur lantaran tidak mengerjakan tugas. Sedangkan di Sidoarjo, Jawa Timur ada seorang guru yang diadili karena mencubit siswa yang tidak mengikuti shalat. Guru itu lalu dituntut hukuman 6 bulan penjara. Kedua peristiwa ini menuai banyak reaksi dan topik kekerasan dalam dunia pendidikan pun menjadi bahan perbincangan yang hangat di berbagai media, termasuk di media sosial. Meskipun slogan "Anti Kekerasan" dan "Sekolah Aman" sudah lama digaungkan, mengapa kasus seperti itu masih terjadi? Mengapa hal ini penting untuk ditindaklanjuti?

Sejatinya sekolah merupakan tempat orang tua mempercayakan anak-anaknya agar mereka mendapatkan ilmu pengetahuan, mengembangkan bakat dan karakter mereka. Dalam prosesnya, tidak jarang para siswa tidak memenuhi ekspektasi guru dan sekolah baik dalam pencapaian akademis maupun sikap. Untuk itu, para guru dan pihak sekolah harus mengambil sikap untuk mendisiplinkan muridnya. Namun, pendisiplinannya itu tidak seharusnya dilakukan dengan kekerasan fisik maupun verbal. 

Kekerasan untuk alasan pendisiplinan selain sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, hal itu juga tidak menjamin adanya perubahan sikap pada peserta didik. Kalaupun ada perubahan sikap, kemungkinan besar didasari oleh rasa takut mendapatkan kekerasan lagi bukan karena sadar akan tanggung jawab mereka. Tentunya hal ini menyebabkan mereka belajar di bawah ketakutan sehingga tidak dapat menikmati proses belajar-mengajar yang diadakan lalu mereka tidak dapat berprestasi dengan maksimal.

Sekolah juga pasti mendidik para siswanya untuk tidak melakukan kekerasan (bullying) kepada sesama siswa. Oleh karena itu, prinsip anti kekerasan ini harus dicontohkan oleh para guru dan pihak-pihak lain di sekolah. Guru harus mampu mendidik dengan penuh kasih sayang, sekalipun murid itu melakukan kesalahan. Jika ada kekerasan pada siswa oleh guru atau pihak lain di sekolah, maka para siswa pun kehilangan sosok yang seharusnya memberikan teladan dalam mempraktikkan prinsip anti kekerasan. Dapat dikatakan sekolah gagal dalam menerapkan hal yang diajarkan. Maka, prinsip anti kekerasan menjadi sebuah slogan belaka.

Jika ada masalah antara guru, siswa, dan orang tua, sebaiknya masalah tersebut diselesaikan dengan musyawarah. Untuk itu, pihak sekolah harus menjalin hubungan yang harmonis dan komunikasi yang baik  dengan wali murid. Jika guru melakukan sesuatu kepada siswa khususnya memberikan hukuman, pasti ada pencetusnya. Itulah yang perlu dibicarakan bersama. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari aksi main hakim sendiri, pelecehan, dan penghinaan oleh wali murid kepada guru. Apabila orang tua memperlakukan guru dengan tidak pantas, maka guru yang seharusnya mendapatkan kepercayaan untuk mendidik anak di sekolah menjadi kehilangan wibawanya. 

Pelecehan terhadap pendidik dikhawatirkan dapat membuat pendidik menjadi tidak peduli terhadap para murid, para murid tidak menghargai guru, dan guru kehilangan kepercayaan publik. Selain itu, sekolah bisa mengadakan berbagai kegiatan atau seminar bagi wali murid yang berhubungan dengan parenting sehingga mereka mengerti tanggung jawabnya dan menguatkan pendidikan yang diterima anak di sekolah. Pendidikan yang diberikan di sekolah dan di rumah pun menjadi selaras.

Para orang tua di rumah juga harus menanamkan nilai-nilai hidup yang positif kepada anak-anaknya. Mempercayakan anak pada pihak sekolah dan guru bukan berarti sama sekali lepas tangan terhadap pendidikan moral anak. Keluarga harus menjadi tempat pendidikan moral ditanamkan dan dipraktikkan karena perilaku anak di sekolah merupakan cerminan dari nilai hidup dan pola asuh yang diterapkan di rumah. Jika anak-anak terbiasa untuk menghargai anggota keluarganya, maka mereka pun akan menghargai orang lain termasuk guru mereka.

Jadi, sekolah seharusnya menjadi tempat yang benar-benar menghidupi prinsip anti-kekerasan dan menjadi sekolah yang aman. Guru menjadi teladan bagi siswanya agar para siswa pun bisa memperlakukan siswa lain dengan pantas. Sedangkan, para orang tua membina anak-anak mereka di rumah sehingga mereka bersikap santun kepada siapa saja dan dimana saja mereka berada sambil terus mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru di sekolah. Jika ada permasalahan, maka pihak sekolah, siswa, dan guru dapat duduk bersama untuk mencari solusinya.

Semoga peristiwa ini tidak hanya mengisi kolom berita di berbagai media tetapi juga membuat pihak-pihak yang berhubungan dengan pendidikan melakukan sebuah terobosan untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan di sekolah, misalnya adanya sinergi antara Kemendikbud, KPAI dan aparat hukum karena sikap pemerintah mencerminkan keseriusan dalam mewujudkan sekolah yang aman. Sekolah tidak dapat diabaikan karena sekolah merupakan tempat mencetak generasi masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun