Mohon tunggu...
Elga Wati
Elga Wati Mohon Tunggu...

Seorang Mahasiswi dan Warga Negara Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Belajar dari Hidup Pak Senen

13 November 2012   16:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:27 3916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13528215001040829041

“Saat kita lahir ke dunia, kita menangis sementara orang-orang di sekitar kita tertawa bahagia. Saat kita meninggal dunia, kita tersenyum dan orang-orang di sekitar kita menangis bahagia”

Kutipan kalimat diatas mengingatkan saya  kepada sosok laki-laki tua yang berprofesi sebagai seorang tukang koran. Beliau bernama  Muhammad Senen. Saya mengenalnya semenjak saya berstatus sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2009. Pak Senen, demikian mahasiswa menyebutnya adalah pedagang pertama yang saya kenal saat saya untuk pertamakalinya  memulai perkuliahan setelah masa MAPAK atau Pengenalan Kampus. Perkenalan kami terjadi begitu unik dan tidak terduga. Pada saat itu, Saya sedang menunggu teman saya di gerbang Fakultas Ekonomi UNPAD. Sebagai informasi, gedung Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum berdekatan namun memiliki 4 gerbang yang dapat dilalui, yaitu gerbang : Teuku Umar, Hasanuddin (PAAP), Gerbang Utama dan Gerbang Ekonomi. Pak Senen saat itu, duduk di depan gerbang ekonomi sambil menawarkan korannya. Awalnya, saya tampak ragu untuk duduk berdekatan dengan bapak tersebut, namun tiba-tiba dia mengajak saya mengobrol. Pak Senen : ” Halo…neng, apa kabar? Saya ini baru pulang dari Palembang, istri saya kemaren meninggal.” (tanpa raut wajah sedih atau memelas) Saya          : ” Halo juga pak, da lama ya pak jualan koran? (saya tidak dapat menyembunyikan rasa terharu dan kagum kepada bapak senen) saya sebenarnya mahasiswa baru ini pak, jadi saya lagi nunggu teman biar bareng masuk ke dalamnya.” Demikianlah percakapan kami, sebenarnya ada beberapa percakapan lagi, namun saya tidak ingat jelas apa yang kami bicarakan lebih lanjut  saat itu. Tapi percakapan awal perkenalan kami, benar-benar menginspirasi saya tentang orang hebat di balik kesederhanaan pak senen ini. Dulu sewaktu saya  masih ngekost di daerah Surapati, sebelum menunggu angkot, saya melihat bapak senen berjalan dari arah surapati sampai ke dipati ukur. Saya cukup kaget sebab di usianya yang bisa dibilang sudah uzur dan kaki-kakinya yang tampak  tidak kuat lagi, tapi dia tetap memiliki semangat hidup untuk terus mencari nafkah yang halal demi kehidupannya. Pak senen adalah seorang penjual koran yang memiliki ciri khas yaitu memakai sejenis rompi berwarna merah, topi dan sepatu olahraga serta  cirinya yang paling mencolok  adalah menggantungkan tas berisi korannya di kepala sambil berjalan kaki. Badannya yang pendek dan gempal tidak menyurutkan semangatnya meskipun kepalanya sudah diisi rambut putih (uban) yang begitu banyak. Satu kejadian pada waktu itu, saya memang ingin berhemat dalam pengeluaran dan saya tidak ingin membeli koran. Tiba-tiba saat saya di angkot, saya melihat bapak itu dan tergerak untuk membeli korannya. Padahal jelas-jelas tidak ada berita yang sedang menjadi topik hangat pembicaraan di minggu-minggu itu. Akhirnya, saya pun mendekati bapak itu dan saya membeli korannya. Namun, saat saya pulang saya ingat kenapa tiba-tiba jumlah uang yang dikembalikan oleh Pak Senen itu berlebih. Saya berpikir keras, apa alasan bapak itu menurunkan harga korannya. Salah satu argumen saya  mungkin karena alasan hari sudah sore jadi harga koran menjadi turun menjadi setengahnya. Hati nurani saya berkata saya harus mengembalikan uang tersebut karena itu adalah haknya Pak Senen. Sekembalinya saya ke tempat Pak Senen menjual koran, saya segera mengembalikan uang kembalian yang lebih. Namun, Pak Senen menolaknya dan mengatakan agar saya menyimpannya saja . Saya semakin berat hati menerimanya, tapi saya tetap bersikeras mengembalikan kepada Pak Senen. Pada akhirnya, Pak Senen menerima uang tersebut dan mengucapkan terimakasih dan alhamdulilah sambil menyunggingkan senyum ramahnya kepada Saya. Saya pun tersenyum dan hati terasa sangat damai, bukan karena apa yang saya lakukan tapi karena melihat senyum tulus dari Pak Senen itu. Pada minggu-minggu kemarin, saya melihat Pak Senen terlihat lebih pucat dari biasanya, dia memakai baju hitam dan duduk berjualan di bawah payung hitam. Selain itu dia juga pulang naik motor, mungkin karena keadaan fisiknya yang sudah mulai menurun. Jumat kemarin,  terdengar kabar bahwa Pak Senen sudah kembali menghadap Penciptanya. Kabar ini baru saya dengar hari ini, Selasa 13 November 2012. Kabar itupun saya tau dari tweetan salah seorang teman, Saya segera ke kampus dan melihat benar bahwa kondisi hari ini benar-benar sunyi, sepi dan terasa ada yang hilang bila melihat keadaan gerbang PAAP dan sekitar Bank BNI. Hari ini sudah tidak ada lagi tampak Pak Senen yang duduk di bawah payung hitam, berjualan koran dan  menggantungkan tas berisi koran diatas kepalanya. Menurut kabar, Pak Senen meninggal akibat penyakit ginjal yang dideritanya. Pak Senen…mungkin saya bukanlah orang yang  mengenal sekali bapak . Tapi sejujurnya saya  membeli koran bukan karena judul koran itu, tapi karena bapak yang menjualnya. Bapak yang punya semangat hidup yang tinggi, rela menjalani jalan yang jauh dengan berjalan kaki tanpa sedikitpun mengeluh. Keramahan bapak serta senyuman bapak selalu memberi ketenangan dan keteduhan pada setiap orang yang melihatnya. Pak Senen…orang yang tak pernah letih untuk menawarkan koran sambil tersenyum dan terkadang sampai lupa kalo orang yang ditawari koran adalah orang yang sudah membeli korannya juga. Haha…terakhir kali saya hanya sempat berkata : “Semangat ya pak…jangan pernah Capee.” Bapak menjawabnya dengan tawa bukan hanya senyuman : ” Iya neng, Pasti semangat…Terimakasih ya.” Di akhir tulisan ini, Saya senang bapak pasti sekarang sudah ke pencipta Bapak, tidak ada rasa sakit lagi dan bisa bertemu kembali istri bapak yang sudah mendahului Bapak. Saya berusaha untuk tidak menangis pak,apalagi kalo melihat ada ruang kosong yang ditinggalkan bapak di gerbang PAAP itu. Tetapi saya harus jujur, saya akhirnya menangis juga dan saya yakin bukan cuma saya tapi seluruh mahasiswa Unpad yang pernah bertemu, berpapasan bahkan hanya sekilas melihat bapak dapat merasakan rasa yang sama. Rasa kehilangan akan sosok bapak yang  bukan siapa-siapa dan tidak memegang jabatan penting di kampus kami,tapi bapaklah memberi pelajaran penting bagi  mahasiswa yang sering disebut generasi muda yang berintelektual. Kehilangan ini menggambarkan  bapak sudah berhasil menjadi orang yang baik dan menginspirasi orang disekitar bapak tentang apa itu arti semangat hidup. Hari ini berita kepergian bapak bahkan jauh lebih terkenal dari berita pembubaran BP Migas di Televisi. Bener ya pak, hanya ketulusan dan kebaikan yang datangnya dari  hati yang dapat menyentuh hati orang disekitarnya.   Sekali lagi Selamat Jalan guru,inspirator dan pemilik senyum keramahan se-unpad raya : PAK SENEN si penjual koran yang hebat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun