Saat Ardin diterpa kebingungan, Ayah berbisik penuh semangat. “Kakek memiliki harta karun di ruangan pribadinya. Ayah pernah menerima hadiah uang kertas dan nilainya luar biasa. Kalau uang kertas itu hilang saat Ayah menyimpannya, maka Ayah harus mengganti senilai uang itu.”
Terlintas memori saat Ayah memamerkan uang kertas yang tak pernah dilihatnya dalam sebuah pigura. Tampak wajah orang dan gambar aneh dengan angka 100 ditengah dan dominan warna coklat. Ayah terus membanggakan diri karena semua saudaranya hanya mendapat uang kertas berangka 25 dan 50.
“Ardin.” Panggilan Kakek Dirga menyentakkan lamunan Ardin.
“Ya Kek?”Sahut Ardin hati-hati. Wajahnya lalu menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupan yang menyerangnya.
Kakek Dirga menyusuri setiap sisi wajah Ardin yang terlihat. Dia mendecakkan lidah pelan. Setiap cucu pertamanya itu berkunjung, hanya keengganan yang terpancar dari gerak-gerik dan raut Ardin. Dulu dia tak menggubrisnya karena Ardin selalu menurutinya. Meski keseharian mereka hanya dihabiskan dengan kesunyian terpisah. Dia tak mampu mendekap atau bersikap hangat pada Ardin. Semuanya terasa canggung.
Tiba-tiba terlintas ucapan Dini, Bunda Ardin tiga hari lalu dengan suara lirih. “Maaf Ayah, apakah Ayah bisa lebih sering mengobrol dengan Ardin?”
Dia menutup mata sejenak, berusaha memikirkan sesuatu. Menantunya selalu mencemaskan Ardin setiap menghabiskan waktu di rumahnya. Dia berusaha menepis nada khawatir itu, namun terbayang kesehariannya bersama cucunya yang hanya diselimuti kesenyapan yang menyesakkan. Dia tak mampu mengungkapkan perhatiannya dengan kata-kata atau usapan pada Ardin. Ardin pun tak pernah menyambutnya sehangat saat bersama orangtua dari menantunya.
Ardin makin was-was saat Kakek Dirga hanya menatapnya lekat beberapa lama. Dia menggosok-gosok telapak tangannya yang berkeringat. Sekujur tubuhnya sedikit bergetar. Kecemasannya makin membuncah.
Tiba-tiba Kakek Dirga menyunggingkan senyum kecil. Ardin sedikit tersentak dengan ekspresinya.
“Ardin, hari ini ikut Kakek ke musium harta karun Kakek.” Senyum tipis kembali menghiasi wajah Kakek Dirga sebelum berbalik pergi.
Ardin melongo bingung sembari menyusul sosok Kakek Dirga yang menghilang dibalik pintu ruangan paling ujung rumah itu. Itu adalah ruangan keramat milik Kakek Dirga yang terlarang baginya. Pak Ujang yang telah mengabdi puluhan tahun bahkan tidak diijinkan untuk membersihkannya.