Aku termangu memandangi undangan bernuansa marun itu. Tak terasa air mata meleleh di pipi. Sore itu langit kelabu seakan menyadari mendung di hatiku. Terdengar ketukan pelan di pintu. Aku cepat-cepat menghapus sisa air mata dan menoleh.
      Bunda berdiri di depan pintu kamar dengan raut wajah cemas. Aku menyunggingkan senyum manis. Bunda menghela napas panjang, lalu berjalan pelan menghampiriku. Tanpa kata, Bunda menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus lembut punggungku yang menegang sesaat.
      "Menangis saja, Nak. Jangan tahan-tahan." Ucap Bunda pelan.
      Aku menggeleng. Berusaha menahan gejolak hati yang membuncah. Tak seharusnya aku menyesalinya.
      "Bayu tidak akan kembali, Bunda. Semuanya sudah selesai."
      Empat tahun hubungan yang telah kurenda bersama seorang pria yang pernah mengisi hari-hariku dengan gelak tawa dan senyum telah kandas tak bersisa. Sudah sebulan aku berusaha kokoh setelah dia menghujam hatiku dengan luka.
      "Maaf, Falisha. Kakak rasa hubungan kita sudah tidak bisa berlanjut." Bayu mengucapkan perpisahan tanpa kehangatan.
      Suaranya terdengar hampa dan wajahnya kaku. Aku mencoba mencernanya, menghempuskan napas hingga bertanya resah. Dia hanya menunduk diam beberapa lama. Memang sudah beberapa hari ini kami bertengkar hebat karena aku mempermasalahkan dirinya yang mulai jarang menemaniku. Alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor. Sebelumnya aku juga mempertanyakan kesehariannya yang lebih sering bersama Rani, teman sekantornya. Bahkan selama seminggu lembur, dia selalu mengantar Rani pulang. Kak Bayu hanya menanggapi santai.
       Memasuki tahun keempat, Kak Bayu seolah menjelma menjadi sosok yang terasa asing. Meski mengganjal dihatiku, namun aku berusaha tak peduli dengan sikapnya yang berbeda. Bahkan meski kebersamaan kami tak semanis dulu, aku masih menaruh harapan.
      Sayangnya harapan itu telah sirna sepenuhnya. Aku yang mengharapkan ujung dari hubungan kami, ternyata harus menerima kenyataan pahit. Aku tak lagi mampu merengkuh hatinya yang telah menjauh. Meski kata maaf terucap, perpisahan ini telah menorah luka dalam.
      Luka itu makin menganga tatkala orang mengantar undangan ijab Kabul yang disusul resepsi Kak Bayu dan Dewi, seseorang yang telah kukenal meski hanya sepintas. Dewi, kenalan Arya teman kantor Bayu telah dikenalkan kepada kami berdua sejak setahun yang lalu. Hatiku terasa hampa setelah menyatukan kepingan-kepingan memori dan sikap Kak Bayu selama setahun ini. Ternyata dia telah memendam rasa yang berbeda pada Dewi dan berhasil meluluhkan hatinya hingga ke jenjang pernikahan.