Mohon tunggu...
Elfrida Enggar Dhani
Elfrida Enggar Dhani Mohon Tunggu... Politeknik Keuangan Negara STAN

Mahasiswa aktif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Karbon dan Dilema Energi Indonesia: Antara Pertumbuhan dan Keberlanjutan

1 September 2025   23:03 Diperbarui: 1 September 2025   23:16 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kawasan Industri(Sumber: Jiipe.com)

5. Kesadaran Publik dan Dukungan Politik

Kesadaran publik terhadap pentingnya implementasi pajak karbon masih rendah karena minimnya pemahaman tentang manfaat jangka panjangnya. Sebagian masyarakat melihat pajak karbon hanya sebagai tambahan beban fiskal, bukan instrumen transisi energi. Di sisi lain, resistensi politik juga bisa muncul dari daerah penghasil batu bara atau sektor industri strategis yang khawatir daya saingnya terganggu. Dukungan politik yang lemah berisiko membuat implementasi kebijakan terhambat atau tertunda, seperti yang terjadi pada saat penerapan awal pajak karbon dari yang semula dilaksanakan tahun 2022 menjadi tahun 2025.

Meskipun berbagai tersebut masih membayangi, pajak karbon tetap memiliki potensi besar sebagai instrumen transisi menuju ekonomi rendah emisi. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategi yang lebih terarah sehingga kebijakan ini tidak hanya kuat secara regulasi, tetapi juga efektif, berkeadilan, dan mampu diterima publik. Hal ini menjadi dasar penting dalam merumuskan rekomendasi kebijakan yang akan memperkuat implementasi pajak karbon di Indonesia. 

Pertama, pemerintah dapat merancang roadmap implementasi yang jelas, terukur, dan bertahap. Strategi ini penting untuk mencegah guncangan ekonomi, terutama pada sektor energi, manufaktur, dan transformasi yang masih berbasis bahan bakar fosil. Roadmap harus menjelaskan sektor prioritas, metode perhitungan emisi, serta skema kenaikan tarif jangka menengah hingga jangka panjang sehingga pelaku usaha dapat menyesuaikan diri secara progresif. Model bertahap seperti di Singapura dan Kanada yang menaikkan tarif secara perlahan disertai dengan insentif teknologi, dapat dijadikan acuan.

Kedua, hasil penerimaan pajak karbon sebaiknya didistribusikan kembali (revenue recycling) secara transparan dan adil. Hal ini penting untuk melindungi kelompok berpenghasilan rendah yang rentan terhadap kenaikan harga energi. Sebagian dana dapat dialokasikan untuk kompensasi sosial, seperti bantuan tunai, subsidi listrik, atau pengembangan energi bersih di daerah tertinggal. Selain itu, penerimaan pajak juga dapat diarahkan untuk program pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi pekerja di sektor terdampak transisi, misalnya pertambangan dan industri berat. Dengan desain seperti ini, kebijakan akan lebih berkeadilan sekaligus meminimalkan resistensi publik.

Ketiga, pemerintah perlu memastikan pajak karbon menjadi katalis inovasi teknologi hijau. Dukungan dapat diberikan melalui insentif fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi pada teknologi rendah karbon, pembebasan bea masuk teknologi ramah lingkungan, atau pemberian tax credit untuk riset energi terbarukan. Pendekatan ini akan meningkatkan daya saing industri nasional dan mendorong terbentuknya rantai nilai baru berbasis ekonomi hijau.

Keempat, kapasitas kelembagaan dan sistem pengawasan harus diperkuat. Pelaksanaan pajak karbon memerlukan koordinasi erat antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, KLHK, dan pemerintah daerah karena implementasi ini bersifat lintas sektor. Sistem Monitoring, Reporting, dan Verification (MRV) yang standar dengan digitalisasi data dan pelatihan aparatur negara yang baik menjadi kunci keberhasilan penerapan sistem ini. Keterlibatan pemerintah daerah sejak awal juga sangat penting agar kebijakan dapat dijalankan sesuai dengan kondisi ekonomi lokal.

Kelima, komunikasi publik yang efektif menjadi syarat mutlak. Sosialisasi yang konsisten, transparan, dan menggunakan bahasa sederhana akan membantu masyarakat memahami bahwa pajak karbon bukan semata-mata untuk menambah penerimaan negara, melainkan untuk menjaga lingkungan, meningkatkan kesehatan, dan mewujudkan keadilan sosial. Kolaborasi dengan media, akademisi, dan masyarakat sipil dapat memperkuat literasi publik sekaligus membangun legitimasi kebijakan.

Perjalanan konsumsi energi di dunia menunjukkan bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil telah membawa kemajuan besar bagi peradaban, sekaligus menciptakan tantangan serius berupa krisis iklim. Indonesia, sebagai negara yang masih sangat bergantung pada batu bara dan energi fosil, menghadapi dilema antara mengejar pertumbuhan ekonomi dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Di sinilah pajak karbon hadir sebagai instrumen strategis yang dapat membantu menekan emisi sekaligus membuka ruang bagi transisi energi bersih.

Meskipun demikian, implementasi kebijakan ini tidaklah sederhana. Berbagai tantangan, seperti kesiapan regulasi, kapasitas sistem MRV, koordinasi kelembagaan, risiko dampak ekonomi, hingga rendahnya kesadaran publik menjadi faktor penentu keberhasilan. Oleh karena itu, strategi yang jelas, distribusi manfaat yang adil, insentif teknologi hijau, penguatan kelembagaan, dan komunikasi publik yang efektif harus menjadi prioritas dalam desain kebijakan.

Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, pajak karbon tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga sebagai motor transisi menuju pembangunan rendah karbon. Langkah kebijakan ini akan membantu Indonesia mencapai target NDC, memperkuat daya saing ekonomi hijau, dan memastikan keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun