Mohon tunggu...
Elfrida Enggar Dhani
Elfrida Enggar Dhani Mohon Tunggu... Politeknik Keuangan Negara STAN

Mahasiswa aktif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Karbon dan Dilema Energi Indonesia: Antara Pertumbuhan dan Keberlanjutan

1 September 2025   23:03 Diperbarui: 1 September 2025   23:16 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kawasan Industri(Sumber: Jiipe.com)

Indonesia sebagai negara berkemang sekaligus anggota Paris Agreement menunjukkan komitmen kuat dalam pengendalian emisi karbon. Melalui dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan hingga 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah memasukkan kebijakan pajak karbon ke dalam kerangka hukum nasional melalui Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Rencana awal penerapan pajak karbon sebenarnya dimulai pada 1 April 2022, tetapi dengan mempertimbangkan kesiapan regulasi dan kondisi ekonomi, implementasi penuh diundur hingga 2025. 

Pajak karbon Indonesia dirancang dengan tarif awal Rp30 per kilogram CO2e, terutama diberlakukan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, dan akan menyesuaikan harga di pasar karbon maupun instrumen sejenis. Skema ini mengadopsi prinsip polluter pays, di mana pelaku pencemar membayar, sekaligus mendorong transisi menuju energi bersih. Menurut estimasi Kementerian Keuangan, potensi penerimaan negara dari pajak karbon pada 2025 bisa mencapai Rp23,65 triliun, yang akan diarahkan untuk pembiayaan mitigasi iklim, subsidi energi terbarukan, serta perlindungan sosial bagi masyarakat rentan (Pratama, B., 2022). 

Dengan emisi karbon yang terus meningkat, penerapan pajak karbon di Indonesia bukan sekedar mengikuti tren global, melainkan sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus membuka peluang investasi hijau. Tantangan dalam implementasi pajak karbon tentunya ada dan dapat dianalisis menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Kesiapan Regulasi dan Kebijakan

Pajak karbon sudah memiliki dasar hukum melalui UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan diperkuat dengan Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Namun, regulasi turunan seperti peraturan teknis mengenai tarif, mekanisme pungutan, dan integrasi dengan pasar karbon domestik masih dalam tahap penyusunan. Informasi yang kurang lengkap ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha, terutama sektor energi dan industri padat emisi. Selain itu, masih adanya kebijakan subsidi energi fosil membuat insentif untuk beralih ke energi terbarukan menjadi kurang kuat.

2. Kapasitas Teknis dan Infrastruktur MRV (Monitoring, Reporting, and Verification)

Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan sistem MRV emisi. Tanpa data yang akurat dan terverifikasi, sulit memastikan kewajiban pajak sesuai dengan tingkat emisi aktual. Saat ini, infrastruktur MRV di Indonesia masih belum merata, baik dari sisi teknologi maupun kapasitas sumber daya manusia, terutama di sektor industri menengah kecil. Risiko yang muncul adalah distorsi pengenaan pajak atau potensi manipulasi data, yang dapat merusak kredibilitas kebijakan.

3. Koordinasi Kelembagaan

Pengelolaan pajak karbon melibatkan banyak pihak: Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, hingga pemerintah daerah. Namun, koordinasi antarinstansi sering belum sinkron, misalnya antara target fiskal (penerimaan pajak) dengan target lingkungan (pengurangan emisi). Overlapping kewenangan bisa memperlambat implementasi, terutama dalam penentuan sektor prioritas dan integrasi dengan instrumen perdagangan karbon (carbon trading).

4. Dampak Ekonomi dan Keadilan Sosial

Pajak karbon berpotensi menimbulkan kenaikan biaya produksi, terutama pada sektor energi berbasis batubara dan industri padat energi. Hal ini bisa berimbas pada kenaikan harga listrik maupun barang konsumsi. Jika tidak dikelola dengan baik, beban pajak akan beralih ke konsumen akhir, terutama kelompok masyarakat miskin. Oleh karena itu, perlu mekanisme revenue recycling, yaitu mengembalikan sebagian penerimaan pajak untuk kompensasi sosial, subsidi energi terbarukan, atau insentif energi bagi UMKM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun