Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Wanita Penghibur

19 Mei 2023   12:26 Diperbarui: 19 Mei 2023   12:48 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input https://unsplash.com

Saat masih kecil Ibu pernah bertanya kepadaku, "Kalau besar nanti kamu ingin menjadi apa?"

Aku menjawab, "Ingin menjadi wanita penghibur."

Kupikir Ibu akan marah besar mendengar jawabanku itu. Ternyata tidak. Ekspresi Ibu sama sekali tidak berubah. Bibir Ibu tetap tersenyum. Matanya yang bagus tetap bersinar ramah. Nada suaranya pun masih terdengar merdu.

Tentu saja aku senang.
Dan, semakin senang ketika tahu aku terlahir dengan zodiac Capricorn. Zodiac bersimbol kambing laut-yang katanya-memiliki kepercayaan diri sangat tinggi. Itulah sebab aku punya alasan untuk tetap konsisten terhadap cita-citaku.

Lalu tibalah hari itu. Hari di mana aku benar-benar telah menjadi wanita dewasa. Hari di mana aku boleh memakai gaun satin berbelah dada rendah, bersepatu highheel, serta boleh memoles wajah dengan bedak sedikit tebal.

Dan, di malam itu pula, Ibu mengizinkanku pergi untuk mewujudkan impian masa kecilku. Ibu bahkan mengantarku hingga pintu pagar dan berpesan, "Jadilah wanita penghibur yang baik."

***

Aku memulai pekerjaan sebagai wanita penghibur di sebuah rumah besar. Rumah yang terletak di kawasan elit.

"Siapa yang harus saya temui?" Aku bertanya riang kepada seorang lelaki paruh baya yang berdiri di ambang pintu. Lelaki itu tidak menyahut. Ia hanya mengedikkan kepalanya sedikit dan memintaku untuk berjalan mengikutinya.

Lelaki itu lantas memanduku menyusuri rumah besar itu. Dan, baru berhenti ketika sampai di depan sebuah kamar yang terletak di sisi bangunan paling ujung.

"Nyonya Ellen. Orang yang Anda tunggu sudah tiba." Lelaki itu berkata seraya menggeser daun pintu kamar lebar-lebar. Tampak seorang perempuan duduk di atas kursi roda. Ia melambaikan tangan ke arahku. Aku membungkukkan badan memberi hormat, kemudian berjalan perlahan mendekatinya.

"Tinggalkan kami berdua, Ron!" Perempuan itu kembali melambaikan tangan. Kali ini ditujukan kepada lelaki yang mengantarku tadi. Lelaki itu mengangguk, lalu pergi setelah terlebih dulu menggeser daun pintu ke posisi semula.

***

Perempuan di atas kursi roda itu menatapku cukup lama. Karena aku berdiri begitu dekat, maka bisa kulihat dengan jelas raut wajahnya yang pucat pasi. Semirip bulan kesiangan.

"Aku senang akhirnya kau datang." Perempuan itu berkata seraya menyungging senyum.

"Apa yang bisa saya lakukan untuk Nyonya?" Aku bertanya dengan nada lembut dan sopan.

"Tugasmu tidak berat. Hanya mendengarkan ceritaku." Perempuan yang kupanggil Nyonya itu menjawab pelan. Aku segera menarik sebuah kursi, lalu duduk tepat di sebelahnya. Menunggu ia mulai menuturkan kisah.

***

Dua puluh tahun silam. 

Perempuan bernama Ellen itu menikah dengan seorang laki-laki yang sudah mapan. Ia diboyong ke rumah mewah milik suaminya dan mereka hidup bahagia.

Namun, memasuki bulan kedelapan pernikahan, Ellen harus menerima kenyataan pahit. Dari hasil pemeriksaan medis, ia dinyatakan tidak bisa hamil.

Meski tidak mengatakan apa-apa usai mendengar vonis yang disampaikan oleh dokter, perempuan itu tahu, jikalau suaminya memendam rasa kecewa yang teramat dalam.

"Maafkan. Aku tidak bisa memberimu momongan."

Suatu hari Ellen memberanikan diri menyampaikan perihal itu kepada suaminya. Ia sudah pasrah. Ia bahkan menyarankan suaminya untuk menikah lagi dengan prempuan lain agar bisa memperoleh keturunan.

"Nyonya sungguh baik sekali. Juga tabah." Aku menyela cerita Nyonya Ellen.

"Kadang kebaikan harus dipaksakan, Nak. Agar hidup ini berjalan baik-baik saja." Nyonya Ellen tersenyum tipis, lalu melanjutkan kisahnya lagi.

Awalnya suami Nyonya Ellen tidak mengindahkan saran agar ia 'menikah lagi' itu. Namun, di suatu sore yang cerah pria itu pulang membawa kabar yang membuat hati Nyonya Ellen hancur berkeping-keping.

"Aku sebentar lagi akan punya bayi, Ellen! Ya, bayi. Dia---hamil!" Mata suaminya berbinar-binar ketika menyampaikan berita bahagia itu.

"Dia? Dia siapa? Apakah kau ...?"  Nyonya Ellen bertanya terbata-bata.

"Ya, Ellen. Maafkan aku. Aku telah menikahi wanita itu tanpa sepengetahuanmu."

Nyonya Ellen menghentikan ceritanya sejenak. Tangannya yang kurus menggeser posisi kursi roda. Kursi itu kini menghadap ke arah jendela yang tirainya sesekali bergerak tertiup angin.

Di luar langit sedang dihiasi purnama penuh. Cahayanya berpendar terang. Aku bisa melihat lingkar cahaya itu membentuk cincin yang indah dari tempatku duduk.

"Apakah Nyonya baik-baik, saja? Maksudku---setelah mendengar pengakuan dari suami Nyonya." Hati-hati aku mengajukan tanya. Nyonya Ellen menaikkan bahunya sedikit.

"Perempuan adalah makhluk paling unik, Nak. Sulit ditebak isi kepala dan isi hatinya. Contohnya aku. Aku pernah menyuruh suamiku menikah lagi. Tapi ketika ia benar-benar melakukannya, aku sedih." Nyonya Ellen menjawab murung.

"Kau sudah pernah jatuh cinta, Nak?" Tiba-tiba Nyonya Ellen menoleh ke arahku. Agak gugup aku menggelengkan kepala.

"Kelak jika kau sudah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, kau akan paham kata-kataku barusan." Nyonya Ellen berkata lirih. Wajahnya yang putih tampak semakin putih saat terkena sorot cahaya bulan yang menerobos masuk dari balik jendela.

Di luar malam merayap kian jauh. Nyonya Ellen sudah tidak bercerita apa-apa lagi. Kukira, ia sudah lelah dan mengantuk.

"Nyonya ingin saya melakukan sesuatu?" Aku menawarkan diri. Tapi Nyonya itu menggeleng.

"Pertemuan kali ini sudah cukup, Nak. Besok malam kau boleh datang lagi. Tapi, sebelum pulang ambillah upahmu di sana."

Nyonya Ellen menunjuk ke arah meja rias. Sebuah amplop tebal berisi uang, upah pertamaku, tergeletak di atasnya.

***
Keluar dari rumah mewah itu aku masih harus berjalan kaki untuk sampai ke jalanan besar. Kabut mulai turun mengaburkan penglihatan. Langkahku sedikit terseok dibuatnya.

Seorang satpam berdiri di dekat portal pembatas jalan. Aku mengangguk kecil ke arahnya. Tapi satpam itu tidak merespon anggukanku. Ia diam bagai patung dan membiarkanku berlalu begitu saja melewatinya.

Lega sekali rasanya ketika melihat taksi yang kupesan sudah menunggu di bahu jalan. Setengah berlari aku mendekat, membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya dan duduk menyandarkan punggung.

"Di daerah sini agak sulit memesan taksi, ya, Bang? Sedari tadi orderanku ditolak melulu." Aku mengeluh pada sopir taksi yang duduk di belakang kemudi.

Tak ada jawaban yang kudengar. Pengemudi taksi itu sepertinya ingin segera melarikan kendaraan secepatnya.

Lima belas menit kemudian taksi berhenti, menurunkanku tepat di depan rumah. Aku membuka amplop dari Nyonya Ellen, mengeluarkan selembar isinya untuk membayar ongkos taksi.

"Kukira Mbaknya tadi bukan orang." Sopir taksi tiba-tiba bersuara. Membuatku terkejut setengah mati.

"Bukan orang? Maksud Bapak?" Aku mengernyit alis.

"Aku tadi sempat ragu. Sebab Mbaknya minta dijemput di area pekuburan tua angker itu." Sopir taksi menjelaskan seraya menatap curiga ke arahku.

"Bapak tidak usah ragu. Karena mulai malam ini saya akan sering menggunakan jasa Bapak. Minta antar jemput ke area pekuburan tua itu. Sebab nganu, hanya Bapak yang bisa melihat kemunculan saya."

Kali ini giliran sopir taksi itu yang terkejut.


***
Malang, 18 Mei 2023
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun