"Ma, hujan!"
Suara nyaring itu membuatku gegas menutup jendela yang daunnya berderak-derak tertiup angin.
"Jangan tutup tirainya, ya, Ma. Siapa tahu malam ini Peri Hujan benar-benar datang. Menjenguk kita."
Aku tersenyum. Bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu kiranya masih terbawa dongeng yang pernah kuceritakan. Dongeng yang mengisahkan tentang Peri Hujan yang suka datang malam-malam mengetuk jendela usai hujan deras mereda.
"Aku akan mengajukan satu permintaan kepadanya, Ma." Bocah itu melanjutkan kalimatnya.
"Loh, bukannya tiga?" Aku menggodanya. Ia menggeleng.
"Tiga permintaan terlalu serakah. Nanti Peri Hujan bingung!"
"Boleh tahu apa permintaan itu?" Kudekatkan wajah. Ia sontak berdiri tegap. Lalu menatapku berlama-lama.
Aku tertegun. Sungguh, cara dia menatapku mengingatkan pada tatapan mata nakal seseorang.
***
"Masih hujan, Mas!" Seruku. Berusaha mencegahnya pergi.