Aku segera menyampaikan kabar baik ini kepada ibu. Tentu saja ibu menyambut gembira mengingat usiaku sudah tidak muda lagi. Sudah saatnya aku mengakhiri masa lajang yang nyaris kadaluarsa.
"Tapi sebelum menikah, maukah kau menemani ibu pergi ke taman kota itu lagi, Alika?" Ibu menatapku serius.Â
"Ke taman kota? Untuk apa? Tunggu! Jangan katakan Ibu ingin bertemu dengan ..." aku menghentikan kalimatku sejenak. Menduga-duga apa yang ada di dalam pikiran ibu.
"Kau benar, Alika. Ibu ingin bertemu dengan Tuan Badut itu. Ibu ingin juga berbagi kabar baik ini dengannya."
***
Senja belum usai melukis rona jingga ketika kami tiba di taman kota. Ibu duduk di bangku taman yang sebagian catnya sudah terkelupas.Â
Aku menjejerinya.Â
"Semoga Tuan Badut itu sudah mati." Gumamku seraya meluruskan kaki.
"Kau tidak boleh berkata begitu, Alika. Tuan Badut itu sepantaran dengan ibu. Kaulihat kondisi ibu masih sehat, bukan? Kuharap ia juga masih sesehat ibu"
"Tapi, Bu. Seseorang dengan perut buncit biasanya lebih rentan mengalami gangguan kesehatan." Aku menanggapi kalimat ibu dengan suara hambar.
"Aku senang hatimu mulai melunak, Alika. Setidaknya bersikaplah baik terhadap Tuan Badut yang akan kita temui nanti." Ibu tersenyum lebar. Dan, senyum itu kian melebar ketika sosok aneh yang kami tunggu muncul.