"Ya. Tuan Badut. Dia tidak jahat seperti yang kaukira, Nak."
"Tidak! Dengar, Bu. Jika sekarang aku hanya menimpuknya dengan batu, lain kali aku bisa melakukan lebih dari itu!" Ancamku bersungguh-sungguh.
Tangan ibu semakin erat memelukku.
"Baiklah, Alika. Ibu akan menyuruhnya pergi." Ibu akhirnya mengalah. Selanjutnya entah apa yang dikatakan ibu, tahu-tahu makhluk mengerikan itu berlalu meninggalkan taman.Â
Sepintas, kulihat sorot mata ibu meredup. Digelayuti awan hitam.
***
Waktu terus bergerak, menggiringku menjadi wanita dewasa dan mandiri. Tapi soal kengerian terhadap sosok badut tidak juga mampu kuenyahkan. Tetap melekat di pikiranku. Membentuk semacam lingkaran pobhia.
Itulah mengapa aku selalu berusaha menghindar jika kebetulan melihat atau berpapasan dengan makhluk berpenampilan aneh itu. Meski kata ibu, di balik baju gombrongnya, mereka --- badut-badut penghibur itu adalah orang-orang berjiwa baik.Â
"Keadaanlah yang membuat mereka terpaksa bersembunyi di balik topeng badut, Alika." Ibu menjelaskan dengan suara dan mimik penuh simpati.
Simpati? Ah, masa bodoh! Itu menjadi urusan pribadi ibu. Aku sama sekali tidak tertarik untuk mengusik atau sekadar mengetahui alasan mengapa ibu begitu menaruh perhatian pada dunia para badut.
Sampai suatu hari aku bertemu Daren, pemuda yang bekerja satu kantor denganku tapi berbeda ruangan. Daren mengaku jatuh cinta dan berniat untuk menikahiku.