"Fatimah, tarik kembali gugatanmu!" laki-laki itu berseru lantang. Membuat dua bocah yang masih meringkuk di atas pembaringan terjaga.
"Tidak akan kulakukan," Fatimah menyahut tanpa memandang wajah suaminya.
"Kau menentangku, Fatimah? Baiklah. Itu berarti, kau harus bersiap-siap tidak akan mendapatkan apapun dariku," suara Abi terdengar geram.
"Apakah ini semacam ancaman?" Fatimah menyipitkan kedua matanya.
"Dengar, Fatimah! Kau akan menyesal."
Di luar hujan mendadak tumpah. Membasahi rerumputan dan pepohonan yang meranggas.
Andai hujan bisa menyembuhkan luka hati. Atau paling tidak menghapus jejak kenangan yang terlanjur menoreh, ah, Fatimah memejamkan mata. Menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah.
Sementara Abi, merasa kata-katanya tidak ditanggapi dengan baik oleh Fatimah, ia bergegas memutar tubuh. Lalu membanting pintu dengan kasar.
Di antara reruntuhan hujan kakinya yang limbung melangkah menuju mobil. Sejenak lamanya ia membiarkan hujan berebut mengaburkan kaca jendela. Juga pikirannya.
***
Sesungguhnya Abi tengah dilanda kebingungan. Kebingungan yang amat sangat. Desakkan keluarga istri mudanya untuk segera menikah secara resmi--bukan sekadar menikah  sirri, membuatnya pusing tujuh keliling. Ditambah lagi sikap keras kepala Fatimah yang enggan menarik gugatannya.