Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lawang Sewu

23 Februari 2019   11:38 Diperbarui: 23 Februari 2019   12:08 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendadak daun-daun pohon Akasia di halaman samping rumah jatuh berguguran. Tanpa disertai angin. 

Selembar daun melayang dan hinggap pada bingkai jendela kamar yang terbuka. Perasaanku seketika tidak enak. Tergesa aku memungut daun luruh itu. Mencermatinya sejenak. 

Dugaanku benar. Semacam tanda kutemukan pada bagian tengah daun yang warnanya agak menguning. 

Buru-buru aku meraih dompet di atas meja. Mengunci pintu kamar dan bergegas menuju mini market terdekat. Memesan tiket kereta api untuk perjalanan panjang yang akan kulakukan malam ini juga. Beruntung masih tersisa satu tiket kursi meski berada di gerbong dan nomor paling akhir. 

Sembari berjalan kembali menuju rumah untuk mengemasi barang-barang yang akan kubawa, aku menghubungi Beib via telpon. Memberitahu bahwa malam ini aku akan bepergian jauh.

"Kok mendadak sekali Nis? Kenapa tidak menunggu sampai aku pulang?" suara Beib dari jauh terdengar mencemaskanku.


"Ini perjalanan amat penting, Beib!"

"Penting?"

Klik.

Ponsel sengaja kumatikan. 

Aku tahu di sana Beib pasti marah besar. Sebab aku tidak menjelaskan secara detail apa sebenarnya yang hendak kulakukan.

***

Kereta api berjalan dengan kecepatan stabil. Para penumpang banyak yang sudah tertidur lelap. Begitu juga dengan pria yang duduk tepat di hadapanku, yang wajahnya disembunyikan di balik masker dan kacamata hitam.

Tapi kemudian aku menyadari. Bahwa pria itu sebenarnya tidak tidur. Ia diam-diam mengawasiku.

Tiba-tiba saja rasa kantuk teramat berat menyerangku. Ditambah AC yang super dingin membuat tubuhku meringkuk dan otakku perlahan mulai kehilangan kesadaran.

Sepertinya aku tertidur cukup lama dan baru terbangun ketika seseorang menyentuh lembut pundakku.

"Sudah sampai di stasiun tujuan Anda, Nyonya." Seorang petugas berseragam biru muda tersenyum ke arahku. Aku bergegas meraba tas yang sejak tadi kubiarkan tergeletak di atas pangkuan. Kemudian, dengan mata masih mengantuk dan tubuh agak sempoyongan aku berjalan menuju pintu kereta yang sudah terbuka. 

Di luar hari masih diliputi gelap. Aku mengeluarkan ponsel dari balik saku jaket. Menyalakannya dan mengamati sejenak waktu yang tertera di pojok kiri paling atas. 

Pukul 01.15 WIB. 

Aku baru saja berniat mematikan ponsel kembali ketika mendadak benda kecil di tanganku itu berdering.

Beib.

"Nis! Kau tidak mengaktifkan ponselmu. Ada apa?"

"Sudah kubilang aku ke luar kota, Beib," aku mengerutkan hidung, menahan rasa gatal yang membuatku ingin bersin.

"Ya. Tapi kota mana? Kau tidak mengatakan apa-apa padaku!" Suara Beib mulai meninggi. Aku terdiam.

"Jawab, Nis!"

"Semarang, Beib."

"Semarang? Sekarang posisimu di mana?"

"Sudah sampai di stasiun."

"Stasiun mana?"

Aku celingak-celinguk. Sampai mataku kemudian menemukan sesuatu. Huruf-huruf besar yang terpampang pada dinding bangunan.

"Stasiun Lawang Sewu, Beib!"

"Stasiun Lawang Sewu? Kau serius, Nis? Setahuku di Semarang tidak ada stasiun bernama begitu. Lawang Sewu itu nama sebuah gedung tua peninggalan zaman Belanda!"

Deg. Jantungku seketika berdegup kencang.

Beib benar. 

Saat ini aku bukan sedang berada di sebuah stasiun. Tapi aku tengah berdiri di pusat sebuah bangunan yang sangat luas. Bangunan tua yang lengang dan terkesan--amat menyeramkan.

***

Mataku menyapu sekeliling. Ada banyak pintu berderet kokoh di hadapanku. Pintu-pintu itu dalam keadaan tertutup. Aku mencubit pipiku sendiri kuat-kuat. Terasa sakit. Hal itu menyadarkan bahwa aku sedang tidak bermimpi.

Yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimana tiba-tiba aku bisa berada di tempat asing seperti ini? 

"Selamat datang di istanaku, Nyonya," sebuah suara berintonasi berat mengagetkanku. Seketika aku menoleh. Dan aku tak bisa lagi menyembunyikan rasa terkejut manakala tahu siapa yang baru saja bicara padaku.

Pria bermasker dan berkacamata hitam itu!

"Maafkan aku, Nyonya. Aku mengundangmu dengan cara yang tidak biasa. Dan aku sungguh merasa sangat tersanjung jika pada akhirnya dirimu bersedia datang memenuhi undangan istimewa ini," pria itu membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Istanamu?" gugup aku mundur beberapa langkah.

"Ya. Istanaku. Kerajaan Lawang Sewu ini adalah milikku. Aku raja yang berkuasa di sini."

Mendadak aku teringat Beib. Apa kata dia jika mengetahui aku mengalami hal aneh seperti ini? 

Kukatakan aneh, karena tadi aku benar-benar yakin baru saja turun dari tangga kereta api. Dan harusnya aku tiba di stasiun tujuan pukul...

Astaga! Kenapa aku tidak menyadari hal ini sejak awal? Perjalanan tempuh dari kota tempat tinggalku menuju Kota Semarang memakan waktu 8 jam. Jika kereta api yang kutumpangi berangkat pukul 19.15 WIB, seharusnya aku tiba pada kisaran pukul 03.15 WIB. Tapi petugas kereta api membangunkanku dua jam lebih cepat sebelum jadwal kedatangan. 

"Aku yang memajukan waktu perjalananmu, Nyonya," suara pria tak kukenal itu membuyarkan isi kepalaku. Kali ini aku memberanikan diri menatapnya lekat-lekat.

"Jadi Anda pula yang mengirim tanda lewat dedaunan menggunakan Aksara Jawi Kuno itu?" aku memicingkan sebelah mata. Pria itu mengangguk.

"Begitulah caraku untuk menarik perhatianmu, Nyonya. Sesulih Dewi Tribuaneswari."

Pria itu mengangkat tangan kanannya. Kemudian dengan gerakan kasar menarik masker dan kacamata hitam yang dikenakannya. Lalu membuang benda-benda itu begitu saja ke atas lantai yang dingin.

Yang terlihat setelahnya adalah--sebentuk wajah mengerikan menyeringai buas ke arahku.

***

Aku berharap apa yang kualami ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk saat aku tertidur di dalam gerbong kereta api. 

"Kukira kali ini Raden Wijaya tidak akan mampu mengambilmu kembali dari tanganku, Diajeng," pria itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang berat menggema ke seluruh ruangan. Membuat deretan pintu yang semula diam, mulai berguncang hebat. 

"Ya. Sekadar mengingatkan memorimu saja. Ratusan tahun silam, Raden Wijaya telah merebutmu dariku, Diajeng. Sekaranglah saatnya aku mendapatkan kembali cintaku yang dirampas!" pria itu mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya.

"Cinta yang dirampas?" bulu kudukku seketika berdiri. Apakah pria di hadapanku ini berasal dari masa lalu, yang menganggap dirinya adalah seorang raja?

Beib. 

Tiba-tiba saja aku teringat dia. Dengan gugup aku meraih ponsel. Menekan sederetan nomor yang tersimpan. 

Sedetik. Dua detik. Tersambung.

"Beib!" aku berseru panik. 

"Nis! Kau masih di tempat itu?"

"Iya, Beib. Ada orang aneh di sini. Dia..."

"Nis! Cepat keluar dari ruangan berbahaya itu. Pilih pintu paling besar yang berada di ujung sebelah kiri!"

Pintu besar paling ujung sebelah kiri? Mataku nanar, sibuk mencari-cari. Sementara pria berwajah mengerikan itu mulai berjalan mendekat. Tangannya yang kekar berbulu lebat terbentang ke samping seolah hendak menangkapku.

Tanpa komando kakiku bergerak cepat. Berlari menuju arah kiri sesuai instruksi yang disampaikan oleh Beib. Dan sebelum pria yang mengaku sebagai penguasa Kerajaan Lawang Sewu itu berhasil menangkap pundakku, tubuhku sudah terlempar jauh ke suatu tempat--halaman samping rumah yang ditumbuhi pohon Akasia.

Dan orang yang pertama kali menemukanku adalah Beib. 

"Astaga, Nis! Kau tertidur di gazebo?" Beib menyentuh kedua pipiku. Seketika aku terbangun, mengucek-ngucek kedua mataku.

"Tertidur? Tidak! Aku baru saja bebas dari kejaran orang..." aku tidak melanjutkan kalimatku. Tanganku sibuk meraba-raba saku jaket. Ponselku! Rupanya tadi tanpa sengaja aku menjatuhkannya di dalam gedung menyeramkan itu.

"Bantu aku menurunkan barang-barang dari bagasi, ya!" Beib memberi tanda pada sopir taksi yang mengantarnya pulang. Sementara aku masih duduk di amben gazebo dengan wajah termangu-mangu.

Saat melintas di hadapanku, sopir taksi yang membantu Beib membawakan barang-barang, berhenti. Lalu tersenyum dan menunjukkan sesuatu ke arahku.

"Ponselmu, Diajeng. Aku akan mengembalikannya kalau kau bersedia datang lagi ke istanaku. Lawang Sewu."

Beiiiiib!!!

Sungguh. Rasanya malam ini aku memilih lebih baik pingsan.

***

Malang, 23 Februari 2019
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun