Mohon tunggu...
Endang Lestari
Endang Lestari Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka alam

Bersama kesulitan, pasti ada kemudahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Karat Kenangan

20 Juni 2020   18:22 Diperbarui: 20 Juni 2020   18:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by: pexels.com

KARAT KENANGAN
Oleh : Endang Lestari (El Farzana A.)

.

Hujan masih tak mau reda dari hatiku. Membiarkan luka itu tak bisa mengering.

***

"Fia ... gimana? Kamu mau, 'kan, menikah denganku?" Lelaki berbeda dengan pertanyaan yang sama menatapku. Sorot matanya menggambarkan sebuah harapan yang tinggi.

"Maaf, aku belum siap menikah. Masih banyak tanggungan yang harus kupenuhi," jawabku, tanpa ingin memikirkan lebih jauh permintaannya. Dia adalah lelaki kedua yang kutolak lamarannya.

Hanya kata-kata itu yang bisa terucap. Mungkin terdengar kejam, tapi hati dan jiwa memang belum siap untuk berumah tangga. Meski umur pun bisa dibilang sudah waktunya.

Setelah menuntaskan janji bertemu lelaki itu, aku bergegas pulang. Melajukan kuda besi, menyusuri jalanan kota yang malam ini lumayan lengang. Mungkin penghuninya sebagian sudah berada di rumah, karena waktu pulang kerja sudah lewat beberapa jam yang lalu.

Mendung menutupi sinar bulan beserta gemintang. Sesaat, hujan gerimis menyapa. Aku menikmati gerimis sambil memelankan laju kendaraan. Sekilas kenangan masa lalu terlintas di kepala.

Plak!

"Pak, cukup, Pak!" jerit tangis Ibu dari kamarnya terdengar memenuhi isi rumah.

"Jangan campuri urusanku. Mau aku pergi ke mana terserah aku!" bentak Bapak.

Plak!

Lagi, suara tamparan yang membuat Ibu menjerit seperti menahan sakit. Mendengar itu aku ketakutan, menggigil di sudut kamar seraya memeluk adik-adikku. Denyut jantung berdetak kencang, seakan tak terima mendengar Ibu kesakitan. Ingin memberontak, tapi tak kuasa untuk melakukan apa-apa.

Waktu itu umurku masih dua belas tahun. Masa di mana harusnya mendapat kasih sayang penuh dari kedua orang tua. Nyatanya, tak pernah kudapat dari Bapak. Begitu pun adik-adik, mengalami hal yang sama. Hanya Ibu yang selalu mengurus kami dengan penuh kasih sayang. Tak jarang pula, Bapak bersikap kasar terhadap anak-anaknya.

Pernah terbayang, bisa salat berjamaah diimami Bapak, bisa bercanda dan mencurahkan isi hati sama beliau adalah hal yang paling membahagiakan. Merasa mempunyai seorang pelindung. Kata orang, anak perempuan akan lebih bahagia jika bisa dekat dengan Bapaknya. Agar tumbuh menjadi seseorang yang tangguh hatinya. Ya ... mungkin itu hanya mimpiku. Bahkan, menyentuh alat salat pun tak pernah Bapak lakukan.

"Bu, adek dapat nilai bagus di sekolah. Yeayy! Nanti mau kutunjukkan sama Bapak," ucap adik sulungku kala dia masih berumur tujuh tahun.

Rasa iba menyelinap dalam hati mendengar ucapan adik. Karena tahu, berharap kasih sayang dan perhatian Bapak hanya sebuah angan yang tak pernah tergapai. Kami mempunyai Bapak, tapi seperti hidup tanpa Bapak.

Ketika aku beranjak dewasa, perilaku Bapak semakin buruk. Setiap hari selepas pulang bekerja, beliau pergi lagi hingga larut malam. Entah apa yang dilakukan Bapak di luar sana. Sering kujumpai Ibu menangis setelah bertengkar di malam hari dan paginya wajah beliau penuh lebam.

Kejadian itu terus berlanjut hingga suatu ketika, pertengkaran lebih hebat lagi terjadi. Entah apa yang sebelumnya mereka bicarakan, tiba-tiba Bapak mengangkat kursi ingin melemparkan ke arah Ibu. Secepat kilat Ibu berlari menuju kamar, lalu mengunci pintunya. Aku yang melihat itu memberanikan diri memohon pada Bapak untuk tidak marah lagi.

"Tinggalkan kami jika Bapak memang sudah tak menginginkan kami lagi!" teriak Ibu. "Maaf, kesabaranku sudah habis, Pak. Aku tidak mengusir, kalau Bapak tidak mau berubah, tinggalkan kami," sambungnya lagi.

Bapak akhirnya pergi dan tak pernah kembali maupun mengirimi kami uang. Hingga tiga tahun kemudian, Ibu menggugat cerai Bapak. Lalu, kami benar-benar hidup tanpa Bapak.

Ibu pernah bercerita, Bapak dulu memang terpaksa menikahinya karena desakan orang tua. Bapak yang saat itu mempunyai pacar, mendadak harus memutuskannya. Rumah tangga Ibu dan Bapak sering tidak harmonis. Perselisihan acapkali mewarnai hari-hari. Meski Ibu sudah berusaha menjadi istri yang baik, tapi tak pernah berarti di mata Bapak.

Aku tumbuh menjadi perempuan introver, kaku, dan mandiri. Mungkin dari luar, terlihat tegar, tapi nyatanya hatiku mudah rapuh. Kepada lawan jenis, bukan tak punya perasaan sama sekali. Tapi, lebih memilih menjauh, bermaksud membentengi hati dari rasa sakit.

Trauma mungkin masih membayangi pikiran, hingga untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria, aku masih takut. Karena mental seseorang dalam menerima permasalahan memang tidaklah sama.

Tak terasa, bulir bening mengalir di pipi, membuat pandangan memburam, dan seketika membuyarkan lamunanku. Gerimis pun makin lebat. Baju telah lembab oleh rintiknya. Aku bergegas menepikan motor dan memakai jas hujan agar baju tak semakin basah.

***

Ya ... hujan masih tak mau reda dari hatiku. Membiarkan luka itu tak bisa mengering. Tapi, mungkin aku bisa melakukan hal yang sama pada hati. Melindunginya agar tak basah lagi oleh kenangan. Lebih mendekat pada Sang Pemilik Hidup adalah jalan yang terbaik.

Gresik, 19 Juni 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun