Mohon tunggu...
Ghazian Al Wafi
Ghazian Al Wafi Mohon Tunggu... -

Another sunny day, and dreamin' far away. Dreaming on my pillow in the morning. Never been awake, I never seen a day break. Leaning on my pillow in the morning light

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ragam Makanan Pokok Bangsa Kita Telah Bergeser

24 April 2014   00:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:17 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sangat kaya sekali akan sumber daya alam, termasuk di dalamnya soal pertaninan. Bagaimana kita dahulu sudah menjadi incaran bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan juga tentunya Belanda yang rela datang jauh-jauh dari tanah eropa untuk mencari rempah-rempah. Tetapi semakin kesini, kita sebagai bangsa dan negara yang kaya justru semakin memprihatinkan di tanahnya sendiri, untuk makanan pokok saja yaitu beras bahkan kita harus impor dari 5 negara, total 472 ribu ton beras senilai US$ 246 juta yang diimpor menurut data dari Badan Pusat Statistik Tahun 2013. Tentu hal tersebut sangat memprihantinkan kita semua, sebagai negara agraris petani kita pun semakin jauh dari kata sejahtera. Apa sebetulnya yang melatar belakangi hal itu semua ?

Menilik soal makanan pokok, dari Sabang hingga Merauke kita mempunyai keanekaragaman tersendiri soal makanan pokok. Kita bisa lihat saudara-saudara kita di tanah Papua mempunyai ubi, ketela, dan sagu sebagai makanan pokok, di Maluku sagu menjadi makanan pokok, di daerah Nusa Tenggara Timur mempunyai makanan pokok yaitu jagung. Parahnya, cara pandang masyarakat terhadap jenis makanan tersebut cenderung kurang bagus. Selama ini, makanan dari umbi-umbian sebatas hanya pelengkap nasi, padahal itu semua juga memiliki kadar karbohidrat yang tinggi dan juga merupakan karbohidrat kompleks yang sangat baik untuk energi bagi tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Orde baru memiliki andil bagaimana semua orang Indonesia "diarahkan" untuk mengkonsumsi beras melalui program Repelita I tahun 1969 - 1974, memang pada saat itu kita sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Indonesia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Pada saat itu Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.

Tetapi apa efek buruknya dari program Repelita I itu ? Tentu ragam makanan pokok bangsa kita bergeser karena ketergantungan akan beras, dampaknya terasa hingga saat ini. Konsumsi beras rata-rata kita adalah139 kg per kapita saat ini, akan semakin melemahkan ketahanan pangan di negeri yang berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa ini. Tahun 2009 di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, kekurangan pangan yang terjadi sebenarnya adalah kekurangan beras. Di masa lalu, strategi pengelolaan pangan masyarakat NTT didasarkan pada cadangan pangan keluarga/desa untuk mengantisipasi musim kering. Pangan cadangan adalah ubi dan jagung. Ketika pangan lokal beralih pada dominasi beras, maka pengelolaan pangan juga beralih dari tangan masyarakat ke tangan pemerintah dan pasar. Cara pandang bahwa pangan adalah beras yang perlu dibeli di pasar, atau diatur oleh pemerintah, harus diubah menjadi: pangan adalah beragam makanan lokal yang dapat dikelola masyarakat sendiri.

Pulau jawa yang digadang-gadang sebagai lumbung padi nyatanya lahan pertanian yang ada tidak seluas pada zaman dahulu, jumlah sawah semakin berkurang tergerus oleh beton-beton bangunan. Para petani lebih memilih menjual tanah mereka lalu memasukan uang mereka ke bank dan untuk hidup sehari-hari mereka hanya mengandalkan uang bunga bank tabungan mereka. Ini sangat miris, generasi muda saat ini yang gengsi tidak mau bertani dan memlilih pekerjaan lain yang lebih elit, walaupun itu menjadi buruh pabrik atau TKI di luar negeri, hal ini juga mungkin yang melatarbelakangi para petani menjual tanah-tanah mereka ditambah dengan minimnya kesejahteraan petani kita. Sementara itu, membuka lahan untuk persawahan di luar jawa tentu tidak potensial karena kondisi alam dan tanah yang berbeda, sehingga tidak mungkin untuk menekan produktivitas produksi makanan pokok. Disisi lain produksi makanan pokok non-beras kita mengalami surplus, sebagai contoh di Jawa Tengah seperti jagung sebanyak 2,6 juta ton dari produksi 2.767.883 ton. Tanaman ubi kayu mencapai 3.271.193 ton dengan tingkat surplus 2,9 juta ton.

Masyarakat Indonesia saat ini masih memiliki pola konsumsi yang kurang ideal. Penyebabnya adalah ketergantungan terhadap beras dan kurangnya akses terhadap bahan pangan lain. Untuk menghilangkan ketergantungan terhadap beras, diperlukan edukasi kepada masyarakat untuk mengkonsumsi makanan secara beragam dan seimbang. Juga makanan pokok dari masing-masing daerah di Indonesia yang bergeser perlu di luruskan lagi. Dengan itu diharapkan pola konsumsi masyarakat bisa bergeser ke arah yang lebih ideal.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun