Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Koruptor Pesta Pora, Jokowi Tak Layak Didukung?

2 November 2019   22:55 Diperbarui: 3 November 2019   09:29 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Kompasiana.com

PENANTIAN panjang elemen masyarakat, mahasiswa dan penggiat anti korupsi tentang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pencabutan Undang-Undang Kimisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi, terjawab sudah.

Sudah bisa dipastikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang awalnya diharapkan jadi "pahlawan" terkait kisruh KPK ini, nyatanya cenderung berfihak pada kepentingan partai politik, dibanding terhadap masyarakat.

Hal ini bukan tanpa alasan. Sejak awal partai politik terkesan tidak senang dengan sepak terjang KPK. Soalnya, yang disisir KPK, tidak hanya pejabat korup rendahan. Tapi, merambah ke para elite politik. Bahkan diantaranya ada juga Ketua Umum partai politik. Yakni, Ketua Umum Golkar, Setya Novanto. Sosok yang dikenal dengan drama badut tiang listrik ini diduga menerima suap dari pengadaan e-KTP.

Menyusul Setya Novanto adalah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romi Romahurmuzi.  Dia terkena OTT atas dugaan suap pengkondisian jabatan di Kementrian agama Jawa Timur.

Pernyataan tidak akan menerbitkan Perppu tersebut, Jokowi ungkapkan dengan dalih masih menghormati dan menunggu hasil uji materi yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).

Keputusan Jokowi ini diyakini membuat sebagian besar masyarakat, mahasiswa dan penggiat anti korupsi, kecewa. 

Bagaimana tidak, dengan UU KPK hasil revisi membuat peluang para koruptor maupun calon koruptor ditenggarai akan berpesta pora. Karena sebagian besar kewenangan lembaga antirasuah tersebut telah diamputasi. Sehingga kegarangannya dalam pemberantasan korupsi diduga kuat jauh berkurang. Bahkan prestasi KPK dengan banyaknya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) berpotensi menurun drastis.

Betapa tidak, "Senjata sakti" KPK berupa kewenangan  penyadapan, dengan UU KPK hasil revisi, ruang geraknya jadi dibatasi. Karena, pasca diberlakukannya UU KPK baru, tindakan penyadapan ini tidak bisa diputuskan langsung oleh komisioner atau pimpinan lembaga antirasuah. Melainkan harus meminta izin terlebih dahulu kepada dewan pengawas. 

Jadi, untuk bulan-bulan ini jangan harap akan ada koruptor yang mayoritas melibatkan pejabat publik ini kena OTT. Karena, dewan pengawas itu sendiri belum terbentuk. Sedangkan UU KPK anyar itu sendiri sudah berlaku sejak 17 Oktober 2019 lalu, atau 30 hari pasca disahkan DPR berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah. Sementara, dewan pengawas yang rencananya akan ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi, belum jelas waktunya.

Dilansir dari TEMPO.CO, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti kecewa dengan pernyataan Jokowi yang enggan menerbitkan Perppu. Menurutnya, pemimpin yang tidak mendukung pemberantasan korupsi tidak layak mendapatkan dukungan.

"Buat saya pemimpin yang tidak mendukung pemberantasan korupsi tidak layak untuk mendapatkan dukungan," kata Bivitri saat dihubungi, Sabtu, 2 November 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun