Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KPK dan Jokowi dalam Pusaran Politisi Senayan

16 September 2019   19:18 Diperbarui: 16 September 2019   19:18 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LAYAKNYA cerita bersambung, kisruh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memunculkan drama-drama baru. Mulai dari penjaringan calon pimpinan yang dianggap sarat kontoversi. Lalu, disusul dengan polah para politisi senayan yang kembali tergugah syahwatnya untuk mengobok-ngobok KPK dengan keinginannya merivisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002. 

Setidaknya ada empat poin yang ingin direvisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pertama, pengaturan kembali tentang kewenangan penyadapan, kedua tentang kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), ketiga tentang keberadaan penyidik KPK yang harus berstatus ASN dan terakhir adalah tentang pembentukan badan pengawas KPK.

Keinginan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK ini diprotes keras oleh beberapa elemen masyarakat. Karena dianggap bisa melemahkan lembaga antirasuah. Jalan-jalan satu-satunya untuk menjegal maksud anggota DPR RI hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Masyarakat percaya, Jokowi tidak akan setuju akan pembahasan RUU KPK dimaksud. Terlebih, dalam dua kali pencalonannnya menjadi presiden, visi misi yang dia janjikan ke masyarakat adalah tentang penguatan KPK.

Maaf, kali ini dugaan masyarakat, pemerhati anti korupsi, organisasi kemahasiswaan dan pengamat politik sekalipun dibuat kecele. Jokowi melalui Surat Presiden yang dikirimkan ke DPR, (11/9) nyatanya menyetujui pembahasan RUU KPK dilanjutkan. Betul, Jokowi tidak menyetujui sepenuhnya poin-poin yang diusulkan DPR RI tersebut. Tapi, tetap saja apa yang dilakukan Jokowi masih melemahkan KPK.

Selesai?... Tidak sama sekali. Kisruh berlanjut. Komisi III DPR RI akhirnya memutuskan Firli Bahuri menjadi Ketua KPK yang baru, periode 2019-2023. Kapolda Sumatera Selatan ini terpilih setelah mendulang suara terbanyak dengan raihan 56 suara dan serangkaian fit and proper test. Anehnya, terpilihnya Firli tidak menimbulkan gaduh sedikitpun anggota Komisi III DPR RI. Padahal, rumor kencang tentang figur Firli, anginnya berhembus kencang di luar. Bahkan, sempat mendapat penolakan dari seluruh staff dan pegawai KPK. Anjing menggonggong, Kafilah berlalu. Firli tetap saja melenggang mulus jadi Ketua KPK baru.

Paska ditetapkan Firli jadi Ketua KPK, Agus Raharjo dan komisioner KPK lainnya mendadak menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah ke Presiden Jokowi. Pro kontra pun tidak bisa ditawar-tawar. Bagi yang pro, sikap Agus Cs dianggap pantas. Para pimpinan KPK dianggap sakit hati karena tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU KPK. Sementara di fihak berlawanan, sikap pimpinan KPK dianggap inkonstitusional. Tidak selayaknya mereka menyerahkan mandat itu ke presiden. Bahkan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD juga berpendapat sama. Bahwa KPK bukanlah mandataris presiden. KPK adalah lembaga independen.

Setelah itu kisruh KPK terus berlangsung dengan segala drama di dalamnya. Entah apa dan siapa di balik semua kejadian ini. Tapi, yang jelas semua itu sudah masuk ke pusaran politik yang sengaja diciptakan para politisi senayan. Sekelas Presiden Jokowi pun yang awalnya dianggap panglima perang tertinggi dalam pemberantasan korupsi, kali ini maaf tidak berdaya. Penulis yakin, ketidak berdayaan Jokowi ini bukan karena ingin atau berniat memuluskan jalan para koruptor lebih merajalela di bumi pertiwi. Tapi lebih kepada tekanan politik yang tombolnya ada di gedung DPR RI. 

Lalu apa yang diinginkan para politisi senayan ini melemahkan KPK?...penulis kira untuk melindungi anggota dan menjaga nama baik partai. Bukan rahasia umum. Lembaga antirasuah sangat getol mencokoki para politisi senayan maupun politisi yang ada di daerah. Intinya tak ada satu partai pun yang bisa bebas dari terkaman KPK. Jelas, jika ini terus dibiarkan. Bukan tidak mungkin, akan semakin banyak lagi anggota dewan yang digelandang ke gedung KPK.

Seperti dilansir CNNIndonesia.com, peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, mengatakan, upaya pembahasan revisi UU KPK memang sejak awal terkesan diburu-buru DPR. Hal tersebut tak lepas dari adanya konflik kepentingan. Lantaran banyaknya anggota dewan yang jadi pesakitan di KPK. Dalam catatan ICW, sepanjang lima tahun terakhir setidaknya ada 23 anggota DPR periode 2014-2019 ditetapkan jadi tersangka, dengan rincian, delapan dari partai Golkar, tiga dari PDIP, tiga dari PAN, tiga dari Demokrat, dua dari Hanura, serta PKB, Nasdem, PPP dan PKS masing-masing satu orang.

Berkaca dengan cukup banyaknya anggota DPR yang menjadi korban "keganasan" KPK. Tak ada jalan lain bagi partai politik dan para wakil rakyat ini untuk meminta sokongan pada presiden, untuk menyetujui RUU KPK yang mereka sodorkan. Dari kaca mata awam pun kita pasti bisa menduga, kenapa presiden seolah tak berdaya. Diduga kuat ada tekanan-tekanan politik atau bisa jadi menagih janji politik yang secara diam-diam telah disepakati di balik layar. Wallahualam. Tapi yang pasti, presiden Jokowi telah menyetujui pembahasan RUU KPK meski dengan sejumlah catatan yang tidak banyak berarti. Terus, pimpinan KPK yang baru pun telah terbentuk, tinggal menunggu tugas barunya selepas masa tugas pimpinan KPK sekarang usai. Dan...politisi senayan pun bisa sedikit bernafas lega.
 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun