Mohon tunggu...
eka purwanto
eka purwanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Kebijakan Impor Hasil Voting

29 Januari 2019   14:28 Diperbarui: 29 Januari 2019   14:29 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Satu hal yang sangat mengganjal dari debat Capres Cawapres beberapa pekan lalu adalah jawaban Jokowi-Ma'ruf soal impor.  Jujur saja, saya kecewa atas jawaban itu. Jokowi menyebut bahwa keputusan impor sudah merupakan hasil diskusi dan debat diantara menteri terkait. Ketika diskusi mandeg, katanya di voting. Walah walah, urusan rakyat kok pake voting. Dimana kebijakan pro rakyat ?

Kalau benar keputusan impor itu hasil voting, maka keputusan itu telah mencederai petani, nelayan dan rakyat mayoritas. Saya bukan petani, bukan pula nelayan. Saya hanya rakyat biasa yang peduli pada rakyat kecil. Andai saja ada perwakilan nelayan dan petani hadir dalam rapat kabinet, tentu mereka akan ngotot untuk tidak melakukan impor. Saya setuju dengan Menteri Pertanian.  Ada apa di dalam tubuh Kementerian Perdagangan ?

Sudah sejak lama saya curiga bahwa di negeri ini ada mafia impor. Pemerintah beberapa kali melakukan impor pangan, terutama beras. Hal ini selain menyakitkan petani juga bertolak belakang dengan pasal 36 ayat 1 UU nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri." Apa yang tidak dapat diproduksi di sini ? Semua bisa ! Tergantung political will.

Tidak hanya beras, impor juga dilakukan terhadap komoditas jagung. Padahal di saat yang sama Kementerian Pertanian juga melakukan ekspor jagung. Artinya, impor yang dilakukan selama ini tidak melalui rekomendasi maupun koordinasi dengan menteri teknis tekait.

Negeri ini masih terus mengimpor barang-barang dari luar untuk diperdagangkan di negeri ini. Selama ini telah terjadi permainan dalam bentuk suap dan gratifikasi. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, banyak dikuasai kartel-kartel dagang. Mereka menyuap pejabat Negara di Kementerian untuk diberi izin mengimpor komoditas pertanian. 

Kita catat misalnya  kasus suap impor sapi yang terjadi beberapa tahun lalu. Demikian juga komoditas lainnya. Dengan dalih harga lebih murah dan kualitas lebih baik dari pada menggunakan produksi petani atau peternak domestik, mereka akhirnya mendapat izin untuk import. Sekilas alasan itu mungkin masuk akal. Harga dan kualitas barang import itu lebih murah dan lebih baik. 

Tapi itu artinya mengorbankan petani dan peternak. Mereka menderita dan miskin terus. Memang mungkin benar produksi pertanian kita lebih mahal dan kualitas lebih rendah. Tapi ini terjadi karena mereka dibiarkan tidak dibina untuk melakukan efesiensi biaya produksi dan tidak dibina dalam mengembangkan kualitas produksi, akibatnya biaya produksi petani kita menjadi tinggi. Petani kita kalah bersaing. Tapi pemerintah telah alfa pada kewajiban untuk membina dan mengembangkan mereka.

Kita masih ingat kejadian bebarapa tahun lalu, dua orang menteri "berantem" tentang impor garam. Yang satu tegas ingin mengembangkan produksi garam dalam negeri. Sementara menteri satunya lagi bersikukuh melakukan import dengan alasan harga bisa lebih rendah. Ini semua hanya soal politik, willing dan juga kepentingan  saja. Dan willing itu sendiri ternyata "berbungkus"   permainan suap dan gratifikasi.

"Perang" adu wewenang itu akhirnya dimenangkan oleh mentri yang pro impor. Lala import garam pun berlangsung. Memang ada alasan bahwa yang diimport adalah garam untuk kepentingan industri.  Impor ini juga dipayungi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. Tapi PP ini bertabrakan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Pasal 37 Ayat (3) UU No 7/2016 jelas disebutkan, "Dalam hal impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri." Aturan ini menempatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai kementerian teknis yang berwenang memberikan rekomendasi impor garam. Namun, dalam PP Impor Garam Pasal 3 Ayat (2) tentang mekanisme pengendalian menyatakan, Kementerian Perinindustrian disebut yang berwenang memberikan rekomendasi.

Tabrakan ini menyebabkan petani garam kita semakin gurem, miskin dan sengsara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun