Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pintu Para Pembohong

20 September 2020   10:27 Diperbarui: 20 September 2020   17:58 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki gemuk yang datang menyapa saya di bawah rindang pohon beringin kampus bernama Pak Gendut. Paraban, julukan lelaki itu tidak menyita perhatian saya dibanding usianya dan semangatnya. Usianya yang lebih muda dari pohon beringin kampus namun lebih tua dari sepedanya tidak meloyokan semangatnya menawarkan barang dagangangannya.

Sambil membawa sekitar sepuluh buku di keranjang sepedanya, bodoamat siang bolong, ia menghampiri beberapa orang di sekitar UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 09 September 2020. Berdasarkan penuturannya, covid-19 telah memukul mundur sebagian mahasiswa pulang ke kampung halaman. 

Pak Gendut yang memiliki kos-kosan yang sederhana -- empat juta rupiah pertahun sewanya di sekitar rel kereta Ngentak Sapen. Ia terpaksa menjual beberapa buku koleksi bapaknya yang dulu pernah kuliah di IAIN karena selama hampir setengah tahun tidak ada pemasukan.

"Sejak kemarin perut saya belum terisi nasi mas. Kos-kosan saya sepi, kosong-song, ditinggal mahasiswa pergi pulang kampung. Saya mau menjual buku. Ini buku baik mas. Bermutu, zamannya masih IAIN. Kira-kira njenengan suka baca buku atau tidak? Tertarik dengan buku-buku ini?" ujarnya, sambil mengeluarkan dua kitab dan satu buku peradaban islam.

"Wah maaf Pak, mboten rumiyen, tidak dulu Pak. Saya juga penjual buku" jawabku, seraya air muka lelaki sepuh ini berubah. Harapannya sirna, entah keberapa kalinya.

Seperti kemunculannya yang tidak disangka, Pak Gendut menikungkan percakapan jual buku menjadi persoalan dunia kampus dan kebohongan. Ia menuturkan bahwa seorang perempuan yang ditawarinya buku sebelum saya terancam tidak diluluskan dosen karena tidak membeli jurnal.

"Saya nelangsa mas, mbak-mbak yang kelupaan saya tanyai nama dan fakultasnya itu hampir nangis. Apa iya aturan kampus begitu mas?" saya menggeleng. "Kalau dulu pernah ada mas, waktu masih IAIN tahun 80-an ada dosen tarbiyah, fakultas Pendidikan bikin buku tiga. Mahasiswanya diharuskan membeli buku. Zaman itu, uang kuliah semesternya masih 25 ribu, dosen itu menjual tiga buku itu 27 ribu" imbuhnya.

Saya manggut-manggut menyimak ceritanya Pak Gendut. Setelah senyum meminta undur diri, ia mengayuh sepedanya pergi. Keberlaluannya tidak lantas menghilangkan rasa kagum saya terhadap semangatnya yang setegar karang tetapi juga tidak lantas menghilangkan pertanyaan menggelitiknya : apakah memang sekarang keblinger, telah menjadi lelakune wong pinter? Kebohongan di ruang pengetahuan?

Saya geli. Pak Gendut telah tidak sengaja menggelitik saya tepat di titik syaraf geli saya. Saya teringat rasa geli ini telah lama tidak saya alami. Kebohongan di ruang pendidikan!

*

Di tahun kedua kuliah, saya pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan. Seorang professor yang mengampu mata kuliah antropologi politik (sebelum perubahan kurikulum), berang saat mengisi kuliah pertemuan ketiga. Emosinya terpancing oleh keterlambatan mahasiswanya. Ia mengakhiri kuliahnya lebih cepat dari jadwal setelah merekomendasikan buku yang perlu dibaca, Pengantar Ilmu Antropologi I dan II serta memperingatkan toleransi keterlambatan mahasiswanya.

"Besok pertemuan depan, pintu kelas saya kunci setelah sepuluh menit dari dimulainya kelas sesuai yang terjadwal. Suka tidak suka. Saya tidak suka keseriusan saya mengajar diganggu ketidakseriusan anda yang terlambat."

Setelah seminggu berlalu, tibalah pertemuan keempat perkuliahan yang diampunya. Saya yang berlari dari kos ke kampus sampai di lantai satu fakultas. Saya mendapat miscall dan sms dari teman yang memperingatkan bahwa sang professor telah di kelas sebelum waktunya. Kelas yang bertempat di lantai empat saya tempuh dengan keringatan dan nafas ngos-ngosan.

Sesampainya di depan kelas, saya menjumpai seorang mahasiswi tengah duduk santai. Saya memastikan kabar teman saya tentang masuknya si dosen. Ia membenarkan bahwa dosen baru saja masuk. Walhasil niat nyelonong saya kandas, setelah semua pintu kelas dikuncinya. Kelas saya memiliki dua pintu.

Saya mengetuk-ngetuk. Terus mengetuk-ngetuk. Mungkin, sangat gemas dan jengkel sang dosen membukakan pintu. Saya masuk. Semua mata seperti menghakimi saya. Hanya saya lihat seorang yang cekikikan di bangku pojok belakang. Ia teman saya.

            "Anda tidak dengar kemarin saya bilang apa?!"

            "Dengar pak."

            "Anda terpelajar?" saya menangguk.

            "Anda tahu kesalahan tapi anda masih punya muka datang dan ikut kelas saya! Anda tahu berapa banyak teman yang anda rugikan karena saya harus meladeni anda bukan memberi kuliah?"

            Saya masih diam.

            "Kenapa diam? Anda terpelajar?"

            Saya mengangguk.

            "Apa kesalahan anda?"

            "Saya mengambil mata kuliah yang diampu panjenengan Prof"

            Muka sang professor memerah seperti tinta pulpen yang dikhususkan bagi penilaian siswa yang dikategorikan bebal.

"Panjenengan telah membohongi saya Prof. Minggu kemarin panjenengan bilang ada toleransi keterlambatan sepuluh menit. Saya sampai dan ingin masuk kelas setelah tiga menit panjenengan memulai kuliah. Tapi panjenengan main tutup pintu."

 "Kalau anda mengaku terpelajar anda seharusnya mikir. Anda itu tidak membohongi orang tua anda dengan bermalas-malasan masuk kuliah terlambat. Dan anda telah merugikan teman-teman anda!"

            "Saya terlambat karena beberapa alasan masuk akal Pak. Dan saya terlambat masuk kebetulan baru hari ini. Saya mau belajar tapi anda tutup pintu ilmu bagi saya"

            "Anda mengganggu. Saya catat nama anda"

            "Lantas saya harus bagaimana Pak?"

            "Kalau anda terpelajar, anda pasti tahu diri!"

            "Ya, saya tahu diri pak. Saya ingin belajar."

            "Keluar!"

            saya bergeming.

            "Keluar! Anda mengganggu kelas."

Dengan jengkel saya keluar. Beberapa teman cekikikan. Ada juga yang menggunjing lirih. Saya keluar melalui pintu yang tidak dibukakan dan saya masuki tadi. Artinya hendak keluar melalui pintu satunya yang memang dikunci. Semua orang tertawa. Wajah dosen semakin berang, menatap tajam.

            "Saya tidak bisa keluar pak. Pintunya terkunci" kata saya.

Saya ditertawai mahasiswa-mahasiswi lintas angkatan. Sang dosen yang berusaha mempertahankan citra gagahnya memukul meja dan menghardik untuk diam. Kelas hening.

            "Anda sudah salah, membohongi orang tua, masih berani melucu. Keluar!"

            "Saya melangkah menuju pintu satunya yang dibiarkan terbuka. Seraya berkata, "Saya memang pembohong pak. Saya tidak malu bilang saya bohong di hadapan teman-teman satu kelas ini. Tidak seperti bapak."

             "Keluar!" bentaknya lagi.

            "Setidaknya saya pembohong yang terlambat dan lebih cepat sadar daripada panjenengan. Saya masuk pintu yang sebelumnya para pembohong masuki lebih awal dan saya akan keluar lebih cepat melalui pintu yang dimasuki para pembohong seperti panjenengan dan kawan-kawan yang saya yakin ketika ujian semester mata kuliah panjenengan bakal mencontek."

            "Keluar! Anda bakal saya laporkan ke wakil dekan kalau perlu wakil rektor!"

            "Tapi sebelum saya tutup pintu, saya mengaku saya sudah berbohong kepada pembaca humor ini. Saya telah membohongi pembaca  dengan menulis saya telah dibukakan pintu oleh panjenengan dan berbuat onar, membisingi kelas. Tapi sejujurnya, cerita tentang Pak Gendut, pertanyaan menggelitiknya tentang kebohongan-kebohongan yang pernah terjadi di kampus dan kebohongan aturan yang panjenengan buat dan diberlakukan, bagi kelas tersebut benar dan nyata.

Sungguh saya juga minta maaf, bukan atas kebohongan dialog saya dengan pak dosen di atas, tetapi saya minta maaf karena telah protes terlalu keras dengan melempar buku Pengantar Ilmu Antropologi I karya Koentjaraningrat ke pintu yang pajenengan tutup itu. 

Telah lama saya sadari ketidakterpelajaran saya bahwa kebohongan dan keangkuhan panjenengan saya balas dengan ketidakterimaan saya yang terlampau urakan. Hal itu sudah empat tahun lewat selalu menggelayuti pikiran saya. Saya telah mengagetkan sekaligus mengganggu berlangsungnya kuliah. Sikap mengganggu orang yang tengah mencari ilmu itu tidak pernah diajarkan emak saya dan selamanya tidak dibenarkan emak saya.

Yogyakarta, 10 September 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun