Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nini Pergi ke Surga

15 Agustus 2020   08:34 Diperbarui: 16 Agustus 2020   16:02 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Eko Nurwahyudin

Nini juga menjelaskan pernah mengungsi, meninggalkan rumah bersama penduduk yang lain, saat Agresi Militer Belanda. Namun ingatannya yang melemah tidak dapat menjelaskan secara pasti kondisi pertempuran. Ceritanya lebih lanjut banyak menguraikan tentang teror bumi hangus pun sama. 

Belakangan sedikit kuketahui kekalahan Belanda di Jembatan Kedung Bener Jatisari, desanya ini, awal Januari 1949, membuat satu kompi pasukan Belanda pada 10 Januari 1949 bergerak menuju ke Somolangu. 

Terjadilah pertempuran dengan taktik supit udang di Gunung Pager Kodok yang menjadi titik pengadangan antara satu batalion pasukan Angkatan Oemat Islam melawan satu kompi pasukan Belanda. Belanda kalah telak dalam petempuran itu dan membumihanguskan Tanahsari di kemudian hari.

Aku menatapnya lagi. Kegairahan telah sedikit terpancar di wajahnya yang kisut. Aku tidak dapat menakar berapa sering ia merasakan sepi. Namun terlampau sering ia cuma diperhatikan alakadarnya -- makan dan kesehatan fisiknya belaka.

Apakah anak-anaknya yang telah berumah tangga dan cucunya yang lain pernah memperhatikan kemalangannya itu -- hidup dengan selalu mempertanyakan kapan kematian akan menjemput secara lembut seperti keluarga dan teman-temannya yang telah tiada? Betapa bersalah aku hanya sekali dalam hidup memperhatikannya sejauh ini!

Jam masih berdetak sekarat. Aku geregetan. Sekonyong-konyong aku beranjak mengambil kursi di emperan untuk menurunkan jam dinding tua itu, mencopot baterai lama yang soak, lalu mengatur ulang waktunya. Kegiatan seperti itu mungkin dapat mengalihkan pikiranku yang kusut atau mungkin bisa menimbulkan kesenangan tersendiri.

"Bukan masalah baterainya. Memang dasar mesin jam itu sudah rusak! Biarkan saja!" ujar seorang sepupu.

Perintah dari sepupu itu kembali mengingatkan aku betapa usahaku memang sia-sia belaka. Aku mungkin salah menganggap usahaku menghibur Nini waktu itu telah menimbulkan kegairahan hidup, meski berkesan remang.

Apakah Nini memang telah menerima sepenuhnya kesepian sebagai sahabat penghabisan umurnya, sehingga ia tidak takut dan bersikap biasa pada kematian?

Bukan. Bukan lantaran ia menganggap hal itu karena takdir belaka, melainkan lebih dibentuk oleh sejarah hidup yang getir. Seperti saat Nini menceritakan saudara kandungnya, Pardi, yang gugur di medan juang.

"Pardi dulu juga tentara AOI. Dulu pas perang pakai bambu runcing lawan tentara Belanda yang pakai bedil. Pardi tertembak mati," ujarnya datar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun