Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nini Pergi ke Surga

15 Agustus 2020   08:34 Diperbarui: 16 Agustus 2020   16:02 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Eko Nurwahyudin

Juga tentang kejadian mistis yang tidak disangka beberapa detik setalah nafas terakhir Nini. Aku tidak tertarik cerita itu. Satu hal yang membuatku tertarik adalah para lelaki yang mengobrol di emperan kelewat santai. Beberapa kali terdengar gelak tawa di tengah obrolan mereka.

Kenapa orang-orang begitu cepat beralih perasaan? Apakah memang mati pada usia tua patut dianggap biasa? Kenapa orang-orang di sini tidak bisa menangis? Kenapa aku juga tidak menangis? Apakah kematian tidak semengerikan yang dibayangkan? Namun bukankah kematian pada usia di bawah lima tahun itulah nikmat, sedangkan mati pada usia tua bukanlah sesuatu yang enak?

Tidak, aku tidak sepenuhnya sepakat. Aku tidak sepakat pada penceramah model begitu, seakan mencoba mengabaikan nikmat lain seperti umur. Apakah bayi yang mati lebih beruntung daripada orang yang mati pada usia tua?

Bahkan seorang ibu yang baru kehilangan bayi itu akan nelangsa dan dalam hati kecil berkata, "Kasihan kamu, Nak, umurmu begitu singkat. Orang-orang belum mendapat cintamu, belum merasakan kepemimpinanmu, dan kamu belum mengenal kami dan merasakan cinta kami."

Namun aku tidak dapat menutupi, mati pada usia tua pun tidak sama bahagia. Aku masih mengingat betul saat pernikahan Siti, kakak sepupuku, Nini tampak murung di kursi kayunya. Lagipula tidak banyak yang dapat perempuan yang mungkin lahir (karena orang sezaman tidak mengerti tanggal lahirnya, bahkan anak pertamanya juga) pada akhir penjajahan Belanda itu. 

Dengkulnya yang mulai keropos tidak dapat membuatnya berjalan jauh. Bahkan sekadar turun dari undak-undakan dan berjalan ke panggung pengantin tidak dapat Nini lakukan tanpa bantuan orang lain.

Nini hanya duduk di kursi kayu, menatap sekeliling yang sibuk. Sesekali dari mata tuanya yang keabu-abuan, aku dapat menangkap kekeringan hidup. Aku menemaninya duduk. Aku memulai basa-basi sekadarnya, berharap kegairahan muncul. Mustahil! Memang mustahil. Tidak ada kegairahan yang dapat ditimbulkan dari basa-basi!

Aku memutar otak, berpikir apa kiranya yang dapat membuat dia bergairah kembali?! Tentu saja sejarah hidup. Aku menanyakan riwayatnya; bagaimana hidup dan mati di bawah pendudukan fasis Jepang?

"Langka sandang," jawabnya berulang-ulang. "Orang-orang yang mati tidak dibungkus kain mori, tetapi tikar pandan."

Setelah kukejar dengan pertanyaan-pertanyaan, kuketahui jawaban terakhir tidaklah berlaku umum. Lebih tepat yang Nini maksudkan teruntuk tentara yang gugur di medan juang dan rakyat miskin.

Belum juga tanda kegairahan tersirat di air mukanya, aku menanyakan perihal Nini dijadikan Mat Syuhada sebagai istri. Pertanyaanku kali ini tidak mendapat jawaban sebab Nini melantur -- menunjukkan letak rumah masa kecilnya dan rumah yang dia bangun bersama suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun