Bagiku, itulah tebusan yang sepadan atas cara pandang seorang pemimpin yang menganggap perempuan sebatas cinderamata! Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang juga lahir lahir dari rahim seorang Ibu tidak memberikan penghormatan kepada perempuan yang kelak melahirkan anak turunnya?" timpalmu.
"Kau sangat mengerti bahwa beberapa penaklukan di zaman kerajaan justru tidak membawa perubahan. Perempuan pun tetap sama hanya dihargai sebagai mahar untuk menguatkan wilayah-wilayah yang telah diduduki dengan perkawinan. Penaklukan justru lebih sering menambah penderitaan -- terutama bagi rakyat jelata. Entah sudah berapa kali kau menceritakan padaku bagaimana dulu sering terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran ke wilayah pemenang setelah tempat tinggalnya luluh lantak karena perang. Lantas berapa banyak perempuan yang termasuk di dalamnya dan harus berjibaku di tempat yang benar-benar baru?"
"Jadi kau menyesal jadi perempuan?" tanyaku ulang, membuatmu menghentikan ayunan kaki naik turun dan kecipak air. "Ya, andai saja kau tidak sudi bertukar kembali, bersiaplah untuk terbiasa menjadi pemberani".
"Pemberani?"
"Ya, mendapatkan nilai merah untuk pelajaran yang serba hitungan. Bukankah sedari dini kita diajari bahwa merah artinya berani dan putih artinya suci? Mana mungkin seorang yang hidupnya hambar sepertimu bisa jadi pemberani?" ejekku.
"Aku pernah mendapat merah. Dulu. Dulu sekali. Nilai merah untuk pelajaran sejarah. Sekarang siapa yang lebih berani? Aku atau kau?"
"Hahaha ternyata bukan hanya aku, masih banyak orang tolol lain yang menampakkan kesombongannya!" tegasku yang membuatmu tega mendaratkan dua kali cubitan pada pinggang kananku. "Mungkin sebelum kelulusan sekali dapat kau mencoba tidak menulis satu patah jawabanpun pada lembar ujian".
"Kau gila. Nampaknya kau ingin aku menderita"
"Akan terlihat menarik. Aku belum pernah melihat angka nol berwarna merah pada lembar ujian yang bersih tanpa jawaban. Lucu. Menarik. Seperti menyaksikan bagimana seorang pemberani menakuti seorang suci. Takut. Sangat takut sampai-sampai untuk menanyakan kesalahan apa ia perbuat saja tidak kuasa. Hahaha!" tambahku sambil terpingkal yang membuatmu pula ikut tertawa lirih.
Ah, betapa mudahnya perasaan manusia berganti. Tetapi mengapa tidak berlaku sama terhadap keangkuhanmu pun terhadap perbuatan konyolku yang menguras tenaga ini -- hilir mudik ke kotamu tanpa pernah kau mau menemuiku?
Bus yang membawaku ke kotamu perlahan melaju, meninggalkan pemberhentian tak lazim ini, dua petugas jaga malam dan dua pedagang asongan.