Keraguan itu memudar, bersamaan bus yang membawaku menuju kotamu keluar dari kesunyian hutan jati. Pudar. Semakin memasuki wilayah Mancanegara Timur semakin pudar, dan akhirnya keragguanku lenyap di sebuah terminal kecil -- luasnya yang lebih kecil daripada stadion di jantung kotamu, menjadikan keberadaannya seolah-olah tidak penting dalam rangkaian rute perjalanan.
Di pemberhentian yang tidak lazim ini, tidak ada penumpang yang turun maupun penumpang yang naik. Memang tidak lazim, sebab biasanya bus bablas begitu saja tanpa masuk atau kalaupun berhenti, tidak lebih lama dari durasi lagu kesukaanmu. Rentang yang sangat singkat itu sekedar untuk membayar redistribusi, menurunkan dan menaikkan penumpang yang bercampur pengamen dan pedagang asongan.
Inilah kali pertama pemberhentian terlama di sebuah terminal kecil yang kerap disepelekan selama hilir mudikku ke kotamu. Mesin bus tetap dibiarkan hidup. Suaranya yang datar terdengar keras melebihi suara gerimis yang tak kunjung habis di luar.
Dari kursi paling belakang, dengan jelas kurasakan kesepian. Bukan lantaran bus berkapasitas 50-60 orang ini hanya terisi aku, tujuh penumpang sisa yang terlelap dan tiga awak bus yang tengah keluar mengaso, tetapi ritme teratur mesin bus ini seakan mendikteku untuk tunduk -- bekerja tanpa jiwa, tanpa gairah mengubah, dan yang teramat penting, bekerja tanpa cinta -- seperti mesin.
Bagaimana mungkin manusia dapat mengatakan bahagia kalau ia saja bekerja tanpa cinta? Apa penyebabnya? Apakah karena mereka yang bekerja tanpa cinta memang telah kehilangan kesadaran tentang gairah kerja, gairah hidup, dan cita-cita? Apakah mereka tidak pernah merasa cemas? Lantas, kekuatan besar macam apa yang telah memukul otak manusia sedemikian kuat sehingga untuk menciptakan cita-cita saja tidak kuasa?
Memuakkan! Ritme teratur mesin bus ini semakin kedengaran mengejek. Ah kekasih, bukankah suara datar dan keras dengan ritme teratur ini pernah pula kau benci?! Mirip suara air terjun. Memuakkan.
Seperti katamu, bahwa seseorang yang waras akan memberontak ketika tidak lagi mendengar denyut jantung dan napasnya sendiri. Mereka yang telah sakit tentu lebih suka menggali kegembiraan pada ritme teratur bunyi datar yang paling keras dari bunyi lainnya -- pada air terjun, pun pada banyak ruang kelas!
Lima enam kali deru kendaraan sliweran dari kejauhan. Mengisyaratkan bahwa gerimis justru menghebat. Mungkin jalan bergelombang di luar tembok pagar terminal sana, air hujan telah menggenang. Alangkah menyenangkan andai aku sekonyong-konyong keluar, berlari menuju jalan raya dan menghentakkan kakiku pada lubang-lubang genangannya atau pada beberapa bidangnya yang cekung. Dari bunyi cipratan air yang mengisi keteraturan bunyi lebat hujan, aku akan menertawai diriku sendiri. Menertawai khayalan yang memalukan ini.
Apakah kau juga akan menertawaiku? Menertawaiku yang tolol dan kekanak-kanakkan sekaligus menghujani aku dengan cemoohan. Apakah memang tidak mungkin lagi kita tertawa lepas bersama tanpa membohongi diri seperti tahun-tahun silam?
Sudah lama sekali : waktu itu, aku yang telah basah kuyup menyamperimu yang tengah duduk di atas batu, mengecipakkan aliran air dengan mengayunkan kaki. Seperti yang biasa dilakukan Mamak kepadaku saat balita, mungkin juga Ibumu padamu.
Aku duduk di sampingmu. Hanya duduk. Belum juga aku membuka suara kau justru mengajakku bercerita.