Program sosial seperti Sekolah Rakyat patut didukung, tetapi tidak boleh berhenti pada wajah sentimental. Ia harus membuka ruang partisipasi, memperkuat organisasi rakyat, dan menjadi alat untuk mengintervensi ketimpangan struktural. Jika tidak, maka ia hanya memperhalus wajah dari ketidakadilan itu sendiri.
Naila bisa menjadi titik tolak transformasi, tetapi hanya jika ia dilihat sebagai warga negara penuh, bukan anak malang yang butuh diselamatkan. Kita memerlukan Nailaisme yang kritis, yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar hati. Bukan cukup menangis bersama Naila, tetapi menciptakan sistem agar tidak ada lagi air mata serupa.
Marhaenisme adalah seruan untuk menciptakan dunia baru; Nailaisme, sejauh ini, adalah ajakan untuk berempati. Di antara dua kutub ini, sejarah akan menilai: apakah kita benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau hanya pandai membungkus penderitaan mereka dalam narasi yang menggugah.
Politik untuk rakyat kecil tidak boleh berhenti pada simbolisme. Ia harus termaterialisasi dalam kebijakan yang membebaskan dan memberdayakan. Jalan menuju itu terbuka melalui kebijakan redistribusi, penguatan koperasi rakyat, dan pendidikan berbasis komunitas. Yang kita butuhkan bukan sekadar siapa yang menyelamatkan Naila, tetapi sistem yang mencegah munculnya ribuan Naila lainnya. Di situlah letak pertaruhan etis dan politik kita hari ini.
Penulis adalah Dosen Universitas Jember, pernah bertugas sebagai Staf Khusus Menteri Sosial RI periode 2014--2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI