Mohon tunggu...
Eko Ernada
Eko Ernada Mohon Tunggu... Pengajar, Peneliti, Aktivis Sosial.

Penulis dan pencari makna dalam pembelajaran, menggali makna dari setiap ilmu yang diajarkan dan ditulis, karena pengetahuan adalah cahaya yang perlu dibagikan."

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dari Marhaen ke Naila: Sekolah Rakyat, Belas Kasih dan Kontrol Sosial

11 Juli 2025   00:38 Diperbarui: 13 Juli 2025   14:57 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Dari Marhaen ke Naila” dibuat dengan bantuan AI (ChatGPT + DALL·E), OpenAI.

Dalam sebuah forum purnawirawan, Presiden Prabowo Subianto mengisahkan pengalamannya menonton video seorang anak bernama "Naila" dari Makassar yang menangis karena tak bisa sekolah. Ia menyatakan rasa malu sebagai orang dewasa menyaksikan situasi tersebut. Cerita ini kemudian menjadi titik sentral dari narasi baru kebijakan sosial yang menekankan kehadiran negara dalam memberi perlindungan, yaitu dengan penyediaan sekolah khusus bagi rakyat miskin, yang di sebut "Sekolah Rakyat".  Dari sanalah istilah imajinatif Nailaisme dapat kita tarik---sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian pada belas kasih negara terhadap warga miskin secara individual.

Namun pertanyaannya, apakah Nailaisme benar-benar merepresentasikan transformasi sosial, atau justru merupakan versi baru dari retorika klasik yang mereduksi kemiskinan menjadi kisah personal nan mengharukan? Apakah ini langkah menuju keadilan sosial yang sejati, atau sekadar wajah baru dari patronase politik dengan kemasan empati?

Retorika pembelaan terhadap rakyat kecil bukan hal baru di republik ini. Sejak era kemerdekaan, politik Indonesia telah mengusung narasi keberpihakan pada wong cilik. Namun kenyataannya, rakyat kecil lebih sering dijadikan simbol ketimbang subjek kebijakan. Mereka hadir untuk menggugah simpati, bukan menentukan arah. Kemiskinan menjadi komoditas naratif, bukan medan perjuangan struktural.

Kita bisa membandingkannya dengan masa Soekarno, ketika ideologi Marhaenisme lahir dari perjumpaan langsung dengan rakyat. Seorang petani bernama Marhaen dijadikan simbol perjuangan melawan penindasan ekonomi. Dari sana, Soekarno membangun narasi tentang kaum marhaen sebagai kekuatan revolusioner. Marhaenisme adalah ideologi yang menekankan kesadaran kelas dan perubahan struktural, bukan semata bantuan administratif.

Nailaisme berangkat dari landasan berbeda. Ia bukan buah dari perlawanan, melainkan dari rasa empati atas penderitaan. Naila bukan personifikasi dari kesadaran kolektif, melainkan citra anak yang harus diselamatkan. Sekolah Rakyat dalam versi kini tampil sebagai bentuk intervensi negara yang teknokratis, bukan sebagai ruang politisasi atau pembebasan. Ia lebih menyerupai skema distribusi layanan ketimbang medan transformasi sosial.

Namun perlu dicatat, Sekolah Rakyat pernah hidup dalam lanskap sejarah Indonesia. Di era 1950-an, ia menjadi ruang pendidikan alternatif yang menyatukan ilmu, kesadaran politik, dan solidaritas kelas. Ia bukan sekadar tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi wahana pembentukan subjek merdeka. Kini, konsep yang sama terancam menjadi saluran pemberian bantuan, bukan pembentukan kesadaran.

Pertanyaannya: cukupkah pendekatan seperti ini? Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan tak hanya bekerja melalui represi, tapi juga melalui pengasuhan. Kekuasaan yang lembut, yang tampak sebagai pertolongan, justru sering kali lebih efektif dalam membentuk subjek yang patuh. Maka ketika negara hadir melalui Sekolah Rakyat dengan wajah belas kasih, kita patut bertanya: ini pembebasan atau kontrol yang disamarkan?

Dalam Nailaisme, rakyat kecil ditampilkan sebagai penerima, bukan sebagai agen perubahan. Dalam Marhaenisme, rakyat adalah subjek aktif yang menyusun ulang sistem. Inilah pergeseran paradigmatik dalam pembelaan terhadap kaum miskin. Yang satu merawat, yang lain membebaskan. Yang satu top-down, yang lain bottom-up.

Teori keadilan sosial John Rawls memang menuntut negara memberi perhatian lebih kepada kelompok paling rentan. Namun, ia juga menekankan pentingnya kebebasan dan partisipasi. Amartya Sen, lebih jauh, menegaskan bahwa kebijakan dikatakan adil jika memperluas kapabilitas dan pilihan hidup seseorang. Jika Sekolah Rakyat hanya menyalurkan bantuan tanpa memperkuat daya tawar sosial dan politik rakyat kecil, ia berisiko menjadi bentuk baru ketergantungan.

Kisah Naila bisa menjadi ilustrasi yang menyentuh. Namun jika hanya berhenti sebagai narasi penyelamatan individu, Nailaisme rentan menjadi kosmetika politik. Kemiskinan bukan semata soal akses, tetapi relasi kuasa. Selama struktur ekonomi tetap eksploitatif, program sosial hanya menjadi plester atas luka sistemik. Bahkan, bisa menjadi mekanisme depolitisasi: membuat rakyat merasa diperhatikan, sambil tetap menjaga status quo ketimpangan.

Di titik inilah pendekatan Paulo Freire menjadi relevan. Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menolak pendidikan yang menjadikan peserta didik sebagai objek pasif. Pendidikan harus membebaskan, mengembangkan kesadaran kritis, dan memampukan rakyat menggugat ketidakadilan. Jika Sekolah Rakyat ingin berperan strategis, ia harus menempatkan rakyat sebagai subjek historis, bukan sekadar penerima kurikulum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun